HTI

Nisa' (Al Waie)

Pola Hidup Sehat Keluarga

Pendahuluan

Hingga kini, pola atau kebiasaan hidup keluarga Indonesia masih jauh dari sebutan sehat. Ini terlihat jelas dari tingginya angka kesakitan berbagai penyakit yang diidap anak-anak dan ibu khususnya dan masyarakat pada umumnya. Diperkirakan 13 juta anak Indonesia pengidap malnutrisi (World Food and Programme,2008) dan 4 juta anak terancam menderita gizi buruk (KemenKes R I, 2008). Ada 534.439 pengidap penyakit TBC baru setiap tahun, diperkirakan 10.583 kasus MDR (Multi Drug Resisten) (WHO, 2008), dengan satu juta kasus TBC baru pada anak setiap tahun (WHO, 2006). Pada tahun 2009 ada 1.143.024 kasus malaria yang dilaporkan (KemenKes R. I, 2010). Kejadian luar biasa diare dan demam berdarah dengue terus berulang, sementara itu pengidap berbagai penyakit degeneratif jumlahnya juga jutaan orang.

Padahal, tidak diragukan lagi, kesehatan penting untuk terwujudnya berbagai fungsi keluarga, yang penting bagi keberadaan Islam dan kaum Muslim, seperti fungsi berketurunan, pendidikan, dan fungsi amar makruf nahi mungkar. Rasul saw. bersabda, “Mukmin yang kuat (sehat) itu lebih baik dan lebih disukai Allah daripada Mukmin yang lemah (sakit-sakitan).” (HR Muslim).

Akar Masalah

Kebiasaan hidup keluarga yang tidak sehat saat ini sesungguhnya adalah buah pahit dari sistem kehidupan sekuler kapitalistik. Keluarga dipapari berbagai stressor (tekanan), krisis ekonomi (Uutella, 2010) dan disfungsi negara. Ujungnya, ketangguhan imunitas tubuh melemah (Mc Ewen, 2004), selain berakibat hilangnya fungsi akal. Kelaparan dan gizi buruk terbukti meningkat seiring dengan meningkatnya harga pangan akibat krisis ekonomi (Trackback, 2008). Deraan kemiskinan memaksa para Ibu membanting tulang, padahal di antara mereka ada ribuan ibu hamil dan ibu menyusui. Bagi Ibu menyusui kelelahan fisik dan mental akibat beban ganda yang harus dipikulnya dapat menurunkan kualitas dan kuantitas ASI. Ini antara lain penyebab semakin banyak bayi tidak diberi ASI, di samping faktor keterbatasan waktu, dan gencarnya iklan susu formula. Ada 84% bayi yang tidak mendapat ASI ekslusif, demikian SDKI 1997-2003 (KemenegPP R.I). Padahal ASI ditinjau dari banyak aspek adalah makanan terbaik untuk bayi (Akre, 1990) dan penting untuk membangun imunitas bayi (Jackson, dan Nazar, 2006). Lebih dari itu, pemberian ASI disyariatkan Allah SWT (QS al-Baqarah [2]: 33). Jadi, tidak saja pola makan anak dan ibu yang tidak sehat, tetapi juga bayi.

Kelelahan fisik dan mental yang diderita ibu hamil berpengaruh negatif terhadap hormon yang dibutuhkan untuk melahirkan alami. Hal ini antara lain menjadi penyebab semakin banyak kelahiran caesar. Berdasarkan hasil penelitian WHO tahun 2007-2008 di beberapa negara ASIA, ditemukan kasus kelahiran caesar 27,3% (Lumbiganon et al, 2007). Padahal bayi lahir melalui caesar daya tahan tubuhnya jelas tidak sebaik bayi lahir melalui jalan alami. Hal ini karena jalan lahir alami didesain Allah SWT sebagai latihan awal dan pematangan sejak dini sistem imun bayi (Grölund, Minna-Maija et al, 1999).

Kondisi ini diperparah oleh krisis air bersih, yaitu akibat industrialisasi dan kapitalisasi sumberdaya alam, juga air. Akhirnya, lebih dari separuh masyarakat jauh dari sanitasi yang layak (UNDP, 2006). Berbagai kuman patogen mewabah. Demikian pula vektor penyebar penyakit menyerang tubuh bayi, balita dan anak yang telah kehilangan ketangguhan sistem imunnya. Tidak heran bila kemudian keluarga menjadi sarang berbagai penyakit, seperti TBC, diare, ISPA, pnemonia, cacar, autis, asma, diabetes.

Pola perilaku seks orang tua yang jauh dari syariat menjadi sarana penyebaran Penyakit Menular Seksual (PMS), seperti HIV/AIDS (CDC, 2005), kangker leher rahim (Ca Cevix ) (Biswas, Manna, Maiti, dan Sengupta, 1997). Kemudian orangtua menularkan kepada anak-anaknya. Akibatnya, setiap hari puluhan bayi baru lahir terinfeksi HIV.

Pada saat yang bersamaan, diaruskan berbagai program penanggulangan penyakit yang justru menfasilitasi penyebaran penyakit, seperti program kondomisasi, gencarnya info tentang seks dan seksualitas melalui program KRR, larangan menikah dini, larangan sunat perempuan yang disyariatkan Allah SWT.

Di sisi lain, penyakit justru jadi objek kapitalisasi. Akibatnya, biaya berobat tidak saja mahal, tetapi juga layanan kesehatan yang diperoleh justru memperparah penyakit yang diderita dan bahkan mengancam jiwa, selain tidak memperhitungkan halal dan haram. Bahkan ada indikasi beberapa penyakit sengaja dibuat dan disebarkan untuk kepentingan bisnis dan depopulasi (Cantwell et al., 2008).

Inilah bukti-bukti yang tak terbantahkan, bahwa kebiasaan hidup keluarga yang tidak sehat buah dari sistem kehidupan sekular kapitalis.

Hanya dengan Kembali Pada Kehidupan Islam

Mewujudkan pola hidup sehat keluarga berarti mewujudkan kebiasaan beremosi/berkecenderungan dan berperilaku sesuai syariah Islam. Hal ini mengharuskan pembentukan kepribadian Islam melalui penerapan sistem pendidikan Islam dan penerapan syariat Islam secara kaffah dalam semua aspek kehidupan.

Kepribadian Islam mendorong individu keluarga untuk mewujudkan pola makan yang sehat (QS al-Maidah [5]: 88), selain jaminan ketersediaan pangan yang halal dan baik, termasuk air bersih hingga tingkat rumah tangga (harga terjangkau dan mudah diakses).

Penerapan syariat yang kaffah berarti negara kembali menjalankan fungsinya sebagai pengurus masyarakat, seperti menjamin pemenuhan pokok publik, menyediakan lapangan kerja, membebaskan barang milik umum dari kapitalisasi. Hal ini jelas dengan sendirinya membebaskan keluarga dari berbagai stressor; mendorong terwujudnya pola aktivitas keluarga yang sehat; ibu terbebas dari beban ganda yang menyalahi fitrah dan beban mencari nafkah keluarga kembali berada di pundak ayah. Hal ini akan terealisasi dengan diterapkannya sistem ekonomi Islam

Adapun kebiasaan hidup bersih akan terwujud dengan melaksanakan berbagai ketentuan syariah yang diwajibkan kepada individu, di samping ketersediaan air bersih yang cukup hingga tingkat rumah tangga dan tempat tinggal yang memenuhi syarat-syarat kesehatan yang difasilitasi oleh negara.

Termasuk bagian penting dari pola hidup sehat keluarga adalah kemudahan untuk mengobati berbagai penyakit yang diderita. Khilafah akan mewujudkannya dengan membebaskan layanan kesehatan dari segala unsur kapitalisasi. Tidak hanya gratis dan mudah diakses oleh semua anggota masyarakat, tetapi juga berkualitas yaitu cepat dan tepat dalam pengobatan, memperhatikan halal dan haram sebagai bagian dari prinsip-prinsp pengobatan menurut syariah Islam. Khilafah Islam mampu mewujudkan semua ini antara lain dengan cara mengelola Baitul Mal secara efektif.

Selain itu negara juga harus mencetak tenaga kesehatan secara memadai; mendirikan rumah sakit-rumah sakit, laboratorium dan apotik; mendorong dan menfasilitasi berbagai penelitian untuk menemukan metode penegakkan diagnosis yang cepat dan tepat, menemukan obat-obatan dan peralatan medis yang dibutuhkan untuk pengobatan yang berkualitas dan sesuai syariat.

Bersamaan dengan itu, Khalifah akan menghentikan program penanggulangan penyakit yang merupakan agenda penjajahan, dan justru membahayakan kesehatan masyarakat, yaitu dengan membatalkan berbagai kesepakatan dan kerjasama dengan lembaga internasional serta bantuan pembiayaan kesehatan dari pihak asing. Sebab, demikianlah perintah Allah SWT dalam QS an-Nisa’ (4): 141.

Demikianlah karakter sistem kehidupan Islam, Khilafah Islam, yang hanya dengannya kebiasaan hidup keluarga yang sehat akan terwujud. Semua gagasan itu benar-benar telah diwujudkan dan berjaya 13 abad serta akan kembali dalam waktu dekat dengan izin Allah SWT (QS an-Nur [24]: 55).

Wallâhu a’lam bi ash-shawâb. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*