Sehebat dan seaktif apapun seseorang, keluarga adalah tempat kembalinya. Idealnya, anggota keluarga satu sama lain saling menopang, mendukung dan memberikan pertolongan sehingga tercipta apa yang disebut kehidupan harmonis.
Bagi seorang Muslim, keluarga juga merupakan tempat pertama untuk menjalankan ketaatan. Salah satunya yaitu kewajiban beramar makruf nahi mungkar atau kewajiban berdakwah. Rasulullah saw., teladan seluruh manusia hingga akhir zaman, patutlah menjadi contoh. Bagaimana beliau dengan manisnya, menyampaikan indahnya Islam pertama kali di rumahnya sendiri. Tercatatlah dalam sejarah, istrinya, wanita mulia, Siti Khadijah, seketika beriman ketika disampaikan wahyu. Begitu pula keponakan sekaligus “anak angkat” beliau, Ali bin Abi Thalib, segera menyatakan keislamannya setelah cahaya Islam merasuk dalam dadanya kendatipun usianya masih terbilang sangat muda ketika itu. Alangkah indahnya jika kita bisa mengajak keluarga kita taat kepada Allah SWT seperti Rasulullah saw.
Namun, tidak bisa dipungkiri, ada sebagian keluarga dari pengemban dakwah yang justru menjadi penghambat dalam aktivitas dakwah. Penulis sudah sering mendengar ada seorang anak yang dilarang “ngaji” (belajar ilmu Islam yang kaffah) dengan alasan takut kena aliran sesat oleh orangtuanya, kasus lain ada anak yang dilarang menutup aurat dengan sempurna (memakai khimar dan jilbab) dengan alasan takut tidak ketemu jodoh dan takut tidak mendapat pekerjaan setelah lulus kuliah/sekolah, ada lagi seorang suami yang melarang istrinya untuk mengisi pengajian dengan alasan takut anak-anak mereka tidak terurus, dll. Bahkan parahnya ada seseorang yang dipaksa oleh keluarganya untuk melakukan kemaksiatan semisal pacaran, melepas jilbab dan meninggalkan dakwah.
Pengemban dakwah tidak bisa mengatakan hal tersebut semata-mata salah keluarga. Bahkan Rasulullah saw. pernah menolak permintaan Malaikat Jibril yang akan membalikkan kota Thaif, ketika penduduk Thaif tidak menerima seruan Rasul, malah mereka mengusir dan melempari beliau dengan batu. Beliau berkata, “Biarkan saja mereka, sesungguhnya mereka melakukan itu karena belum tahu.” Jadi, justru yang patut dipertanyakan adalah, “Sudahkah kita melakukan upaya penyadaran terhadap keluarga kita secara optimum?” Jika belum, di situlah letak kesalahannya. Jika memang sudah, harus dipertanyakan kembali, “Sudah cantikkah cara (uslub) yang kita gunakan dalam menyampaikannya?”
Ketepatan cara (uslub) menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan dakwah. Setiap pelanggaran terhadap hukum syariah memang harus diluruskan tanpa basa-basi dan toleransi. Bahkan Rasulullah saw. mengajari kita untuk senantiasa bersikap terus terang, menantang, berani dan tidak mempedulikan adat istiadat atau opini umum yang berkembang, selama itu bertentangan dengan hukum syariah. Ketegasan dalam dakwah bukan berarti kita menyampaikan Islam dengan perkataan keras, apalagi kepada keluarga (karena biasanya mereka lebih sensitif). Kita harus bisa menempatkan pada saat kapan kita perlu berkata lembut dan pada saat mana kita harus berkata tegas. Bahkan Allah SWT telah mengajarkan dalam firman-Nya (yang artinya): Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk (TQS an-Nahl [16]: 125).
Wallâhu a’lam bi ash-shawâb. [Ria Milarasari; Pusat Pengembangan Akuntansi FEUI-Depok]