Parpol Islam Kian PragmatisSikap pragmatisme politik partai Islam justru merugikan bagi perjuangan umat Islam menuju kejayaan.
Gelombang sekularisasi yang dahsyat membuat partai-partai politik yang menisbatkan dirinya sebagai partai Islam seolah tak punya pilihan. Alih-alih mempertahankan identitasnya sebagai partai pengusung ideologi Islam, malah kian menjauhinya.
Sedikit demi sedikit identitas itu tergerus. Baju Islam yang dikenakan selama ini dianggap sesak. Eksklusivitas dianggap sebagai penghalang dalam pergaulan politik. Butuh baju baru yang dianggap longgar. Baju lama ditanggalkan.
Sikap partai politik Islam ini terlihat menjelang Pileg dan Pilpres pada 2009 lalu. Sinyal-sinyal ke arah itu mulai terlihat. Suara-suara dari para aktivisnya menjadi bukti. Mereka mengatakan ’Islam adalah masa lalu’ atau ’tidak sepatutnya di masa modern ini bicara syariah tapi bicara yang lebih konkret’.
Ujungnya, ketika Pilpres berlangsung, partai-partai politik Islam ini dengan rela hati berkoalisi dengan partai-partai sekular yang dulu dianggap sebagai rivalnya. Bahkan setelah calon presiden/wakil presiden terpilih, mereka menjadi pendukung dan pelindung pemerintahan. Sebagai imbalannya, partai-partai politik Islam mendapatkan kedudukan/jabatan di pemerintahan dan kompensasi lainnya. Mereka sangat menikmati kondisi ini.
Sorotan tak terhindarkan. Banyak kalangan mendorong agar partai politik Islam melepaskan diri dari ideologi yang diembannya. Toh, dalam Pemilu partai-partai Islam tak mampu menambah perolehan jumlah suaranya. Perolehannya ya segitu-gitunya saja. Nyatanya, partai-partai Islam bergandeng tangan dan bermesraan dengan partai-partai sekular. Kan sama saja?
Salah satu partai politik Islam yang memperoleh suara paling besar di antara partai politik Islam lainnya, yakni Partai Keadilan Sejahtera (PKS), rupanya memikirkan hal tersebut. Dalam Musyawarah Nasional II PKS 19-20 Juni lalu, partai yang dulunya bernama Partai Keadilan (PK) ini menyatakan dirinya sebagai partai terbuka.
Wujud keterbukaan itu ditunjukkan dalam pelaksanaan Munas itu sendiri. Acara besar itu diadakan di Hotel Ritz-Carlton, Jakarta—hotel yang dulu menjadi sasaran teroris dan identik dengan hotel asing. Pembukaannya pun dihadiri oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia Cameron Hume serta dubes negara Barat lainnya. Bahkan Cameron Hume menjadi salah satu pembicara dalam sesi seminar Munas tersebut.
Cameron memuji Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dalam hal pelayanan terhadap konstituennya. Ia mengatakan, cara yang dilakukan PKS sudah demokratis dan menunjukkan salah satu bukti komitmen Indonesia terhadap prinsip-prinsip demokrasi. Tahun 2008 Cameron pun sempat berkunjung ke markas PKS.
Ketua Dewan Syuro PKS Hilmi Aminuddin menjelaskan argumentasi di balik kebijakan baru ini. “Lewat rekonsiliasi dan koordinasi ini kami ingin menargetkan dukungan suara PKS dari ranking keempat hingga masuk ketiga besar. Entah ranking satu, dua atau tiga,” katanya dalam perbincangan di tengah acara Munas.
Inklusivitas ini, menurutnya, bukan taktis bahkan bukan pula strategis, tetapi muncul dari konsekuensi keimanan, yakni sebagai ummatan wasathan, umat moderat, umat pertengahan. “Kenapa harus terbuka, karena memang Islam agama terbuka, agama yang inklusif. PKS sebagai partai Islam harus melaksanakan rahmatan lil alamin, hasil upaya dan perjuangan kader PKS harus bisa dinikmati oleh semua golongan, Muslim dan non-Muslim,” kata Hilmi beralasan. Malah, lanjutnya, PKS sudah membuat MoU dengan partai-partai di Australia dan China.
Sekretaris Jenderal PKS Anis Matta menjelaskan, PKS sudah menyiapkan rencana strategis untuk meraih target partai tiga besar dalam Pemilu 2014. Harapannya, partai ini bisa memimpin negeri ini. Petinggi PKS yang juga Wakil Ketua DPR ini mengambil contoh kunci keberhasilan ekspansi Mongolia di bawah kepemimpinan Jengis Khan. Kuncinya, yaitu agresivitas. “Untuk maksimal kita harus agresif. Itu yang menyebabkan Jengis Khan membawa Mongol menguasai seperlima bumi,” katanya.
Sikap agresif partai yang dulunya menyatakan diri sebagai partai dakwah ini ditunjukkan dalam pemilihan kepala daerah (Pemilukada). Demi meraih kemenangan, partai ini tak melihat lagi ideologi para calon dan partai-partai pendukung calon. Di Surabaya, dalam pemilihan Walikota beberapa waktu lalu, PKS berkoalisi dengan Partai Damai Sejahtera (PDS) yang notabene adalah partai Kristen, mendukung pasangan Fandi Utomo-Julius Bustom. Malah kader PKS sendiri yang ingin maju mencalonkan diri, Yulyani, tak didukung.
Di beberapa daerah, PKS berkoalisi dengan partai-partai sekular mendukung pasangan yang mempunyai ‘kans’ menang. Ada ‘berkah’ yang ingin didapatkan dari koalisi dan dukungan tersebut.
Jauh-jauh hari PKS telah menjadikan kalangan non-Muslim sebagai anggota legislatifnya di beberapa DPRD. Menurut catatan, saat ini ada 20 anggota legislatif non-Muslim dari PKS di Papua dan Nusa Tenggara Timur. Terius Yigibalom, pengurus DPD PKS Kabupaten Lanny Jaya, Papua, menjelaskan keberhasilan partainya memperoleh suara dari non-Muslim tidak lepas dari pendekatan yang dilakukan. “Pendekatannya adalah lewat pengenalan bahwa partai ini bukan partai Islam,” kata non-Muslim ini seperti dikutip Okezone.com.
Mendulang Suara
Kalangan non-Muslim menyambut positif langkah PKS ini. Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Agama dan Kepercayaan Konferensi Waligereja Indonesia Antonius Benny Susetyo Pr menilai pernyataan PKS menjadi partai terbuka bercermin dari realitas politik Indonesia modern saat ini. “Realitas politik Indonesia memang mengharuskan partai menjadi lebih terbuka. Belajar dari sejarah, sejak Pemilu 1955 sampai sekarang, partai politik berbasis agama perolehannya paling tinggi tujuh persen, dan tidak naik-naik. Jadi wajar bila kemudian PKS (Partai Keadilan Sejahtera) lebih terbuka, “ katanya seperti dikutip Republika.
Ia menambahkan, dalam zaman yang modern keterbukaan menjadi tatakrama baru menggantikan ikatan-ikatan primordial tradisional yang cenderung tertutup. Untuk itu, partai politik yang mengusung ikatan primordial tradisional di zaman modern sulit untuk maju.
Namun, mampukah banting stir PKS ini memperoleh hasil sebagaimana diharapkan? Dalam jajak pendapat yang diselenggarakan Litbang Kompas pada 16-18 Juni 2010, dari 702 responden jajak pendapat, proporsi responden yang menyatakan bersedia menjadi anggota dengan yang tidak bersedia cukup berimbang, masing-masing 43,2 persen menyatakan bersedia, sementara 43,0 persen lainnya menolak menjadi anggota jika partai ini berubah menjadi partai terbuka. Jajak pendapat ini mengungkapkan bahwa pemilih partai-partai lain “mungkin” akan bergabung dengan PKS apabila keterbukaan jadi diterapkan. Di antara responden yang sebelumnya memilih Partai Demokrat, terdapat proporsi 43,4 persen yang menyatakan bersedia menjadi anggota PKS apabila partai ini menjadi partai terbuka. Kesediaan responden itu juga berlaku untuk konstituen dua partai besar lain, yakni Golkar (34,2 persen) dan PDI-P (42,9 persen).
Akan tetapi, perubahan itu belum tentu menguntungkan apabila dilihat dari internal basis massa tradisional PKS. Perubahan tersebut disikapi dengan penolakan sebagian dari konstituen PKS sendiri. Jajak pendapat ini mencatat bahwa di antara responden yang memilih PKS pada Pemilu 2009, terdapat 34,0 persen yang menyatakan akan hengkang dari PKS jika partai ini mengubah diri sebagai partai terbuka. Hal ini mudah dipahami, mengingat sejak awal pendiriannya, partai ini kental meniupkan ruh keislaman kepada para kader dan anggotanya.
Bahaya Pragmatisme
Yang pasti, sikap pragmatisme partai politik Islam berimbas pada memudarnya ideologi yang diembannya. Pragmatisme mengharuskan pelakunya menanggalkan identitas ideologisnya dan mau berkompromi dengan ideologi lainnya. Suara yang bertambah pun sebenarnya tidak akan banyak berpengaruh kepada umat karena sejak awal partai tersebut telah menjadi sekular.
Dalam kasus partai politik Islam, pragmatisme membuat partai politik Islam menjadi partai politik sekular. Meski pelaku individualnya adalah Muslim, tetapi perilakunya tak ubahnya seperti partai politik sekular yang lain. Niat untuk menegakkan syariah secara kaffah pun akan ditinggalkan, apalagi Negara Islam. Dalam konteks PKS, pernyataan Hilmi Aminuddin bisa disimak. Ketika wartawan mempertanyakan upaya PKS menegakkan syariah Islam, ia menjawab bahwa syariah Islam sudah ditegakkan. “Tak mungkin kita sebagai umat Islam tak menegakkan syariah Islam. Shalat harus pakai syariah, shaum, zakat, haji hingga mati pun harus pakai syariah. Kita tidak bisa menyerahkan zakat tanpa menggunakan syariah. Nikah juga harus pakai syariah, kalau nggak pakai syariah kan nggak sah nikah kita,” katanya.
Menurut dia, syariah itu dibagi dua. Bagian terbesar atau bahkan sampai 98 persen dari syariah Islam itu tidak tergantung oleh negara dan tidak membutuhkan undang-undang. “Mau shalat, haji, zakat, umrah boleh saja tanpa ada UU-nya, itu bisa kita kerjakan kapanpun dan oleh siapapun tanpa melihat ada atau tidaknya UU. Syariah seperti ini berlaku bagi individual, keluarga dan masyarakat dan tak perlu ada UU. Untuk melaksanakannya tidak perlu negara, negara mau melaksanakannya boleh-boleh saja.”
Sisanya yang dua persen disebut hudud. Menurut dia, ini harus dilaksanakan oleh negara dan butuh undang-undang. “Karena harus negara yang melaksanakan, berarti harus ada UU, karena harus ada UU, berarti harus ada kesepakatan publik. Kalau publik tidak sepakat ya sudah, kita tidak boleh melaksanakan, gugur kewajiban kita melaksanakannya,” katanya.
Dalam hal Palestina, pandangan PKS pun mulai berubah. Palestina tak lagi dipandang sebagai masalah ideologi, tapi digeser ke arah permasalahan kemanusiaan. “PKS memandang persoalan Palestina adalah persoalan umat manusia, masalah HAM,” jelas Hilmi. Menurut dia, Indonesia perlu urun rembug di dalamnya, selain sebagai rasa keprihatinan sesama manusia juga sesama umat Islam.
Menyangkut Amerika Serikat, kata Hilmi, PKS melihatnya sebagai sebuah bangsa, bukan sebuah rezim. Maksudnya, AS adalah kumpulan manusia yang harus dihormati. Kalau rezimnya tidak baik, tidak boleh bersahabat. “Tapi bukan berarti tidak ada interaksi, dengan berinteraksi kita bisa mengkritik, mengevaluasi dan memberi saran dan masukan. Ini adalah bagian dari sikap inklusivitas PKS,” kata Hilmi.
Pandangan dan sikap tersebut sama dengan model Islam yang dibangun oleh Amerika, yakni Islam moderat; Islam yang lebih toleran dengan Barat dan Islam yang bisa menerima budaya dan pandangan Barat.
Bila demikian adanya, partai politik Islam akan kehilangan ruh perjuangannya. Kacamata pandang dalam melihat berbagai persoalan masyarakat akan didasarkan pada faktor nafsu belaka, baik itu nafsu kekuasaan atau kekayaan. Dampak paradigma berpikir seperti ini akan menjadikan partai politik Islam gampang dibeli dengan uang dan kekuasaan. Toh, partai sendiri butuh uang untuk menjalankan mesin partainya. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa kekuasaan adalah ladang mengeruk keuntungan.
Dalam kondisi seperti ini partai politik akan sangat mudah dikooptasi dan dikendalikan oleh para pemilik modal. Partai politik menjadi alat legitimasi kepentingan pemilik modal di pemerintahan. Aspirasi masyarakat yang dikumpulkan dalam pemilihan umum akan gampang ditukar dan dikalahkan oleh para pemodal.
Bila itu terjadi, partai politik tidak lagi berfungsi sebagai jembatan aspirasi rakyat ke pemerintah. Partai politik menjadi tangan-tangan kepentingan segelintir orang. Sikap kritis yang seharusnya ditunjukkan oleh partai politik pelan-pelan luntur sebab semua sudah dikompromikan. Rakyat akan makin tidak percaya. Bila mau mendukung partai politik Islam, nyatanya platform-nya sama saja dengan partai sekular. Tidak ada bedanya. Pilihannya: mana yang dianggap memberikan manfaat bagi mereka; bukan mana yang harus didukung karena panggilan akidah/ideologi.
Kini fakta tersebut terjadi di depan mata. Ketika partai-partai telah menjadi partai pendukung pemerintah semua, tak ada yang mengkritisi kebijakan penguasa. Kalaupun ada terkesan setengah hati dan hanya basa-basi politik. Kebijakan penguasa dianggap sudah tepat. Teriakan rakyat sampai tenggorokannya kering tak digubrisnya. Mereka takut dikatakan mencederai koalisi dan kehilangan kursi.
Dampak lebih jauh dari kondisi seperti ini, kepentingan umat Islam akan kian jauh dari harapan. Bagaimana tidak jauh, jika semua partai politik Islam sudah tak menganggap lagi Islam sebagai sebuah ideologi dan wajib diterapkan.
Perjuangan umat Islam membentuk masyarakat terbaik (khairu ummah) menjadi berat. Masyarakat yang baik membutuhkan aturan yang baik. Aturan yang baik hanya datang dari Zat Yang Mahabaik. Aturan ini mencakup seluruh aspek kehidupan, bukan masalah individu semata. Kebenarannya bersifat mutlak dan tidak bergantung pada persetujuan mayoritas terlebih dalu dalam melaksanakannya.
Yang berbahaya, keberadaan partai politik Islam tetapi sekular akan mengokohkan sistem sekular yang ada. Barat pasti gembira dengan kondisi tersebut. Mereka bisa leluasa menancapkan kuku-kukunya di Indonesia tanpa ada lagi penghalang. Soalnya, partai-partai yang ada telah memiliki cara pandang yang sama dan sebangun dengan mereka.
Padahal justru sistem sekular inilah yang harus diubah oleh umat Islam, termasuk oleh partai politik Islam. Sebab, sistem sekular telah terbukti secara nyata tidak membawa keberkahan bagi umat Islam dan juga non-Muslim. Keterpurukan dan kehinaan malah muncul. Siapa yang merasakan kebijakan yang tak memihak rakyat? Semuanya.
Secara lebih luas, sulit bagi negeri ini untuk bangkit dan memberikan kerahmatan bagi seluruh alam jika paradigma yang dipakainya adalah paradigma Barat yang cacat. Masih kurangkah bukti bahwa paradigma Barat telah menjerumuskan manusia seluruh dunia, khususnya umat Islam?
Khatimah
Rahmatan lil ‘alamin akan muncul bila umat Islam mau menerapkan Islam secara kaffah. Islam kaffah adalah Islam yang dilaksanakan dalam seluruh aspek kehidupan baik individu, masyarakat, maupun negara. Itulah Islam yang dibawa dan ditegakkan oleh Rasulullah saw. di Madinah. Tidak ada sejarah yang menuliskan itu semua terjadi karena Rasulullah dan para khalifah justru meninggalkan Islam.
Dalam posisi inilah seharusnya partai politik Islam menetapkan manhaj-nya. Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam bukunya At-Takattul al-Hizbi menulis, partai politik Islam akan sukses bila memenuhi empat syarat. Pertama, memiliki fikrah yang jelas. Kedua, memiliki thariqah perjuangan yang jelas. Ketiga, nyambung antara fikrah dan thariqah. Keempat, diemban oleh orang-orang yang benar.
Tentu, masih ada kesempatan bagi partai politik Islam untuk memutar haluan menuju jalan keridhaan Allah. [Mujiyanto]