Bulan Ramadhan tengah kita jalani. Salah satu fungsi penting bulan Ramadhan adalah tazkiyah an-nafs (mensucikan jiwa). Kesucian diri (tazkiyah an-nafs) hanya akan terbentuk kalau kita secara total terikat pada seluruh aturan Allah SWT. Rasulullah saw. sendiri mengingatkan agar kita tidak sekadar menahan diri dari lapar dan haus. Puasa adalah juga menahan diri dari perbuatan/perkataan sia-sia (al-laghw) dan perbuatan keji (ar-rafats).
Dalam konteks dakwah, upaya terus-menerus melakukan koreksi/evaluasi terhadap hakikat kebenaran tsaqafah gerakan dakwah adalah penting; termasuk fikrah (pemikiran) dan thariqah (metode) dakwahnya, apakah tetap pada rel yang benar. Harus dievaluasi dan diseleksi: apakah terdapat perkara-perkara di luar Islam yang masuk; apakah dakwah kita telah terhindar dari Ide-ide liberal seperti demokrasi, HAM, pluralisme, dll yang merupakan pemikiran kufur yang bertentangan dengan Islam. Menjadikan kemaslahatan sebagai parameter gerakan juga termasuk virus yang sangat berbahaya karena akan menjerumuskan gerakan dakwah/partai Islam ke dalam sikap pragmatisme, yang telah membuat jauh dari syariah Islam yang seharusnya menjadi panutan.
Karena itu, dalam dakwah, prinsip al-ghayah la tubarriru washilah (tujuan tidak menghalalkan segala cara) sangatlah penting. Tujuan yang baik hanya bisa dicapai dengan cara yang baik juga, yakni yang sesuai dengan syariah Islam. Sikap pragmatisme yang menjadi panglima politik Kapitalisme akan mereduksi ideologi (mabda’) Islam. Padahal terikat pada mabda’ (ideologi) Islam adalah sangat penting. Mabda’ (ideologi) adalah dasar (fondasi) yang menentukan kuat-tidaknya bangunan gerakan Islam. Mabda’ juga menjadi dasar yang menentukan jenis dan bentuk pemikiran cabang apa yang dibangun di atasnya, termasuk mengarahkan kemana gerakan Islam bergerak.
Komitmen terhadap ideologi (iltizam bi al-mabda’) menjadi sangat penting. Keimanan kita menuntut agar kita menjadikan kedaulatan hanya pada mabda’ Islam saja, tidak pada yang lain. Sebab, mabda’ selain Islam adalah kufr apapun bentuknya (Lihat: QS Ali Imran [3]: 19).
Karena itu, tidak boleh pengemban dakwah mengadopsi mabda’ lain selain Islam. Misalnya, dengan alasan pluralisme ia mengatakan, “Silakan kalian berpegang teguh pada mabda’ (ideologi) dan agama kalian.” Yang harus dilakukan justru adalah menyeru mereka masuk Islam dan terikat pada mabda’ (ideologi) Islam. Karena itu, harus ada penjelasan secara terbuka tentang kekufuran mabda’ (ideologi) selain Islam, kepalsuan dan pertentangannya dengan Islam. Lalu harus dijelaskan bagaimana mabda’ Islam itu dengan gambalang. Dengan cara itulah masyarakat akan meninggalkan mabda’ kufur dan memegang teguh mabda’ Islam.
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitabnya Mafahim Hizb at-Tahrir menegaskan, upaya pensucian dan pemurnian tsaqafah yang diadopsi dalam dakwah Islam sangat penting. Tujuannya agar pemahaman para pengemban dakwah tetap dalam kebenaran, fikrah-nya tetap mendalam, jernih dan bersih. Kejernihan fikrah (shafa al-fikrah) dan jelasnya thariqah dakwah (wudhuh ath-thariqah) ini adalah kunci satu-satunya yang menjamin upaya meraih keberhasilan (an-najah) dan menjaga kesinambungan keberhasilan (istimrar an-najah).
Karena itu, jangan berharap, walaupun sedikit saja, bahwa kemenangan akan kita raih kalau bukan didasarkan pada syariah Islam. Apalagi dengan cara-cara yang diharamkan oleh Islam. Perjuangan yang dilandaskan pada ide kufur seperti demokrasi, HAM dan pluralisme tidak akan pernah menghantarkan pada keberhasilan. Demikian juga langkah-langkah pragmatis yang mereduksi mabda’ (ideologi Islam) dengan cara yang bertentangan dengan syariah Islam tidak akan pernah menghantarkan pada pertolongan Allah SWT. Sekali lagi, keberhasilan dan kemenangan akan diberikan Allah SWT kalau kita melandaskan perjuangan kita pada akidah Islam dan senantiasa terikat dengan syariah Islam.
Pengemban dakwah harus hati-hati terhadap upaya yang berusaha melencengkan gerakan atau partai dari Islam. Upaya penyimpangan pemahaman dakwah yang sahih ini sangat berbahaya dan bahayanya bersifat laten. Musuh-musuh Islam tahu persis pentingnya penyimpangan ini. Sebab, inilah cara agar umat Islam bisa dikalahkan dan kemenangan umat Islam tidak terwujud. Tidak mengherankan dalam berbagai rekomendasi yang dikeluarkan lembaga-lembaga pemikiran dan penelitian Barat seperti Rand Corporation, Nixon Center, Heritage Foundation, dll secara konsisten merekomendasikan agar gerakan atau partai Islam lebih terbuka, didorong untuk berpartisipasi dalam demokrasi dan bersikap inklusif dengan mengadopsi ide-ide liberal seperti HAM dan pluralisme.
Allah SWT telah memperingatkan bahaya laten ini:
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُصِيبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ
Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang telah Allah turunkan dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka. Berhati-hatilah kamu terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah Allah turunkan kepadamu (QS al-Maidah [5]: 49).
Maknanya: memalingkan kamu dari sebagian al-Quran, meski amat sepele, dengan menggambarkan kebatilan sebagai kebenaran (Tafsir Abu Syu’ud, II/251).
Dalam Tafsir al-Jalalayn disebutkan, ayyaftinûka, yaitu yudhillûka (menyesatkan kamu [Muhammad saw.]).
Bahaya penyimpangan ini bisa muncul dari siapa saja; bisa dari para ‘ulama’ yang menjual diri untuk kepentingan penjajah asing; bisa juga dari orang-orang yang mukhlis atau mereka yang concern terhadap dakwah. Mereka mengusulkan pandangan-pandangan yang didasarkan pada kemaslahatan atau didorong kekhawatiran terhadap bahaya yang menimpa pengemban dakwah. Namun sayang, pendapat mereka bertentangan dengan Islam. Sikap kita harus jelas, pandangan apapun yang berasal dari manapun—kalau bertentangan dengan akidah dan syariah Islam—wajib ditolak! [Farid Wadjdi]