HTI

Dari Redaksi (Al Waie)

Bahaya Pluralisme

Dalam pidato penting di depan DPR pada malam menjelang Peringatan HUT Kemerdekaan RI, Presiden SBY menyerukan kepada rakyat Indonesia agar menghayati kehidupan harmonis sejati dalam masyarakat pluralistis (VOA, 16/8/10)

Sehari sebelumnya, ribuan orang dari Jemaat Gereja Huria Kristen Batak Protestan, Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Wahid Institute dan elemen organisasi masyarakat lain berunjuk rasa di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Ahad (15/8). Mereka menagih janji Pemerintah tentang kebebasan beragama.

Opini kemudian disertai dengan pernyataan bahwa pluralisme di Indonesia terancam, Pancasila terancam, dan berujung pada NKRI terancam. Siapa yang mengancam? Kelompok-kelompok Islam radikal yang memperjuangkan syariah, katanya.

Jelas, ada penyesatan politik luar biasa di balik semua itu. Benarkah di Indonesia tidak ada kebebasan beragama? Benarkah di Indonesia pembangunan gereja terhambat? Kenyataannya, menurut Kepala Badan Litbang Departemen Agama, Atho Mudzhar, sejak 1977 hingga 2004, pertumbuhan rumah ibadah Kristen justru lebih besar dibandingkan dengan masjid. Rumah ibadah umat Islam, pada periode itu meningkat 64,22 persen, Kristen Protestan 131,38 persen, Kristen Katolik meningkat hingga 152 persen (Republika, 18/2/06).

Umat Islam selama ini tidaklah mempersoalan hak umat Kristen untuk beribadah. Ajaran Islam juga memberikan hak kepada agama lain seperti Kristen untuk beribadah sebebas-bebasnya. Dalam sejarah Khilafah Islam, umat Kristen hidup berdampingan secara harmonis di bawah naungan syariah Islam.

Namun masalahnya adalah pembangunan gereja yang melanggar aturan. Misal, membangun gereja di tempat pemukiman yang mayoritas Muslim, sementara yang beragama Kristen di sana sedikit. Apalagi gereja sering dijadikan basis kristenisasi untuk memurtadkan penduduk sekitar yang Muslim.

Kasus Bekasi yang kemudian memicu bentrok, misalnya, diawali ketika pihak Kristen menggunakan tempat yang semestinya tidak diperuntukkan bagi peribadahan. Jemaat tersebut mengadakan ibadah di lahan kosong seluas 2.300 meter persegi di kawasan Pondok Timur Indah, Bekasi, pada Ahad (8/8/2010). Warga sekitar tak berkenan. Mereka membubarkan acara tersebut. Warga diprovokasi hingga menyebabkan bentrok.

Pemerintah Kota Bekasi sudah menyiapkan tempat gedung untuk ibadah. Namun, para jemaat itu menolak. Di Bekasi sendiri berdiri tiga bangunan ilegal yang dijadikan sebagai tempat ibadah. Di antaranya, Gereja HKBP Pondok Timur Indah di Kecamatan Mustika Sari, Gereja Gelilea Galaxi di Kecamatan Bekasi Selatan, Gereja Vila Indah Permai (VIP) di Kecamatan Bekasi Utara.

Rencana pendirian gereja juga sering dengan cara menipu warga. Panitia Pembangunan Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin Bogor, misalnya, memalsukan tanda tangan warga. Anehnya, IMB tetap keluar, padahal tidak ada satu warga pun yang menandatanganinya; sementara berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) dua menteri pembangunan fasilitas sosial wajib memiliki 60 hingga 90 tanda tangan warga.

Cerita lain, pada November 2009 Satuan Polisi Pamong Praja membongkar lima gereja di Desa Bencongan, Kecamatan Curug, Kabupaten Tangerang. Lima bangunan gereja yang dibongkar adalah Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI), Huria Gereja Batak Protestan (HKBP), Gereja Pantekosta Haleluya Indonesia (GPHI), Gereja Bethel Indonesia (GBI) dan Gereja Pantekosta Indonesia (GPI). Mengapa gereja-gereja itu dibongkar? Berdasarkan keterangan pejabat setempat, pembangunan lima gereja yang berdiri di lahan seluas 110 hektar milik Sekretariat Negara (Sekneg) itu menyalahi aturan karena tidak mengantongi izin mendirikan bangunan (IMB). Sebelumnya, tiga kali peringatan sudah dikeluarkan Pemda Tangerang, namun pihak Kristiani tetap tak peduli.

Fakta-fakta seperti ini sering tidak diungkap. Jadi memang ada kesengajaan untuk membangun opini bahwa di Indonesia tidak ada kebebasan beragama. Di sisi lain, sangat jarang di-blow-up oleh media massa, terutama media internasional, bagaimana sulitnya umat Islam mendirikan masjid di tempat-tempat yang mayoritas penduduknya non-Muslim seperti di daerah Papua, Bali, atau Timor Timur (saat masih bergabung dengan Indonesia).

Isu pembangunan gereja ini kemudian dipolitisasi oleh kelompok-kelompok liberal untuk mengkampanyekan ide sesat mereka tentang pluralisme yang sudah difatwakan haram oleh MUI. Alasan melindungi pluralisme inilah yang digunakan untuk membenarkan kelompok-kelompok sesat yang menyimpang dari Islam. Sebaliknya, atas nama pluralisme pula mereka menuntut agar ormas-ormas Islam yang mereka cap radikal dibubarkan. Alasan menjaga pluralisme juga digunakan untuk membenarkan pembangunan gereja-gereja tanpa izin. Dengan alasan pluralisme pula, pihak Kristen membenarkan kegiatan misionaris mereka memurtadkan umat Islam. Semua ini menunjukkan memang ide pluralisme sangat berbahaya bagi umat Islam.

Logika minoritas yang ditindas oleh mayoritas juga sangat menyesatkan. Pasalnya, umat Islam yang mayoritas di Indonesia justru menjadi korban dari elit-elit minoritas sekular baik secara ekonomi maupun politik. Dengan kebijakan Kapitalisme, elit-elit minoritas ini menyengsarakan rakyat Indonesia yang mayoritas Muslim.

Kita juga mempertanyakan, mengapa kelompok liberal-sekular yang mengklaim mendukung HAM diam seribu bahasa saat terjadi pembantaian terhadap umat Islam Palestina, Irak dan Afganistan, termasuk diam terhadap pembantaian umat Islam di Ambon dan Poso beberapa waktu lalu? Mereka juga diam terhadap ketika para aktifis dan ulama umat Islam diperlakukan semena-mena atas nama perang melawan terorisme ala Amerika.

Terakhir, kita ingin mengatakan, kalaulah menjalankan syariah Islam yang kaffah (menyeluruh) dianggap sebagai hak umat Islam Indonesia yang mayoritas, justru Pemerintah yang didukung oleh elit minoritas liberal-sekular telah menghambat hak utama mayoritas umat Islam ini. [Farid Wadjdi]

2 comments

  1. itu semua rencana kaum kafir menghancurkan akidah ummat islam…

  2. YA ALLOH AMPUNILAH KAMIII

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*