HTI

Hiwar (Al Waie)

Jubir HTI HM Ismail Yusanto: Untuk Apa Berkuasa jika Tidak Menegakkan Syariah?

Sebagaimana diketahui, beberapa waktu lalu, seorang tokoh pimpinan sebuah partai Islam melontarkan sejumlah pernyataan sebagai alasan mengapa partainya mendeklarasikan sebagai ‘partai terbuka’. Keterbukaan partainya antara lain ditandai dengan kesiapsediaan partai tersebut untuk menerima non-Muslim tidak hanya menjadi anggota, tetapi bahkan pengurus partai. Persoalannya, sang tokoh mengklaim, bahwa ‘kertebukaan’ bukanlah strategi partai, tetapi justru merupakan pengamalan dari ajaran Islam itu sendiri yang memang bersifat ‘terbuka’.

Betulkah alasan demikian? Betulkah partai Islam harus bersifat ‘terbuka’? Betulkah ‘keterbukaan’ merupakan hakikat dari ajaran Islam? Bagaimana pula sesungguhnya sebuah partai dikatakan partai Islam? Apa saja syarat-syaratnya? Itulah di antara pertanyaan yang kami tanyakan kepada Juru Bicara HTI, HM Ismail Yusanto. Berikut adalah jawaban lengkap beliau di seputar pertanyaan-pertanyaan di atas.

Islam adalah rahmatan lil alamin. Menurut sebagian orang itu artinya bahwa Islam itu terbuka, karenanya kelompok Islam apalagi partai Islam harus terbuka, inklusif. Jadi, sifat terbuka itu merupakan pelaksanaan ajaran Islam yang hakiki. Bagaimana menurut Ustadz?

Betul. Islam adalah agama yang Allah SWT turunkan sebagai rahmat bagi semesta alam. Kerahmatan itu akan bisa dirasakan hanya bila akidah Islam diyakini dan dipegang erat serta syariahnya diterapkan secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan, baik dalam kehidupan pribadi, keluarga maupun dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Bagi orang non-Islam kerahmatan itu bisa dirasakan hanya bila mereka hidup di dalam masyarakat Islam. Sebagai warga non-Muslim, mereka diberi kebebasan, bahkan perlindungan, untuk melaksanakan ibadah dan aspek lainnya yang terkait dengan keyakinan agama mereka. Dalam kehidupan publik, mereka tunduk dan mengikuti seluruh aturan-aturan Islam. Dalam kehidupan semacam inilah, kerahmatan Islam yang dijanjikan itu benar-benar akan terwujud dan dapat dirasakan oleh semua manusia, baik muslim maupun non- Muslim.

Secara individual, seorang Muslim, baik dalam kehidupan Islam maupun dalam kehidupan sekular seperti saat ini, wajib berinteraksi dengan siapapun, baik sesama Muslim maupun dengan non-Muslim, atas dasar ajaran Islam. Dengan cara itu, orang non-Islam juga akan merasakan kebaikan Islam yang mereka dapat dari interaksi dengan orang Islam.

Ini semua terjadi dan berlangsung dalam konteks kehidupan masyarakat Islam, yang tentu tidak sama dengan konteks partai politik. Partai politik adalah sekumpulan orang yang berhimpun berdasarkan kesamaan visi, misi dan untuk tujuan melakukan perjuangan politik. Bila itu partai politik Islam maka himpunan orang itu tentu diarahkan untuk tercapainya visi, misi dan tujuan politik Islam. Dengan demikian, orang yang berhimpun di dalamnya semestinya adalah orang-orang yang meyakini kebenaran visi dan misi serta tujuan perjuangan politik Islam itu. Bagaimana orang kafir bisa bergabung di dalamnya bila mereka sendiri jelas-jelas tidak percaya dengan kebenaran Islam?

Bahwa anggota jamaah atau kelompok atau partai politik Islam haruslah Muslim disebut dengan sangat jelas dalam surat Ali Imran ayat 104. Pada ayat itu dinyatakan bahwa hendaknya ada dari ‘minkum’, yakni dari umat Islam, sebuah kelompok dakwah yang tugasnya mendakwahkan al-khayr (Islam) serta amar makruf nahi mungkar. Oleh karena itu, penerimaan keanggotan non-Muslim dalam partai Islam dengan argumen kerahmatan dan pluralitas serta inklusifitas Islam tidaklah tepat. Sebab, kerahmatan Islam yang dimaksud tidaklah diwujudkan dengan cara seperti itu. Dalam dakwahnya, Rasulullah juga tidak pernah mengajak orang bergabung dalam jamaah dakwahnya kecuali setelah mereka memeluk akidah Islam.

Bila ada partai Islam yang mempersilakan orang kafir menjadi anggota apalagi pengurus partai maka ada dua kemungkinan. Pertama: orang-orang kafir itu berpura-pura meyakini kebenaran (tujuan politik) Islam. Kedua: partai itu—meski menyebut diri sebagai partai politik Islam—tidak lagi memperjuangkan tujuan politik Islam. Islam di situ hanya dijadikan sebagai alat legitimasi atau justifikasi serta komoditi untuk meraih suara. Dengan kata lain, kelompok ini sedang melakukan politisasi Islam, yakni menjadikan Islam sekadar sebagai alat untuk meraih tujuan politik (kekuasaan) semata-mata.

Kalau tidak terbuka dan tidak inklusif, nanti partai Islam tidak bisa menang?

Tergantung apa yang dimaksudkan dengan kemenangan di sini. Kalau kemenangan itu diartikan diraihnya suara paling banyak dalam Pemilu, mungkin saja dengan membuka diri bagi non-Muslim sebuah partai politik Islam akan bertambah suaranya. Namun, ini hanya dugaan atau harapan, karena mungkin juga yang terjadi justru sebaliknya. Alih-alih partai itu mendapatkan tambahan suara, yang terjadi suara pendukung lama malah berkurang karena merasa partai ini sudah tidak lagi memperjuangkan Islam. Sebaliknya, pendukung yang baru belum tentu didapat karena mereka tidak percaya dengan jargon atau orientasi baru partai ini. Mereka khawatir ini hanya siasat untuk menarik suara, sementara partai ini masih tetap menyimpan agenda tersembunyi, yakni perjuangan Islam. Walhasil, suara yang didapat bakal terus menyusut, seperti yang dialami oleh beberapa partai yang menamakan diri partai berbasis massa Islam.

Berbeda halnya bila kemenangan di sini diartikan dengan tegaknya syariah dan diraihnya kekuasaan untuk penerapan syariah Islam demi kembalinya ‘izzul Islam wa al-Muslimin, maka justru partai Islam akan terdorong untuk kokoh memegang jatidirinya sebagai partai Islam. Ia tidak takut untuk menegaskan visi, misi dan tujuannya secara jelas dan tegas, dengan harapan orang-orang menjadi mengerti bahwa perjuangan ini tidak lain adalah demi kemaslahatan bersama. Dengan cara ini, diharapkan makin banyak orang kemudian mendukung. Oleh karena itu, bagi partai semacam ini tidak ada perlunya untuk mengaburkan jatidiri, menyembunyikan apalagi mengubah visi, misi dan tujuan yang sebenarnya. Sebab, bila itu dilakukan, akan dirasakan sebagai penghianatan terhadap perjuangan Islam itu sendiri. Untuk apa berjuang meraih kekuasaan bila tidak untuk tegaknya Islam?

Jadi, sebuah partai Islam disebut menang secara hakiki bila berhasil mewujudkan kembali kehidupan Islam; syariah diterapkan dan persatuan umat diwujudkan di bawah naungan Khilafah. Kemenangan ini adalah kemenangan seluruh umat Islam dan tentu kemenangan kelompok atau jamaah atau partai Islam lain yang berjuang untuk tegaknya kembali ‘izzul Islam wa al-Muslimin.

Bukankah manfaat partai itu harus bisa dirasakan oleh semua dan untuk itu partai harus terbuka?

Untuk bisa memberi manfaat, sebuah partai politik Islam tidak harus menjadi partai terbuka, dalam arti siapa saja baik Muslim maupun non-Muslim bisa menjadi anggota. Bila benar-benar memperjuangkan syariah, partai itu pasti akan dirasakan memberikan manfaat bagi semua karena apa yang diperjuangkan, yakni syariah Islam, memang diturunkan untuk memberi rahmat bagi semua. Inilah kemanfaatan terbesar dari sebuah partai politik Islam.

Sebuah partai Islam akan dinilai paling banyak memberi manfaat bila ia mampu mewujudkan kehidupan Islam, yakni kehidupan yang di dalamnya diterapkan syariah. Dengan diterapkannya syariah itulah akan terwujud sebuah kehidupan yang benar-benar memberikan manfaat atau maslahat kepada seluruh masyarakat. Sekali lagi, di sinilah sesungguhnya nilai manfaat tertinggi dari sebuah partai politik Islam.

Selagi kehidupan Islam itu belum terwujud, maka nilai manfaat sebuah partai politik Islam terletak pada sejauh mana ia mampu menyadarkan rakyat tentang pentingnya penerapan syariah dan betapa berbahayanya sistem sekular itu. Dengan itu rakyat menjadi bersemangat untuk mendukung perjuangan mewujudkan kehidupan Islam dan menolak sistem sekular. Dalam perspektif semacam ini, meski sebuah partai politik Islam umpamanya banyak melakukan kegiatan sosial atau banyak anggotanya menjadi anggota parlemen atau menjadi pejabat negara, tetapi bila semua itu justru memperkokoh sistem sekular, maka itu tidak bisa disebut telah banyak memberi manfaat; bahkan bisa disebut telah turut memberi madarat.

Apakah itu gambaran sikap pragmatis?

Bila sebuah partai politik (Islam) berjuang semata-mata agar bagaimana sebanyak mungkin partai itu berkuasa baik di legislatif atau eksekutif, tidak peduli untuk hal itu harus berkoalisi dengan partai sekular atau harus menerima prinsip, hukum dan perundangan sekular, maka inilah yang disebut pragmatisme. Bila pragmatisme lebih mendominasi sebuah partai Islam, maka partai itu tidak berbeda dengan partai yang bukan Islam, karena partai yang bukan Islam juga sama bersifat pragmatis. Bahkan partai Islam yang pragmatis lebih besar bahayanya karena ia bisanya melegalisasi kesalahannya itu dengan ayat al-Quran dan hadis Rasulullah saw.

Sikap semacam ini jelas bertentangan dengan ajaran Islam. Percayalah, cara seperti ini tak akan mendatangkan keberkahan karena berakibat mengaburkan perjuangan Islam yang sebenarnya, bahwa seolah-olah begitulah perjuangan politik Islam. Lebih berbahaya lagi bila demi kedudukan politiknya, ia lantas ikut dalam usaha untuk menghambat perjuangan politik Islam yang sebenarnya. Pada titik ini, ia justru telah menjadi bagian dari kekuasaan taghut.

Lalu terkait pelaksanaan syariah, katanya syariah itu sebagian besarnya, sampai 98%, pelaksanaannya tidak tergantung negara sehingga tidak perlu UU. Betul demikian?

Dilihat dari subyek pelaksana syariah, penerapan syariah bisa dilakukan oleh individu, kelompok dan negara. Penerapan syariah oleh individu dan kelompok seperti misalnya pelaksanaan shalat, zakat, dan beberapa aspek ekonomi memang tidak memerlukan UU. Semua itu bisa langsung diterapkan oleh yang bersangkutan tanpa perlu ada formalisasi syariah. Namun, sebagian besarnya lagi, seperti aspek politik dan pemerintahan, hukum dan sanksi, ekonomi dan keuangan, sosial, budaya dan pendidikan tidak bisa diterapkan kecuali oleh negara. Sebab, negara adalah pihak yang memiliki wewenang terbesar dalam seluruh aspek kehidupan sebuah masyarakat. Tambahan lagi, tanpa peran negara, pelaksanaan syariah dalam kehidupan pribadi seperti shalat, puasa, zakat dan sebagainya juga tidak bisa berjalan sempurna. Lihatlah, meski mayoritas penduduk Indonesia Muslim, tetapi karena negara tidak memberikan sanksi apa-apa sesuai perintah syariah, maka banyak yang tidak melakukan shalat, puasa Ramadhan dan tidak membayar zakat. Jadi, sebenarnya bukan hanya 2%, malah semua alias 100% bagian dari syariah memerlukan peran negara demi kesempurnaan pelaksanaannya.

Katanya lagi, pelaksanaan syariah yang 2% itu harus negara, harus ada UU. Jadi, harus ada kesepakatan publik. Kalau publik tidak sepakat, gugur kewajiban kita melaksanakannya. Bagaimana pandangan Ustadz?

Penerapan syariah tidak memerlukan kesepakatan publik. Publik adalah obyek penerapan hukum, bukan subyek penetap hukum. Oleh karena itu, tidak selayaknya penerapan syariah memerlukan persetujuan publik. Perintah Allah SWT menyangkut penerapan syariah dalam al-Quran pun menyebut fahkum baynahum atau wa anihkum baynahum bima anzallah. Di situlah letak perjuangannya, bagaimana agar syariah itu bisa diterapkan. Bila pada faktanya publik tidak atau belum menyetujui, itu juga menjadi kewajiban partai politik Islam untuk menjelaskan kepada mereka tentang kewajiban, keagungan dan kehandalan syariah dalam menyelesaikan segenap persoalan; bukan malah menghindar dengan dalih tidak ada persetujuan publik.

Lalu bagaimana gambaran riil dari partai yang identitasnya Islam itu?

Dalam kondisi normal, sebenarnya label Islam dalam nama apapun—entah itu bank (Islam), sekolah (Islam) dan sebagainya, termasuk negara (Islam) dan partai (Islam)—tidaklah diperlukan, karena semua yang ada dalam sebuah kehidupan Islam pasti sesuatu yang islami. Oleh karena itu, bila kita membaca kitab-kitab yang ditulis pada masa kejayaan Islam, label Islam tidak ditemukan. Misalnya kitab Al-Ahkam as-Sulthaniyah-nya al-Mawardi atau kitab Al-Amwal-nya Abu Yusuf, tidak memakai label Islam. Namun, dalam kondisi tidak normal seperti sekarang ini, label Islam seperti pada sekolah (Islam), partai (Islam) dan lainnya menjadi penting untuk penanda identitas. Tentu yang dimaksud bukan hanya sekadar nama. Identitas itu mestilah benar-benar tercermin dalam sosok fundamentalnya. Bila ia adalah sebuah partai maka keislaman itu tercermin dalam visi, misi, tujuan dari partai itu serta konsepsi atau pemikiran yang diembannya; juga tercermin dalam perilaku keseharian dari partai itu.

Mengapa harus ada partai politik Islam? Apa pentingnya?

Dakwah bagi tegaknya kembali syariah dan Khilafah sebagai manifestasi dari tauhid atau keimanan kita kepada Allah SWT adalah dakwah dengan tujuan politik. Ini tentu hanya bisa dicapai melalui perjuangan politik. Perjuangan politik semacam itu hanya mungkin dilakukan oleh sebuah kelompok atau jamaah atau partai politik. Kelompok sosial atau kelompok yang non-politik tidak mungkin akan mencapai tujuan politik karena memang tidak bertujuan politik. Partai politik non-Islam juga tidak bisa diharapkan untuk tercapainya tujuan dakwah tadi. Tidak mungkin partai politik sekular memperjuangkan tujuan politik Islam. Di sinilah pentingnya keberadaan sebuah partai politik Islam. Oleh karena itu, partai atau jamaah atau kelompok yang bersifat politik diperlukan untuk perjuangan atau dakwah politis tadi. Lebih dari itu, pembentukan partai politik Islam adalah untuk memenuhi perintah Allah SWT dalam QS Ali Imran ayat 104 tadi.

Mengapa partai Islam belum menang?

Banyak faktor. Ada faktor internal partai dan umat Islam; di antaranya kelemahan pemikiran, kelemahan metode atau kelemahan kepemimpinan dan manajemen. Ada juga faktor eksternal, karena musuh-musuh Islam tentu tidak menghendaki Islam kembali memimpin. Karena itu, mereka akan terus berusaha dengan segala cara untuk menghalangi tegaknya kembali syariah dan Khilafah baik dengan cara halus melalui pembujukan atau penyimpangan maupun cara kasar seperti penangkapan, pelarangan dan penghancuran.

Bagaimana supaya partai Islam bisa meraih kemenangan itu?

Kemenangan itu hanya bisa diraih bila fikrah atau konsepsi yang diperjuangkan adalah fikrah Islam dan perjuangan dilakukan sesuai dengan jalan dakwah atau thariqah dakwah Rasulullah saw.; dimulai dari pembinaan, interaksi dengan umat hingga perjuangan politik dan usaha thalabun nusrah. Dakwah semacam ini memang tidak mudah, tetapi insya Allah tujuan itu akan terwujud, karena metode itu adalah jalan dakwah yang ditunjukkan oleh Rasulullah, dan berhasil. []

One comment

  1. assalamu’alaikum

    tinggal dakwah aja kok repot pkek ganti cara rekrutmen partai buka bukaan lagi

    khilafah ndak butuh pertolongan orang kafir,,hanya allah lah kita berharap…

    wassalamu’alaikum

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*