Istilah mushaf (mushhaf) tentu tidak asing bagi kaum Muslim. Saat mendengar kata tersebut, tidak seorang pun dari kaum Muslim yang akan berbeda tentang maksudnya, yakni mushhaf al-Qur’an.
Istilah mushhaf sendiri dibentuk dari kata shahîfah; bentuk jamaknya shahâ’if, shuhuf. Menurut Ibn Duraid dalam Jumhurah al-Lughah, shahîfah adalah kulit yang berwarna keputihan atau lembaran/lempengan tipis, untuk tempat menulis tulisan. Adapun menurut al-Jauhari dalam Ash-Shihah fî al-Lughah, shahîfah adalah al-kitab. Jadi, secara bahasa shahîfah—jamaknya shuhuf—bisa diartikan lembaran-lembaran tulisan.
Di dalam al-Quran kata shuhuf dinyatakan delapan kali di delapan ayat (QS Thaha [20]: 133; an-Najm [53]: 36; al-Muddatstsir [74]: 52; ‘Abasa [80]: 13; at-Takwir [81]: 10; al-A’la [87]: 18, 19; al-Bayyinah [98]: 2). Maknanya adalah lembaran-lembaran, kitab-kitab terdahulu sebelum al-Quran dan catatan amal.
Adapun mushhaf, menurut Abu Hilal al-‘Askari, penduduk Nejad membacanya mushhaf sedangkan penduduk Hijaz membacanya mishhaf. Menurut Ibn Duraid, bacaan mishsaf adalah bacaan menurut Bani Tamim, sedangkan bacaan mushhaf adalah bacaan penduduk Nejad. Menurut al-Fara’ seperti dikutip oleh al-Jauhari, orang Arab susah menyebut dhammah maka mereka ubah mîm-nya menjadi kasrah, tetapi asalnya adalah dhammah. Mishhaf itu karena diambil dari ushhifa yang di dalamnya lembaran-lembaran dikumpulkan. Al-Azhari mengatakan, al-mushhaf disebut mushhaf, liannahu ushhifa yaitu yang dijadikan menghimpun lembaran-lembaran (shuhuf) yang tertulis di antara dua lembaran sampul. Karena itu, menurut ar-Raghib al-Ashfahani di dalam Mufradât, mushhaf adalah apa yang dijadikan menghimpun lembaran-lembaran yang tertulis.
Menurut Abu Hilal al-‘Askari, mushhaf berbeda dengan kitâb. Kitâb bisa terdiri dari satu lembar saja atau sejumlah lembaran. Adapun mushhaf harus terdiri atas sejumlah lembaran. Ini adalah makna menurut bahasa.
Hanya saja, akhirnya istilah mushhaf itu secara tradisi digunakan untuk menyebut lembaran-lembaran tulisan al-Quran yang dikumpulkan pada masa Khalifah Abu Bakar. Berikutnya digunakan menyebut salinan mushhaf itu yang dibuat pada masa Khalifah Utsman bin Affan, dan secara khusus disebut Mushhaf Utsmani. Mushaf ini disepakati oleh para Sahabat sebagai satu-satunya master bagi penulisan mushaf al-Quran yang sah berlaku sejak saat itu hingga kiamat nanti. Kemudian kumpulan lembaran yang memuat tulisan seluruh al-Quran mulai surat al-Fatihah hingga an-Nas itu sering disebut mushaf saja. Jadi al-mushhaf adalah mushhaf al-Quran itu sendiri yang disalin berdasarkan master Mushaf Utsmani itu.
Pengumpulan dan Penulisan Mushhaf al-Quran
Pengumpulan al-Quran terjadi pada tiga masa. Pada masa Nabi saw., masa Abu Bakar dan masa Utsman bin Affan.
Pada masa Nabi saw., pengumpulan al-Quran dalam dua bentuk, hapalan dan tulisan. Dalam bentuk hapalan, setiap kali al-Quran turun maka Nabi saw. langsung hapal. Hapalan Nabi saw. tersebut senantiasa terjaga. Jibril setiap tahun selama bulan Ramadhan melakukan tilawah al-Quran bersama Nabi saw. dan pada tahun terakhir menjelang Nabi saw. wafat hal itu dilakukan dua kali. Ibn Abbas ra. menuturkan, “Jibril menjumpai Rasulullah saw. setiap malam bulan Ramadhan dan mengajarkan al-Quran kepada beliau.” (HR Bukhari, Muslim, Ahmad, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, ‘Abad bin Humaid, Ibn Khuzaimah).
Abu Hurairah ra. juga menuturkan, “Jibril membacakan al-Quran kepada Nabi saw setiap tahun sekali dan sebanyak dua kali pada tahun beliau wafat.” (HR al-Bukhari, Ahmad dan Ibn Abi Syaibah).
Nabi saw. juga mengajarkan al-Quran kepada para Sahabat dan memerintahkan mereka untuk menghapalnya sekaligus menyetor hapalan ke hadapan Nabi saw. Begitu pula setiap ada yang hijrah/masuk Islam, Nabi saw. menyerahkan kepada seorang Sahabat agar mengajarinya al-Quran. Para Sahabat sangat antusias untuk itu hingga Nabi saw bisa tahu rumah Bani al-Asy’ari di malam hari dari suara bacaan al-Quran mereka. Karena itu, jumlah para Sahabat yang hapal al-Quran sangat banyak. Setidaknya, yang syahid saat Tragedi Bi’r Ma’unah 70 orang, dan saat Perang Yamamah 70 orang. Karena itu, menurut al-Qurthubi, para Sahabat yang hapal al-Quran berjumlah ratusan orang.
Pada masa Nabi saw. itu, setiap kali al-Quran turun, Nabi saw. memanggil para penulis—di antaranya Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Zaid bin Tsabit, Ubay bin Kaab, Khalid bin Walid, Tsabit bin Qais, dan lainnya—untuk menuliskan al-Quran itu. Media yang digunakan kadang berupa pelepah kurma, kulit kayu, tulang unta, lempengan batu, atau kulit. Zaid bin Tsabit menuturkan, “Kami menyusun al-Quran di hadapan Rasulullah saw. pada kulit binatang.” (HR al-Hakim, ia berkata: sahih menurut syarat Syaykhayn).
Ibn Abbas menuturkan, Utsman bin Affan berkata: Jika turun ayat, Nabi saw. memanggil beberapa orang penulis lalu beliau bersabda, “Letakkan ini di surat yang di dalamnya disebutkan begini dan begini.” (HR Abu Ubaid di Fadhâil, Ibn Abi Syaibah, Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasai dalam Al-Kubrâ, Ibn al-Mundzir, Ibn Hibban, al-Hakim, al-Baihaqi, dll).
Shuhuf al-Quran itu disimpan oleh masing-masing Sahabat. Ini menunjukkan bahwa susunan ayat-ayat dalam surat al-Quran bersifat tawqîfî sesuai petunjuk Nabi saw. yang berasal dari Jibril dari Allah SWT.
Selanjutnya pada masa Abu Bakar ra. sebanyak 70 orang huffazh syahid di Yamamah. Umar ra. khawatir para huffazh akan makin sedikit dan al-Quran bisa terancam hilang, maka Umar ra. mengusulkan kepada Abu Bakar agar mengumpulkan al-Quran. Abu Bakar akhirnya menerima usul itu. Abu Bakar memanggil Zaid bin Tsabit dan menunjuknya sebagai pelaksananya. Imam al-Bukhari menceritakan kisah ini panjang lebar di Shahîh-nya.
Yahya ibn Abdirrahman ibn Hathib juga menuturkan, Umar berdiri lalu berkata, “Siapa saja yang menerima dari Nabi saw. sesuatu dari al-Quran hendaklah membawanya (ke kami).” Mereka menulisnya di shuhuf, pelepah kurma, dan kulit pelana. Ia berkata: Ia (Zaid) tidak menerima dari seseorang sesuatupun hingga ada dua orang yang bersaksi (HR Ibn Abi Dawud di Al-Mashâhif), yaitu bersaksi bahwa tulisan itu ditulis dihadapan Nabi saw. Ini menunjukkan bahwa Zaid tidak hanya bersandar pada hapalan dia dan orang-orang saja, tetapi harus didukung tulisan yang dipersaksikan oleh dua orang saksi bahwa itu ditulis di hadapan Nabi saw.
Setelah semua shuhuf al-Quran berhasil dikumpulkan, lalu Zaid ra. menghimpunnya menjadi satu dan oleh Abu Bakar ra. disebut Mushhaf. Mushhaf itu disimpan oleh Abu Bakar ra., lalu sepeninggalnya disimpan oleh Umar ra. dan setelahnya disimpan oleh Hafshah ra.
Selanjutnya pada masa Khalifah Utsman bin Affan, terjadi perbedaan bacaan di tengah umat hingga menyebabkan terjadi perselisihan bahkan hampir saling mengkafirkan. Hudzaifah ra. lalu mengusulkan agar Utsman membuat salinan Mushaf untuk sebagai master agar bacaan al-Quran di tengah umat seragam. Setelah bermusyawarah dengan para Sahabat, Utsman ra. menerima usul itu. Utsman ra. mengangkat Zaid—pengumpul mushaf pada masa Abu Bakar—sebagai ketua pelaksana disertai oleh Abdullah bin Zubair, Said bin al-‘Ash dan Abdurrahman bin al-Harits bin Hisyam ra. Mushhaf yang disimpan Hafshah kemudian dipinjam untuk disalin, dan setelah selesai dikembalikan lagi kepada Hafshah. Saat itu dibuat tujuh salinan. Satu dipegang Utsman untuk master di Madinah dan disebut Mushhaf al-Imâm. Satu masing-masing dikirim ke Makkah, Syam, Yaman, Bahrain, Bashrah dan Kufah. Utsman memerintahkan agar mushaf selainnya dibakar (lihat riwayat Imam al-Bukhari dari Anas bin Malik ra.). Semua Sahabat menyetujuinya, termasuk mereka yang memiliki mushaf pribadi seperti Ubay, Ibn Mas’ud, Ali, dll. Abu Bakar al-Anbari di kitab Ar-Raddu menyebutkan dari Suwad bin Ghiflah bahwa Ali bin Abi Thalib kw. Berkata, “Wahai manusia, bertakwalah, dan jangan berlebihan tentang Utsman, kata kalian (ia) penghancur al-Quran. Demi Allah, Utsman tidaklah membakar (menyobek)nya—yakni mushaf selain Mushaf Utsmani—kecuali atas sepengetahuan dan persetujuan kami para Sahabat Rasulullah.”
Juga dari Umair bin Said bahwa Ali berkata, “Andai aku berkuasa sewaktu Utsman niscaya aku melakukan tentang mushhaf–mushhaf itu seperti yang dilakukan Utsman.”
Ini menunjukkan bahwa para Sahabat berijmak untuk hanya menjadikan Mushaf Utsmani itu sebagai master mushaf yang sah. Mushaf Utsmani itu lalu disalin dan diperbanyak serta disebar di tengah umat hingga yang kita pegang sekarang. Jadi mushaf yang ada sekarang persis dengan Mushaf Utsmani yang disalin persis dari mushaf yang dihimpun masa Abu bakar dari shuhuf al-Quran yang ditulis di hadapan Nabi saw. Wallahu a’lam. [Yahya Abdurrahman]