HTI

Dunia Islam (Al Waie)

Para Penguasa Pengkhianat, Pendukung Sejati Israel

Pernyataan yang dibuat oleh Ben Gurion pada tahun 1948 ini mengungkapkan suatu persekongkolan besar para penguasa Muslim di mata kaum Zionis. Bahkan Ben Gurion menganggap penandatanganan sebuah perjanjian oleh penguasa Muslim dengan Negara Israel adalah pengkhianatan atas masyarakat yang mereka wakili.

Namun, pada hari ini para penguasa Muslim itu tidak hanya puas dengan pengkhianatan yang mereka lakukan itu, bahkan mereka juga bekerja untuk melakukan normalisasi hubungan dengan Negara yang keberadaanya tidak sah itu sekaligus melawan setiap penentangan atas negara penjajah itu.

Wajar jika Ben Gurion menganggap para penguasa Muslim itu adalah barisan pertama pertahanan bagi Israel. Dia juga mengatakan, “Para rezim Muslim adalah artifisial dan mudah bagi kamu untuk menganggap remeh mereka.” (David Ben-Gurion, Mei 1948, kepada Staf Umum. Dari Ben-Gurion, A Biography, karangan Michael Ben-Zohar, Delacorte, New York 1978.). Apa yang dia maksud artifisial adalah bahwa para penguasa Muslim itu telah dipaksakan keberadaannya atas umat sejak Khilafah Usmani dihancurkan pada tahun 1924.

Kegagalan para penguasa Muslim untuk merespon agresi yang dilakukan selama bertahun-tahun oleh negara-negara penjajah atas umat Islam telah mengungkap pengkhiatan para penguasa Muslim tersebut. Pengkhianatan paling tinggi kita saksikan selama perang antara Israel dan Hizbullah ketika para penguasa Muslim menyalahkan Hizbullah sebagai pihak yang menyulut peperangan.

Padahal, dalam laporan PBB atas konflik itu sejak penarikan mundur Israel dari Libanon pada tahun 2000, disebutkan bahwa banyak pelanggaran yang dilakukan Israel.

Menurut Sekjen PBB pada tahun 2004, Israel merupakan provokator dan Hizbullah hanyalah membalas agresi Israel.

Para penguasa Muslim telah banyak membuat alasan palsu untuk tidak melakukan apapun. Alasan utama adalah karena superioritas militer Israel dan bahwa berkonfrontasi dengan Israel akan membahayakan ekonomi nasional mereka. Benarkah demikian?

Untuk menjawab itu paling tidak ada dua opsi yang bisa ditempuh oleh para penguasa Muslim pengkhianat itu: aksi militer (konfrontasi langsung) dan blokade ekonomi.

Serangan Militer (Konfrontasi)

Angka-angka yang dikeluarkan di bawah ini menunjukkan bahwa tentara Muslim jika digabungkan akan mengalahkan jumlah personil angkatan bersenjata Israel dengan perbandingan 68 tentara Muslim: 1 tentara Israel. Negara-negara Muslim mengeluarkan 17 kali lebih banyak anggaran militernya dibandingkan dengan Israel. Jadi jelaslah bahwa gabungan tentara Muslim akan menjadi kekuatan militer yang dominan di wilayah itu. Bahkan dengan teknologi militer mereka yang maju, Israel tidak dapat mengatasi kekuatan militer yang begitu besarnya.

Apalagi setelah kita melihat selintas di perbatasan Israel, jelaslah bahwa sebenarnya tidak mungkin bagi Israel untuk mempertahankan dirinya sendiri dari serangan darat yang dilakukan serentak dari Mesir, Yordania dan Syria. Anda mungkin akan heran jika dikatakan negara-negara itu belum pernah terlibat perang dengan Israel sebelumnya. Tentu saja pernah, tetapi peperangan-peperangan itu sebenarnya adalah “perang yang telah dibuat skenario-nya” dengan tujuan mencari perdamaian bagi Israel.

Hal ini disebutkan oleh Muhammad Haikal dalam bukunya, The Road to Ramadan (Jalan Menuju Ramadhan). Ia mengutip ucapan salah satu jenderal Sadat, Muhammad Fawzi, yang memberikan analogi atas seorang samurai yang menggambarkan dua pedang— pedang pendek dan pedang panjang untuk suatu pertempuran. Fawzi mengatakan bahwa peperangan ini (perang 6-hari tahun 1967) adalah suatu ‘pedang pendek’, yang menunjukkan sebuah pertempuran terbatas dengan motif-motif tertentu.

Blokade Ekonomi

Daratan, laut dan udara Israel terkunci oleh negara-negara Muslim. Jadi Israel bergantung pada negara-negara Muslim untuk hidup dan akses ke dunia luar. Apa akibatnya jika terjadi blokade laut, darat dan udara atas Israel?

Sembilan puluh delapan persen ekspor dan impor Israel adalah melalui perjalanan laut (www.jewishvirtuallibrary.org). Mudah bagi Mesir, Suriah dan Turki untuk memblokade laut atas Israel hingga ke laut Mediterania. Israel mengimpor 90% minyak yang dikonsumsinya, yang mayoritas diimpor dengan tanker-tanker minyak. Blokade ini akan memiliki dampak yang besar pada pemenuhan energinya. Pelabuhan-pelabuhan minyak yang utama adalah Ashkelon dan Eilat. Saat ini pelabuhan Ashkelon menerima minyak dari tanker-tanker lewat Bosphorus, yang dikendalikan oleh Turki. Pada tahun 1989, Mesir mensuplai sekitar 45% kebutuhan minyak Israel. Meski secara bertahap telah diganti dengan minyak Rusia, suplai minyak dari Mesir masih sekitar 26-30%.

Minyak tanker yang tiba di Eilat harus melalui Teluk Aqaba yang perairannya yang dikendalikan oleh Arab Saudi dan Mesir. Ini adalah terusan sempit dan suatu blokade dapat dengan mudah dilaksanakan. Pelabuhan Eilat strategis karena akan menjadi kunci dari titik pusat distribusi untuk minyak di Asia Tengah ke pasar dunia. BP (British Petroleum) berencana untuk memompa minyak melalui ladang minyak Baku-Tbilisi-Ceyhan dan pipa gas bumi melalui Turki lewat pipa minyak Tipline Israel ke Eilat.

Semua rute itu memerlukan persetujuan dari negara-negara Muslim. Namun faktanya, Mesir menandatangani perjanjian dengan Israel pada bulan Juli 2005 untuk memasok Israel antara 1,7-3 miliar kaki kubik gas alam setiap tahun selama 15 tahun (Arabicnews.com).

Pernjanjian yang Menguntungkan Israel

Namun, alih-alih melakukan blokade, para penguasa Muslim di sekitar Timur Tengah malah melakukan berbagai perjanjian untuk mencegah blokade ini. Beberapa di antaranya adalah perjanjian Mesir-Israel:

Kapal-kapal Israel dan kargo-kargonya yang menuju atau berasal dari Israel menikmati hak lewat gratis melalui Saluran Suez dan pendekatan melalui Teluk Suez serta Laut Tengah berdasarkan Konvensi Konstantinopel tahun 1888.

Pihak-pihak yang terkait menganggap Selat Tiran dan Teluk Aqaba untuk menjadi perairan internasional ke semua bangsa secara leluasa dan memiliki kebebasan navigasi dan penerbangan yang tidak bisa dicabut.

Disepakati bahwa hubungan semacam itu akan mencakup penjualan minyak komersial oleh Mesir kepada Israel dan bahwa Israel berhak sepenuhnya untuk melakukan tawaran minyak yang berasal dari Mesir (Perjanjian Damai Israel-Mesir, 26/03/1979)

Adapun Turki menandatangani perjanjian ‘air untuk senjata’ pada bulan Januari 2004 dengan Israel. Intinya, Turki akan “mengkapalkan 50 juta meter kubik air pertahun selama 20 tahun dari sungai Manavgat di Anatolia” (Guardian UK) ke Israel dalam tanker-tanker air.

Demikian juga terdapat perjanjian mengenai barang-barang yang diperdagangkan secara lintas batas antara Israel, Mesir dan Yordania (Kesepakatan Perdagangan dan Niaga, 8/5/1980). Dampak dari perjanjian ini adalah peningkatan ekspor dari Israel ke Mesir. Yordania melaporkan, “Ekspor Israel ke Mesir dan Yordania pada Januari-Mei 2006 meningkat berkat adanya perjanjian ekspor Wilayah Industri Yang Memenuhi Syarat (Qualifying Industrial Zone-QIZ) antara Israel dan kedua negara tetangga…Ekspor ke Mesir meningkat 93% menjadi US$ 48,7 juta.”(Pport2port.com)

Padahal kalau dilakukan blokade darat, itu akan sangat mempengaruhi perdagangan, pos dan komunikasi antara Israel dan masyarakat internasional.

Ada juga Perjanjian Transportasi Udara (8/5/1980) yang menguntungkan Israel, yakni Israel boleh terbang tanpa pendaratan melewati seluruh wilayah dari pihak yang menanda tangani perjanjian. Penerbangan Internasional dari dan ke Israel memanfaatkan koridor udara lewat negara-negara Muslim. Menerapkan blokade akan memberikan dampak yang besar bagi pariwisata dan saluran-saluran komunikasi yang vital, yang diperlukan negara Israel untuk bisa beroperasi.

Seruan Palsu ‘Boikot Produk Israel’

Negara-negara Muslim mendukung seruan boikot barang-barang Israel pada tingkat individual, tetapi tidak ada yang dilakukan pada tingkat negara. Begitu hebatnya akibat boikot itu pada produk-produk Amerika oleh umat Islam di Arab Saudi sehingga pada tahun 2002 mengakibatkan menurunnya ekspor Amerika sebesar $2 miliar US. Namun, ini kecil artinya apabila kita bandingkan dengan investasi dari negara-negara Teluk di Amerika Serikat.

Dilaporkan oleh Koran Pravda, Rusia, bahwa total aset dari enam negara Teluk Persia yang dievaluasi berjumlah 1,4 triliun dolar, 75% di antaranya berada di negara-negara G8. Angka tersebut mungkin sekali dua kali lipat atau bahkan lebih jika kita masukan investasi tidak langsung dan kerjasama yang dinikmati oleh negara-negara Teluk. Adanya tuntutan perkara senilai $ 1 triliun yang dikenakan atas Saudi Arabia oleh keluarga-keluarga yang terkena serangan atas Amerika menunjukkan bahwa investasi Saudi di AS mungkin sekitar US$ 750 miliar (Agustus 2002-BBC).

Demikian pula, mereka telah menipu umat dengan mengimpor produk-produk Israel di bawah label perusahaan-perusahaan Muslim. Dilaporkan pada tahun 2002 bahwa total barang-barang dari Israel senilai US$ 150 juta diimpor ke Arab Saudi melalui 72 perusahaan di Yordania, 70 perusahaan di Siprus, 23 perusahaan di Mesir dan 11 perusahaan dari Turki (Deutsche Presse-Agentur).

Tak Mampu Menggerakkan Tentara ?

Alasan picik para penguasa Muslim (untuk tidak melawan Israel) selama ini adalah dengan mengatakan bahwa sulit menggerakkan tentara dan memblokade sebuah negara. Jika itu masalahnya, mengapa para penguasa Muslim itu berkumpul untuk membuat kekuatan dan bergabung dengan koalisi Anglo Amerika (Inggris-Amerika) untuk menjatuhkan Saddam? Sesungguhnya di mata PBB dan masyarakat internasional, invasi Saddam ke Kuwait tidak berbeda dengan invasi Israel ke Libanon.

Apakah mungkin bagi PBB untuk menjatuhkan sanksi, menerapkan zona larangan terbang dan blokade laut selama 10 tahun tanpa kerjasama dengan para penguasa Muslim? Sama seperti Israel, Irak juga dikelilingi oleh negara-negara Muslim. Para pengusa Muslim itulah yang sebenarnya menerapkan sanksi.

Yang harus kita lakukan sekarang adalah bagaimana membebaskan diri dari para penguasa pengkhianat ini. Caranya adalah dengan menegakkan kembali Khilafah di Dunia Islam. Hanya Khilafah-lah, yakni sistem pemerintahan Islam, yang dapat menyatukan tanah kaum Muslim dan menghilangkan batas-batas negara yang telah dibuat di tengah-tengah umat Islam agar mereka dalam keadaan terus-menerus lemah dan terbelakang.

Hanya Khilafahlah yang akan membentuk sebuah pemerintahan independen yang lepas dari kontrol Barat serta yang berkewajiban untuk melindungi kehidupan dan kehormatan kaum Muslim dan warga negara lainnya. [Riza Aulia disarikan dari “The Muslim Rulers’ Support of Israel”, Hizb.org.uk]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*