HTI

Analisis (Al Waie)

Umat Butuh Parpol Islam Ideologis

Pragmatisme Parpol Islam

Penjajahan dan dominasi Barat atas Dunia Islam tidak hanya mengubah struktur politik dan sosio-kultural kaum Muslim, namun juga melahirkan apa yang disebut dengan pragmatisme. Pragmatisme ditunjukkan oleh adanya pergeseran ideologi, orientasi dan perkara-perkara prinsipil akibat ketidakmampuan merespon dominasi dan dinamika eksternal. Gejala ini mudah menjangkiti orang-orang kalah yang bermental inlander dan ndeso (al-maghlub).

Berkaitan dengan pragmatisme tersebut, Ibnu Khaldun di dalam Kitab Muqaddimah menyatakan bahwa orang-orang yang kalah (al-maghlub) cenderung minder dan kagum terhadap al-ghalib (pihak pemenang) serta berusaha meniru dan mengikuti pandangan dan perilaku al-ghalib.

Di antara indikasi yang menunjukkan adanya pragmatisme pada organisasi dan parpol Islam adalah adanya pergeseran orientasi, manhaj, dan taktik islami parpol tersebut menuju orientasi, manhaj, dan taktik ala kaum sekular-demokrat. Ironisnya lagi, keharusan mengubah orientasi, manhaj dan taktik perjuangan islami dianggap sebagai fenomena umum yang lumrah serta keniscayaan agar partai Islam bisa eksis dan berkiprah lebih luas dalam sistem demokrasi-sekular. Tidak jarang Partai Islam berusaha mencitrakan dirinya sebagai partai inklusif dan demokratis dengan cara menjauhi simbol-simbol Islam dan hal-hal yang berbau sektarian”. Misal, mereka tidak lagi mengusung syariah Islam dalam propaganda dan program aksi mereka. Alasannya, propaganda syariah Islam adalah propaganda sektarian dan tidak laku dijual. Mereka memilih untuk mengangkat tema-tema kemiskinan, pemberantasan korupsi, birokrasi bersih dan tema-tema pragmatis lainnya. Dalam konteks kepartaian, mereka juga berusaha mencitrakan dirinya sebagai partai inklusif dengan cara memproklamirkan diri sebagai partai terbuka. Mereka juga tidak malu-malu bekerjasama (musyarakah) dengan partai maupun pemerintah sekular untuk memperkuat kesan sebagai partai inklusif.

Lantas apa yang hendak diperjuangkan oleh “partai-partai Islam” yang sudah mengubah “hati dan penampilannya” ini? Benarkah dengan cara-cara seperti itu, mereka bisa memenangkan Islam dan kaum Muslim?

Sebab-sebab Pragmatisme Parpol Islam

Setidaknya ada dua faktor penyebab lahirnya pragmatisme pada organisasi dan partai Islam. Pertama: terjebak dalam logika berpikir demokrasi, yakni meraup suara sebanyak-banyaknya agar mampu meraih tampuk kekuasaan. Keterjebakan ini telah mendorong organisasi dan partai Islam mentransformasikan dirinya menjadi partai terbuka (partai sekular) agar bisa menarik konstituen sebanyak-banyaknya. Tidak hanya itu, logika berpikir demokrasi juga mendorong mereka untuk melakukan tindakan-tindakan politik yang dianggap mampu menarik simpati rakyat, walaupun tindakan-tindakan politik itu bertentangan dengan akidah dan syariah Islam; semisal meninggalkan seruan menegakkan syariah dan Khilafah, menerima prinsip-prinsip demokrasi, musyarakah dengan pemerintah kufur, dan lain-lain sebagainya.

Kedua: termakan oleh isu “syariah tidak laku”. Isu “syariah tidak laku dijual” yang dihembuskan musuh-musuh Islam ternyata cukup efektif untuk mengubah orientasi dan taktik perjuangan partai-partai Islam. Akibatnya, tidak ada satu pun organisasi dan partai Islam yang menyerukan seruan agung dan mulia ini.Bahkan lambat laun seruan dan perilaku politik mereka tak ubahnya dengan seruan dan perilaku partai sekular. Akhirnya, tidak bisa dibedakan lagi mana partai Islam dan mana partai non-Islam, kecuali sekadar label belaka. Lalu apa gunanya mereka mendirikan organisasi dan partai Islam, jika tidak lagi mengusung agenda syariah dan Khilafah?

Menepis Argumentasi Kaum Pragmatis

Untuk melegitimasi perilaku pragmatisme yang telah menyimpang jauh dari ajaran Islam itu, partai-partai “al-maghlub” ini mengetengahkan sejumlah dalih, di antaranya adalah sebagai berikut:

Pertama, Islam adalah rahmat bagi seluruh alam. Atas dasar itu, Islam—termasuk partai Islam—harus terbuka dan mau menerima ide-ide dari luar Islam, agar kerahmatan Islam bisa dirasakan dan diwujudkan secara nyata di tengah-tengah masyarakat dan negara. Alasan seperti ini jelas-jelas keliru dan menyesatkan. Sebab, Islam adalah agama sekaligus ideologi yang memuat seperangkat keyakinan dan aturan khas yang bertolak belakang dengan sekularisme dan demokrasi. Dengan demikian, Islam sekali-kali tidak akan pernah bisa disandingkan dengan paham demokrasi-sekular. Dalil-dalil qath’i telah menetapkan bahwa agama dan paham selain Islam adalah kufur:

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإسْلامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, sekali-kali tidaklah akan diterima, dan Dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi (QS Ali Imran [3]: 85).

Dalil qath’i juga telah menggariskan bahwa Islam adalah agama sempurna yang tidak membutuhkan agama dan paham lain:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, telah Kucukupkan nikmat-Ku kepada kalian dan telah Kuridhai Islam menjadi agama kalian (QS al-Maidah [5]: 3).

Lalu bagaimana bisa dinyatakan bahwa Islam harus membuka dirinya terhadap paham demokrasi sekular, sedangkan agama Islam telah sempurna, dan ada pertentangan antara Islam dan paham demokrasi sekular?

Kedua, pembenaran terhadap perilaku politik pragmatis juga berlindung di balik alasan perubahan taktik dan strategi. Dengan dalih perubahan taktik dan strategi, partai Islam seolah-olah dibenarkan melakukan sejumlah tindakan pragmatis yang menyimpang dari akidah dan syariah Islam. Padahal perumusan strategi dan taktik perjuangan partai harus selalu mengacu pada akidah dan syariah Islam, bukan pada logika berpikir demokrasi. Sebab, seorang Muslim harus berbuat berdasarkan akidah dan syariah Islam, bukan berdasarkan demokrasi.

Ketiga, alasan lain untuk membenarkan perilaku pragmatis adalah kebutuhan akan hubungan yang luas dengan semua bangsa. Hubungan luas dengan semua bangsa sangatlah dibutuhkan untuk merespon relasi dengan negara-negara besar, terutama Amerika Serikat. Relasi itu tidak mungkin tercipta jika partai-partai Islam tidak membuka diri dan mau menjalin hubungan dengan Amerika Serikat. Alasan seperti ini jelas keliru dan mengada-ada. Pasalnya, Islam melarang kaum Muslim menjalin hubungan dan bekerjasama dengan negara-negara kafir harbi fi’lan. Hubungan seorang Muslim dengan negara kafir harbi fi’lan adalah hubungan perang (‘alaqat harbiyyah), bukan hubungan damai. Negara Amerika Serikat termasuk negara kafir harbi fi’lan–sama dengan negara Israel—karena kejahatannya yang sangat bengis terhadap Dunia Islam. Atas dasar itu, seorang Muslim, apalagi partai dan organisasi Islam dilarang menjalin hubungan dengan negara-negara tersebut. Lantas bagaimana bisa dinyatakan, partai Islam harus mentranformasikan dirinya menjadi partai terbuka untuk merespon hubungan dengan Amerika Serikat, sedangkan syariah Islam melarang kaum Muslim menjalin hubungan dengan negara-negara kafir harbi fi’lan, semacam Amerika Serikat dan Israel?

Keempat, konsekuensi logis dari demokrasi. Memang benar, realitas perpolitikan di negeri Islam saat ini tengah didominasi oleh sistem demokrasi-sekular. Organisasi dan partai politik, termasuk di dalamnya organisasi dan partai Islam, harus mengikuti logika berpikir dan aturan perpolitikan demokrasi-sekular. Jika partai ingin meraih tampuk kekuasaan maka ia harus masuk ke dalam parlemen, mengikuti pemilu dan mengumpulkan suara rakyat sebanyak-banyaknya. Akibatnya, concern utama sebuah partai politik adalah meraih suara rakyat sebanyak-banyaknya. Pasalnya, tanpa suara mayoritas, sebuah partai politik mustahil mampu meraih tampuk kekuasaan strategis. Keadaan inilah yang sering dijadikan dalih untuk membenarkan tindakan-tindakan pragmatis partai politik Islam. Mereka beralasan bahwa tindakan-tindakan pragmatis tersebut merupakan akibat logis dari jalan demokrasi yang mereka pilih.

Alasan seperti ini tidak hanya keliru, tetapi juga menyesatkan. Pasalnya:

1. Realitas buruk bukanlah dalil syariah dan sama sekali tidak boleh dijadikan dalil untuk menentukan halal dan haramnya sebuah tindakan politik. Realitas adalah manath al-hukmi (obyek hukum) yang harus diubah agar sesuai dengan syariah Islam, bukan malah sebaliknya. Dalil syariah adalah al-Quran, as-Sunnah, Ijmak Shahabat, dan Qiyas Syar’iyyah; bukan realitas.

2. Dalam pandangan akidah Islam, kemenangan dakwah ditentukan oleh pertolongan Allah (nashrullah), bukan oleh banyak-sedikitnya pendukung partai tersebut. Nashrullah hanya akan diturunkan tatkala kelompok Islam selalu konsisten di atas Islam, bersabar dalam menempuh manhaj dakwah Nabi saw. dan melakukan i’dad syar’i (persiapan-persiapan syar’i) secara maksimal untuk merealisasikan nashrullah tersebut.

3. Nabi saw. telah menggariskan manhaj perubahan yang harus diikuti oleh kaum Muslim hingga akhir masa. Kaum Muslim wajib mengikuti manhaj perubahan tersebut dan dilarang mengikuti manhaj perubahan ala kaum sekular-demokrat. Bukankah jalan yang ditetapkan Nabi saw. adalah sebaik-baik jalan, sedangkan jalan yang lain adalah kesesatan?

Butuh Parpol Islam Ideologis

Di dalam Tafsir Ath-Thabari, saat menafsirkan QS Ali Imran ayat 103, Imam ath-Thabari menyatakan, “Hendaknya ada jamaaah (kelompok) yang menyeru manusia menuju kebaikan, yakni Islam dan syariah Islam yang telah disyariatkan Allah atas hamba-Nya; juga melakukan amar makruf nahi mungkar, yakni memerintahkan manusia untuk mengikuti Nabi Muhammad saw., dan agamanya yang berasal dari sisi Allah SWT; mencegah kemungkaran, yakni mereka mencegah dari ingkar kepada Allah serta dari mendustakan Nabi Muhammad saw. dan ajaran yang dibawanya dari sisi Allah.” (Ath-Thabari, Tafsir ath-Thabari, QS Ali Imran [3]: 104).

Atas dasar itu, asas, tujuan, metode dan strategi perjuangan partai harus ditegakkan di atas akidah Islam. Akidah Islam adalah dasar, penuntun dan identitas partai Islam. Partai tidak boleh didirikan di atas akidah demokrasi-sekularisme, sosialisme, atau paham-paham lain selain Islam. Syariah Islam adalah satu-satunya tolok ukur bagi aktivis partai Islam, bukan kemashlahatan maupun tendensi-tendensi politik sesaat. Seluruh anggota harus mengikatkan diri dengan syariah Islam dan tidak boleh menyelisihinya walaupun hanya seujung rambut.

Partai Islam harus melaksanakan fungsi-fungsi penting berikut ini:

1. Mengubah masyarakat tidak islami menuju masyarakat islami dengan cara menegakkan kembali Khilafah Islamiyah. Partai Islam tidak didirikan untuk memperjuangkan demokrasi, sekularisme maupun paham-paham lain yang bertentangan dengan akidah dan syariah Islam. Partai Islam juga tidak difungsikan untuk menegakkan sistem pemerintahan kufur semacam kerajaan, demokrasi, kekaisaran dan lain sebagainya. Adapun untuk mewujudkan tujuannya maka partai Islam harus mencontoh metode perjuangan Nabi Muhammad saw. Partai Islam dilarang menggunakan metode perjuangan kaum demokrat, sosialis dan metode-metode perjuangan lain yang bertentangan dengan manhaj dakwah Nabi saw, semacam people power, musyarakah (bersekutu) dengan pemerintah kufur, chaos, dan lain sebagainya.

2. Mendidik umat dan menjaga pemikiran mereka dengan akidah dan syariah Islam semata. Untuk itu, partai Islam harus menyerukan dan mempropagandakan akidah dan syariah Islam di tengah-tengah masyarakat agar umat memahami kewajibannya untuk terikat dengan Islam, mendakwahkan Islam ke seluruh penjuru dunia dan turut berjuang untuk mengubah darul kufur menjadi Darul Islam.

3. Melakukan muhasabah lil hukkam (mengoreksi penguasa), mengungkap makar negara-negara kafir imperialis terhadap Dunia Islam serta membongkar persekongkolan para penguasa dengan negara kafir imperialis dalam memerangi Islam dan kaum Muslim, dan lain sebagainya. Partai politik Islam didirikan tidak untuk mendukung dan bekerjasama dengan pemerintahan demokrasi-sekular, tetapi justru didirikan untuk melenyapkan pemerintahan demokrasi-sekular dan menggantinya dengan Daulah Khilafah Islamiyah.

Wallahu al-Musta’an wa Huwa Waliy at-Tawfiq. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*