Wahyu (al-wahyu) berasal dari wahâ–yahî–wahy[an]. Jadi, wahyu adalah mashdar-nya. Ibn Duraid di dalam Jumhurah al-Lughâh menyatakan, wahyu: wahâ‘ adalah cepat. Wahyu dari Allah adalah berita dan llham, sedangkan dari manusia merupakan isyarat. Menurut al-Jauhari di dalam ash-Shihah fî al-Lughâh, Zainuddin ar-Razi dalam Mukhtâr ash-Shihâh, Abul Abbas al-Fayumi dalam Mishbâh al-Munîr, Ibn Manzhur dalam Lisân al-‘Arab dan al-Fayruz Abadi dalam al-Qâmûs al-Muhîth, al-wahyu bentuk jamaknya adalah wuhiy[un] artinya adalah tulisan (al-kitab), isyarat, pesan (ar-risâlah), ilham, perkataan yang tersembunyi (al-kalam al-khâfî) dan apa saja yang Anda sampaikan kepada selain Anda. Dikatakan, wahâyta ilayhi al-kalâm tahîhi wahyan wa awhâyta ilayhi, artinya Anda berbicara kepadanya suatu perkataan secara sembunyi.
Al-Minawi di dalam At-Ta’ârif menyatakan, al-wahyu adalah memasukkan makna di dalam jiwa dalam kerahasiaan. Ar-Raghib mengatakan asalnya adalah isyârah as-sarî’ah (isyarat yang cepat). Adapun Muhammad Rawas Qal’ah Ji di dalam Mu’jam Lughah al-Fuqahâ’ mengartikan wahyu adalah apa yang disampaikan kepada orang lain agar dia mengetahuinya.
Di dalam al-Quran kata Awhâ dan bentukannya dinyatakan sekitar 78 kali. Di antaranya dalam makna bahasanya, antara lain: dalam makna ilham yang bersifat fitrah bagi manusia (QS al-Qashash [28]: 7); ilham yang bersifat naluri pada binatang (QS an-Nahl [16]: 68), bisikan keburukan baik dari manusia kepada manusia lain atau dari jin (setan dari golongan jin) kepada manusia (QS al-An’am [6]: 112 dan 121), memberi isyarat atau memberi sinyal atau kode (QS Maryam [19]: 11), apa yang disampaikan oleh Allah kepada Malaikat berupa perintah untuk dikerjakan (QS al-Anfal [8]: 12).
Meski secara bahasa kata wahyu memiliki banyak makna, sebenarnya makna-makna itu berdekatan. Dalam semua makna itu unsur pokoknya adalah i‘lâm (pemberitahuan). Karena itu, seperti yang dinyatakan oleh Ibn Manzhur, Abu Ishaq mengatakan bahwa asal al-wahyu di dalam bahasa semuanya adalah I’lâm fî khafâ’ (pemberitahuan dalam kerahasiaan/sembunyi-sembunyi). Oleh karena itu, ilham disebut wahyu.
Ibn al-Anbari, seperti dikutip Ibn Manzhur, mengomentari QS al-An’am: 112, ia mengatakan: maknanya bahwa sebagian menyampaikan secara rahasia kepada sebagian yang lain. Ini adalah asal huruf, kemudian wahyu dibatasi untuk ilham dan bisa juga untuk suatu perintah dan untuk isyarat.
Manna Khalil al-Qattan dalam Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur`ân menyatakan, “Karena itu maka dikatakan bahwa wahyu adalah pemberitahuan secara tersembunyi dan cepat yang khusus ditujukan kepada orang yang diberi tahu tanpa diketahui orang lain.”
Namun, dalam penggunaannya menurut al-Minawi, sebutan wahyu hanya boleh digunakan untuk nabi. Inilah yang menjadi makna syar’i kata al-wahyu.
Muhammad Abduh mengartikan wahyu secara syar’i adalah pengetahuan yang didapati seseorang dalam dirinya dengan keyakinan bahwa itu berasal dari Allah dengan perantaraan atau tanpa perantaraan dan yang pertama dengan suara yang terjelma ke telinganya atau tanpa suara. Ia membedakan wahyu dengan ilham dimana ilham adalah perasaan (wijdân) yang diyakini jiwa sehingga terdorong untuk mengikutinya tanpa tahu dari mana itu datang dan itu serupa dengan perasaan lapar, haus, sedih dan senang. Artinya, ilham itu semacam inspirasi yang datang begitu saja atau semacam intuisi.
Hanya saja, menurut Dr. Muhammad Ali al-Hasan dalam Al-Manâr fî ‘Ulûm al-Qur’ân, definisi itu masih kurang tepat. Menurutnya yang paling tepat, wahyu adalah seperti yang diriwayatkan dari az-Zuhri, yaitu apa yang diwahyukan oleh Allah kepada seorang nabi lalu dikokohkan di dalam hati Nabi itu, kemudian dia ucapkan dan dia tulis, dan itu adalah kalam Allah. Jadi, wahyu adalah kalam Allah yang diturunkan melalui perantaraan kepada seorang rasul (Lihat: QS asy-Syu’ara’ [26]: 192-194)
Wahyu termasuk perkara akidah. Seorang Muslim wajib meyakininya. Hanya saja, dalil wahyu itu bukan dalil yang bersifat rasional (dalil ‘aqli), tetapi adalah dalil naqli. Sebab, wahyu tidak bisa diindera sehingga akal tidak bisa menetapkan (memastikan)-nya sama sekali.
Al-Quran telah memastikan bahwa wahyu diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Banyak ayat yang menegaskan hal itu (Lihat: QS an-Nisa’ [4]: 163; QS asy-Syu’ara [26]: 52).
Wahyu itu diturunkan kepada Rasul saw. melalui tiga keadaan, sebagaimana diturunkan kepada setiap nabi. Ketiga keadaan itu meliputi semua keadaan yang merupakan turunan di bawahnya (QS asy-Syura [42]: 51).
Tidak benar Allah berbicara kepada seseorang kecuali dalam bentuk wahyu, atau suara dari balik tabir atau dengan mengirim utusan. Tiga keadaan turunnya wahyu itu adalah:
Kondisi pertama, Allah berbicara dari balik tabir. Allah berbicara kepada nabi dari balik tabir dan nabi tidak bisa melihat zat Allah itu. Ini seperti ketika Allah berbicara kepada Nabi Musa as. (QS an-Nisa’ [4]: 164, al-Qashash [28]: 30, Thaha [20]: 11-13). Adapun kepada Rasulullah saw., kondisi itu hanya terjadi satu kali saja, yaitu saat Isra’ Mi’raj sebagaimana yang dijelaskan di dalam hadis sahih dan diisyaratkan oleh QS an-Najm [53]: 5-10).
Kondisi kedua, yang terjadi pada Nabi saw. berupa isyarat Malaikat dengan memasukkan wahyu itu ke dalam dada (pemahaman dan ingatan) Rasul tanpa penjelasan berupa ucapan. Adakalanya dalam bentuk ilham yang langsung dimasukkan oleh Malaikat Jibril ke dalam dada Rasul saw. Adakalanya dalam bentuk ilham yang datang dalam mimpi seperti dalam riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Aisyah tentang awal turunnya wahyu. Adakalanya pula dalam bentuk seperti suara gemerincing lonceng sampai menyakitkan Rasul dan beliau memahaminya.
Ummul Mukminin Aisyah menuturkan bahwa Harits bin Hisyam pernah bertanya kepada Nabi saw. bagaimana wahyu turun kepada beliau. Nabi saw. menjawab:
أَحْيَانًا يَأْتِينِى مِثْلَ صَلْصَلَةِ الْجَرَسِ وَهُوَ أَشَدُّهُ عَلَىَّ فَيُفْصَمُ عَنِّى وَقَدْ وَعَيْتُ عَنْهُ مَا قَالَ، وَأَحْيَانًا يَتَمَثَّلُ لِىَ الْمَلَكُ رَجُلاً فَيُكَلِّمُنِى فَأَعِى مَا يَقُولُ
Kadang datang kepadaku seperti gemerincing lonceng dan itu paling sulit bagiku sehingga menyakitkanku dan aku memahami apa yang dikatakan. Kadang Malaikat menyerupai seorang laki-laki, lalu berbicara kepadaku dan aku paham apa yang ia bicarakan (HR al-Bukhari, an-Nasai dan at-Tirmidzi).
Kondisi ketiga, wahyu itu datang melalui lisan Malaikat Jibril. Suara Jibril sampai ke pendengaran Rasul setelah beliau mengetahui dengan dalil qath’i bahwa itu adalah wahyu, yaitu bahwa itu adalah Malaikat Jibril. Itu seperti di Gua Hira’ saat Rasul saw. menerima wahyu pertama, QS al-‘Alaq [96]: 1-5. Adakalanya Jibril datang dalam rupa seorang laki-laki, lalu berbicara kepada Rasul saw. Beliau kemudian mendengarkannya dan menghapalnya. Itu seperti yang dituturkan Ummul Mukninin Aisyah di atas.
Wahyu yang diturunkan kepada Nabi saw. ada dua macam: Pertama, ungkapan dan maknanya dari Allah SWT dan itulah al-Quran. Kedua, maknanya dari Allah, namun diungkapkan dengan lafal atau ungkapan Nabi saw. sendiri baik dalam bentuk ucapan, perbuatan atau persetujuan (taqrîr) dan itu semua adalah as-Sunnah. Semuanya itu adalah wahyu (Lihat: QS an-Najm [53]: 3-4)
Setiap kali al-Quran turun, beliau memanggil para penulis untuk menuliskannya di hadapan beliau berikut posisinya. Beliau pun memerintahkan para Sahabat untuk menghapalnya dan menyetor hapalan kepada beliau untuk diverifikasi. Menurut al-Qurthubi, jumlah Sahabat yang hapal al-Quran itu ratusan orang. Berdasarkan hapalan dan tulisan itulah kemudian disusun mushaf pada masa Abu Bakar. Lalu pada masa Utsman ia dijadikan satu-satunya master untuk menyusun Mushaf Utsmani sebagai master mushaf untuk seluruh wilayah dan kita kenal hingga saat ini. WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]