أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ، وَيُقِيمُوا الصَّلاَةَ ، وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ ، فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّى دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلاَّ بِحَقِّ الإِسْلاَمِ ، وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ
Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat dan menunaikan zakat. Jika mereka melakukan hal itu maka mereka telah memelihara darah dan harta mereka dariku kecuali (mereka melakukan kesalahan yang boleh dihukum) menurut ketentuan Islam dan perhitungan amal mereka terserah pada Allah (HR al-Bukhari dan Muslim).
Imam al-Bukhari mengeluarkan hadis ini dari jalur Abdullah bin Muhammad al-Musnadi, dari Abu Rawh al-Harami bin ‘Ammarah. Imam Muslim mengeluarkannya dari jalur Abu Ghasan al-Misma’i Malik bin Abdul Wahid, dari Abdul Malik bin Shabah. Keduanya (al-Harami bin ‘Ammarah dan Abdul Malik bin Shabah) dari Syu’bah, dari Waqid bin Muhammad, dari Muhammad bin Zaid, dari Ibn Umar ra.
Frasa umirtu maknanya adalah Allah memerintahku. Sebab, ketika frasa itu diucapkan oleh Nabi saw. maka yang memerintahkan tidak lain adalah Allah SWT.
Kalimat umirtu an uqâtila an-nâsa (aku diperintahkan untuk memerangi manusia) bukan bermakna perintah untuk memulai atau menginisiasi perang terhadap seluruh manusia. Banyak riwayat seperti riwayat Buraidah yang menjelaskan bahwa perang adalah langkah terakhir. Sebelum perang itu harus didahului oleh proses dakwah menyeru mereka untuk masuk Islam. Kalau tidak mau, mereka diseru menggabungkan wilayah mereka ke wilayah Daulah Islam (Dâr al-Muhâjîn). Jika mereka tidak mau, lalu ditawarkan untuk membayar jizyah. Jika mereka tidak mau juga, baru diperangi.
Nabi saw. tidak akan memerangi suatu kaum hingga terlebih dulu menyerukan Islam kepada mereka. Dalam pelaksanaannya Nabi saw. selalu menunggu pagi hari dan memastikan tidak terdengar azan di wilayah itu. Jika terdengar azan maka perang beliau urungkan.
Kata an-nâs (manusia) merupakan kata umum yang meliputi seluruh manusia. Hanya saja, perang terhadap manusia itu terhalang atau harus dihentikan ketika mereka mengucapkan dua kalimah syahadat. Dari kata hattâ dalam hadis ini dapat ditarik mafhum mukhalafah-nya, yaitu jika belum bersyahadat maka manusia itu akan terus diperangi. Hanya saja, mafhum mukhalafah ini hanya berlaku bagi kaum musyrik Arab dan tidak berlaku pada selain mereka. Dari kaum musyrik Arab tidak akan diterima apapun kecuali mereka masuk Islam. Jika mereka menolak mereka diperangi (lihat: QS at-Taubah [9]: 5). Adapun bagi selain mereka maka nash-nash yang ada menyatakan bahwa perang dihentikan jika mereka mau tunduk di bawah sistem Islam dan membayar jizyah, meski mereka tidak masuk Islam dan tetap dalam keyakinan dan agama mereka. Ini berlaku untuk kalangan Ahlul Kitab (QS at-Taubah [9]: 29). Adapun untuk kaum kafir selain Ahlul Kitab, yaitu kaum musyrik selain kaum musyrik Arab, maka perlakuannya didasarkan pada sabda Nabi saw. yang memperlakukan Majusi Hajar sesuai dengan perlakuan kepada Ahlul Kitab. Begitu pula orang-orang Persia ketika di-futuhat pada masa Umar bin al-Khaththab ra.; mereka dibiarkan tetap dalam keyakinan mereka, ketika mereka mau tunduk pada sistem Islam dan membayar jizyah. Tidak seorang pun Sahabat yang mengingkari hal itu sehingga hal itu merupakan Ijmak Sahabat.
Hadis ini juga menyatakan bahwa dengan bersyahadat—yaitu bersaksi dengan mengucap Lâ ilâha illâ al-Lâh Muhammad rasûl al-Lâh—darah dan harta orang yang mengucapkannya terpelihara. Hal itu jelas dinyatakan oleh salah satu lafal hadis ini dalam riwayat Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dari Abu Hurairah ra., riwayat Imam Muslim dari Jabir ra. dan dalam riwayat dari Anas bin Malik ra. Rasulullah saw. juga pernah sangat marah kepada Khalid atau Usamah karena membunuh musuh di medan perang yang ketika akan dibunuh ia mengucapkan syahadat.
Adapun frasa yuqîmû ash-shalâta wa yu‘tû az-zakâta maka itu karena keistimewaan posisi shalat dan zakat. Hal itu mengindikasikan bahwa syahadat atau keimanan itu melahirkan konsekuensi untuk beramal salih. Amal saleh itu kadang berupa amal badani dan shalat adalah amal badani yang paling utama. Bisa pula berupa amal finansial dan zakat adalah yang paling utama.
Jika seseorang sudah bersyahadat maka darah dan hartanya terpelihara, tidak boleh dilanggar oleh siapapun; illâ bihaqqi al-islâm atau illâ bihaqqihâ, yaitu kecuali karena orang itu melakukan perbuatan yang menurut ketentuan Islam harus dikenai sanksi. Ini pula yang dijadikan argumentasi oleh Abu Bakar ketika memutuskan memerangi kaum yang tidak mau membayar zakat seperti dijelaskan di dalam Shahihayn, yaitu karena zakat itu adalah haq al-islâm dalam bentuk haq al-mâl. Karena itu, ketika mereka menolak kewajiban zakat itu dan mereka sudah dinasihati, diperingatkan dan diminta tobat, namun mereka justru membangkang dengan kekuatan, maka Abu Bakar ra. memutuskan mereka harus diperangi.
Ibn Mas’ud juga menuturkan bahwa Nabi saw. bersabda:
لا يَحِلُّ دمُ امرئٍ مُسلم يَشْهَدُ أنْ لا إله إلا الله، وأني رسولُ الله إلاّ بإحدى ثلاثٍ: الثَّيِّبِ الزَّاني، والنفسِ بالنفسِ، والتَّاركِ لدينه المفارق للجماعة
Tidak halal darah seorang Muslim yang bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan aku adalah Rasulullah kecuali karena salah satu dari tiga perkara: orang yang sudah menikah yang berzina, jiwa dengan jiwa dan orang yang meninggalkan agamanya dan memecah-belah jamaah (HR Bukhari dan Muslim).
Frasa wa hisâbuhum ‘alâ Allâh maknanya adalah hukum menurut lahiriahnya. Selama seseorang telah mengucap syahadat maka ia harus dihukumi sebagai Muslim. Adapun apa yang disembunyikan, baik kekufuran dalam kasus orang munafik, atau pelanggaran yang tersembunyi dalam kasus Muslim yang bermaksiat namun tidak terungkap, maka hisabnya terserah kepada Allah SWT. WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]