أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ فَقَالَ ( يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا …) وَقَالَ (يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ). ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِىَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ
Hai manusia, sesungguhnya Allah itu baik, tidak menerima sesuatu kecuali yang baik. Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada kaum Mukmin apa yang telah diperintahkan kepada para Rasul. Allah berfirman (artinya), “Hai para Rasul, makanlah dari sesuatu yang baik dan berbuat salehlah…” Dia juga berfirman (artinya), “Hai orang-orang beriman, makanlah dari apa-apa yang baik yang telah kami karuniakan kepada kalian.” Lalu Rasul saw. menyebutkan seorang laki-laki yang telah melakukan perjalanan jauh dalam rangka ketaatan dan ibadah rambutnya kusut dan tubuhnya berdebu, ia menengadahkan kedua tangannya ke langit seraya berseru. “Ya Rabb, ya Rabb,” sedangkan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan dikenyangkan dengan yang haram. Bagaimana bisa permintaanya akan dikabulkan?” (HR Muslim, al-Bukhari, at-Tirmidzi, Ahmad, ad-Darimi dan Abd ar-Razaq)
Hadis ini dikeluarkan oleh Abd ar-Razaq dari ats-Tsauri; Imam Ahmad dari Abu an-Nadhr; Imam Al-Bukhari di dalam “Raf’u al-Yadayn” dan ad-Darimi dari Abu Nu’aim; Imam Muslim dari Abu Kuraib Muhammad ibn al-‘Ala`, dari Abu Usamah; dan at-Tirmidzi dari Abd ibn Humaid dari Abu Nu’aim. Keempatnya (Sufyan ats-Tsawri, Abu an-Nadhr Hasyim ibn al-Qasim, Abu Nu’aim al-Fadhl ibn Dukain dan Abu Usamah Hamad ibn Usamah) dari Fudhail ibn Marzuq dari ‘Adi ibn Tsabit dari Abu Hazim dari Abu Hurairah ra.
Hadis ini menjelaskan empat poin. Pertama: bahwa Allah SWT adalah thayyib, yaitu suci dari segala kekurangan dan aib. Allah SWT hanya akan menerima yang baik-baik saja, apakah itu perbuatan, perkataan, keyakinan maupun harta. Perbuatan yang baik adalah perbuatan yang dilakukan ikhlas semata untuk Allah SWT, dilakukan sesuai tuntunan syariah, dan bebas dari hal-hal yang merusaknya seperti riya dan ujub. Harta yang baik (mâl thayyib) adalah harta yang halal lagi baik. Allah SWT tidak menerima sedekah, infak, penunaian kewajiban seperti nafkah, zakat dsb, dari harta yang haram. Rasul pernah bersabda:
لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةً بِغَيْرِ طُهُوْرٍ ، وَلاَ صَدَقَةً مِنْ غُلُوْلٍ
Allah tidak akan menerima shalat tanpa kesucian (dari hadats dan najis) dan juga tidak menerima sedekah dari harta haram (HR Muslim, Ibn Majah, at-Tirmidzi dan Ahmad).
Kedua: Allah SWT memerintahkan kaum Mukmin seperti yang diperintahkan kepada para rasul, yaitu untuk makan dari harta yang thayyib dan beramal salih. Yang diperintahkan adalah makan dari rezeki yang thayyib. Artinya, kehalalan itu harus diperhatikan bukan hanya pada makanannya saja, tetapi juga pada harta yang digunakan untuk membeli atau mendapatkan makanan itu. Makanan yang thayyib itu adalah makanan yang halal dan tidak membahayakan.
Makan dari rezeki yang thayyib dan beramal salih dikaitkan dengan huruf wawu ‘athaf mengisyaratkan adanya hubungan antara kehalalan makanan dengan amal salih. Dalam hal ini para ulama mengatakan bahwa makanan haram akan menghalangi atau setidaknya mengurangi diterimanya amal salih. Karena itu, para ulama salaf sangat memperhatikan kehalalan makanan, minuman dan pakaian mereka karena khawatir amal mereka tidak diterima oleh Allah SWT.
Ketiga: hadis ini menjelaskan sebagian adab berdoa dan kunci dikabulnya doa, yaitu ada empat:
1. Ithâlah as-safar. Safar dalam rangka ketaatan dan ibadah. Ini bisa juga dimaknai, memperbanyak ibadah, ketaatan dan amal salih, lalu bertawasul dengan ibadah, ketaatan dan amal salih itu untuk memohon kepada Allah SWT.
2. Asy’atsa aghbara (berambut kusut dan tubuh berdebu). Bisa dimaknai menampakkan ketundukan, kelemahan, kerendahan keringkihan dan kefakiran di hadapan Allah SWT. Para ulama salaf jika hendak berdoa sengaja menjauhi pakaian indah, ada hiasannya, mahal dan bergengsi. Mereka sengaja memakai pakaian sederhana tanpa hiasan. Kemudian berdoa seraya menampakkan ketundukan, kelemahan, kerendahan, keringkihan dan kefakiran dalam sikap, suara dan ucapan.
3. Mengangkat tangan dengan tatacara sesuai kondisinya seperti yang dijelaskan dalam banyak hadis. Mengangkat tangan ketika berdoa adalah sunnah.
4. Mengawali dan mengulang-ulang sebutan rububiyah Allah SWT (Ya Rabb, ya Rabbi, Rabbiy, Rabbanâ), asmaul husna atau bacaan Allâhumâ (ya Allah).
Keempat: Sebagian penghalang doa. Meski keempat adab dan kunci di atas terpenuhi, doa akan terhalang jika orang yang berdoa itu, makanan, minuman dan pakaiannya haram dan dia dikenyangkan dengan sesuatu yang haram. Harta itu mayoritasnya diperoleh dari muamalah. Sayangnya, banyak dari kaum Muslim yang tidak peduli akan kehalalan dan ke-syar’i-an muamalah mereka. Mungkin karena itulah doa kaum Muslim tidak segera dikabulkan oleh Allah SWT; atau jangan-jangan kita termasuk di antaranya?
Maka dari itu, siapa saja yang ingin mustajab doanya, ia harus memastikan makanan, minuman dan pakaiannya adalah halal baik dari sisi zat maupun dari tatacara perolehannya. Dia pun harus memastikan bahwa dia hanya dikenyangkan dengan sesuatu yang halal zat dan tatacara perolehannya. Itulah pesan Rasul saw., kunci diijabahnya doa, yang dipegang teguh oleh Saad bin Abi Waqash ra. yang menjadikannya salah seorang di antara sahabat yang mustajab doanya. Satu karamah beliau, setelah berdoa maka beliau dan seluruh pasukannya beserta kuda-kuda dan perlengkapan mereka—kecuali dua orang- ketika futuhat Persia—bisa menyeberangi sungai Tigris layaknya berjalan di atas air.
WalLâh a’lam. [Yahya Abdurrahman]