Soal:
Jika seorang suami yang melakukan li’an maka status pernikahannya bisa dinyatakan batal. Lalu bagaimana dengan status istri yang mengaku telah berzina, apakah dengan sendirinya pernikahannya juga batal?
Jawab:
Mengenai status pernikahan pasangan suami istri yang melakukan li’an, yaitu ketika suami menuduh istrinya berzina dengan pria lain, sementara tidak ada saksi lain, selain dirinya, maka dia harus menyatakan kesaksian atas nama Allah sebanyak empat kali di hadapan hakim. Lalu hakim mengingatkannya untuk bertakwa kepada-Nya dan mengingatkan bahwa sanksi dunia lebih ringan dibandingkan dengan adzab-Nya di akhirat. Setelah itu baru menyatakan, “Semoga Allah melaknat diri saya, jika saya berdusta.” Seketika jatuhlah li’an tersebut.1
Konsekuensi dari li’an ini, bagi pihak suami, dia tidak akan terkena had qadzaf (sanksi tuduhan berzina), yaitu dicambuk 80 kali, karena tidak bisa menghadirkan 4 saksi. Pada saat yang sama, pernikahannya pun dinyatakan batal (fasakh) untuk selama-lamanya sehingga dia tidak akan pernah bisa rujuk kembali kepada istrinya. Sementara itu, bagi pihak istri, jika dia tidak mau melakukan proses yang sama, sebagaimana yang telah dilakukan suaminya, yaitu menyatakan kesaksian atas nama Allah sebanyak empat kali di hadapan hakim, lalu hakim mengingatkannya untuk bertakwa kepada-Nya dan mengingatkan bahwa sanksi dunia lebih ringan dibandingkan dengan adzab-Nya di akhirat, setelah itu baru menyatakan, “Semoga Allah melaknat dirinya, jika dia berdusta,” sehingga li’an tersebut jatuh, maka kalau istri tersebut tidak mau melakukan proses di atas, dia dianggap telah melakukan zina, dan berhak dikenai sanksi zina muhshan, yaitu dirajam hingga mati. Sebaliknya, jika pihak istri tersebut melakukan proses yang sama, maka dia bisa terbebas dari had zina. Setelah itu, status pernikahan mereka dinyatakan batal, dan harus dipisahkan oleh hakim dengan status fasakh, dengan konsekuensi tidak bisa kembali selama-lamanya. Inilah status pernikahan suami-istri yang melakukan li’an.2
Lalu bagaimana jika mereka tidak melakukan li’an, tetapi istrinya mengaku sendiri bahwa dia telah berzina, apakah pernikahan mereka juga batal? Kondisi ini berbeda dengan kondisi yang pertama. Dalam konteks ini, ada dua pendapat. Pertama: pendapat Mujahid, ‘Atha’, an-Nakha’i, at-Tsauri, asy-Syafi’i, Ishaq dan para fuqaha’ Ahlu ar-Ra’yi dan kebanyak Ahli Ilmu, bahwa kalau istri berzina, atau suaminya berzina, maka nikahnya tidak otomatis menjadi batal, baik sebelum maupun setelah mereka berhubungan badan.3
Kedua: pendapat Jabir bin Abdillah bahwa kalau istri tersebut telah berzina, maka suami-istri ini harus dipisahkan, dan si istri tidak berhak mendapatkan apapun. Juga pendapat dari al-Hasan dan Ali bin Abi Thalib, bahwa suami-istri tersebut harus dipisahkan jika suaminya berzina sebelum berhubungan dengannya. Mereka beragumen, bahwa kalau suami tersebut menuduh istrinya berzina, dan me-li’an-nya saja, maka statusnya menjadi tertalak bai’n dari suaminya, karena status zina yang dinyatakan kepada istrinya, dengan begitu zina tersebut jelas bisa menyebabkan isterinya tertalak ba’in.4
Namun, argumentasi ini disanggah oleh Ibnu Qudamah dari Mazhab Hanbali, bahwa tuduhan zina kepada istri tersebut tidak secara otomatis membuatnya tertalak ba’in. Andai dengan tuduhan zina tersebut pernikahannya secara otomatis batal, maka pernikahan tersebut juga secara otomatis batal, semata-mata karena adanya klaim, seperti saudara sepersusuan. Di samping itu, zina ini merupakan kemaksiatan yang tidak sampai mengeluarkannya dari Islam. Sebab, kalau salah satu dari suami-istri tersebut murtad, maka pernikahan mereka otomatis batal. Demikian juga berbeda dengan li’an, karena li’an menyebabkan batalnya pernikahan dengan status fasakh, meski tidak benar-benar berzina. Buktinya, jika istri tersebut juga melakukan proses li’an, maka proses tersebut bisa diterima, dan dia tidak ditetapkan berbuat zina. Nabi saw. juga tetap mewajibkan dijatuhkannya had qadzaf kepada orang yang menuduh perempuan tersebut berzina, termasuk suaminya, jika tidak bersedia melakukan proses li’an, sementara status fasakh-nya tetap jatuh.5
Meski demikian, menurut Ibn Qudamah, Imam Ahmad lebih suka agar suami menceraikan istrinya, jika istrinya telah berzina. Saya tidak berpendapat, bahwa dia harus mempertahankan kondisi seperti ini. Sebab, ranjangnya tidak bisa dijamin dari kotoran, sementara getahnya akan ditimpakan kepadanya, sementara anak yang lahir dari istrinya itu bukan anaknya.6
Dengan demikian, meski Imam Ahmad berpendapat, bahwa status suami-istri tersebut tidak secara otomatis akan tertalak atau ter-fasakh, sebagaimana dalam kasus li’an, tetapi jika istri telah mengaku berzina dengan pria lain, maka sebaiknya suaminya menceraikannya agar dia terhindar dari penisbatan anak yang notabene bukan anaknya. Ibn Mundzir berkomentar, “Barangkali orang yang tidak menyukai wanita seperti ini—maksudnya yang telah berzina—tak lebih dari makruh, tidak sampai haram, sebagaimana pendapat Imam Ahmad ini.” 7
Memang ada hadis yang menjelaskan:
لاَ يَحِلُّ لاِمْرِىءٍ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ الآخِرِ يُسْقِي مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ
Tidaklah halal bagi seorang Mukmin yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir untuk menumpahkan air (mani)-nya kepada tanaman (buah hasil hubungan) orang lain (HR Ibn Qudamah dalam Al-Mughni).
Maksudnya, menyetubuhi istri yang hamil dari hasil hubungan dengan pria lain. Namun, hadis ini tidak bisa dijadikan dalil, bahwa status pernikahan suami-istri tersebut secara otomatis menjadi batal, karena istrinya telah berzina. Sebab, hadis ini hanya menjelaskan ketidakhalalan menyetubuhi istri dalam kondisi hamil dari hasil hubungan dengan pria lain. Dengan kata lain, hadis ini hanya memerintahkan istibra’ (pembersihan kandungan) sehingga status nasabnya tidak bercampuraduk antara suami wanita ini dengan pria lain. Karena itu, suami wanita ini bisa menceraikannya hingga bayi dari kandungan istrinya tersebut lahir, kalau dia hamil, atau kalau tidak hamil, bisa diceraikan hingga haid sekali atau tiga kali, kemudian bisa dirujuk kembali.
Namun, untuk rujuk kembali, para fukaha juga mensyaratkan, agar perempuan yang sebelumnya telah berzina ini bertobat terlebih dulu, baru bisa dinikahi kembali. Jika tidak, maka dia tidak layak dinikahi. Wallahu a’lam. []
Catatan kaki:
1 Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, An-Nidzam al-Ijtima’i fi al-Islam, Dar al-Ummah, Beirut, cet. IV, edisi Muktamadah, 1424 H/2003 M, hlm. 166-167.
2 Ibid, hlm. 167-168.
3 Ibn Qudamah al-Maqdisi, Al-Mughni, Bait al-Afkar ad-Duwaliyyah, Yordania, t.t., II/1653.
4 Ibid. Mengenai status talaknya, apakah berstatus talak bai’n bainunah kubra, ataukah fasakh memang ada ikhtilaf. Menurut Imam Abu Hanifah, suami-istri yang melakukan li’an, statusnya tertalak bai’n bainuna kubra, karena itu masih boleh dinikahi kembali setelah terlebih dulu dinikahi pria lain dan disetubuhi, lalu diceraikan. Berbeda dengan Imam Ahmad, juga Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, menurut beliau status talak suami-istri tersebut adalah fasakh, sehingga selamanya mereka tidak bisa menikah kembali.
5 Ibid.
6 Ibid.
7 Ibid.