Suatu saat Rasulullah saw. bersabda:
اَلصِّيَامُ جُنَّةٌ فَلاَ يَرْفَثُ وَلاَ يَجْهَلُ فَإِنْ اِمْرِؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ
Shaum itu adalah benteng (junnah). Maka dari itu, orang yang sedang shaum hendaknya tidak berkata jorok dan tidak bertindak bodoh. Apabila ada pihak yang memeranginya atau mengejeknya maka katakanlah kepadanya, “Aku sedang berpuasa!” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Ada hal amat menarik dalam hadis ini. Shaum disebut sebagai junnah atau benteng. Junnah artinya penjaga (wiqayah) dan penutup (satrah) dari keterjerumusan seseorang ke dalam kemaksiatan yang menyebabkan pelakunya masuk neraka. Junnah juga bermakna penjaga dari neraka karena menahan syahwat (al-Jami’ ash-Shahih al-Mukhtashar, II/670).
Hal ini menegaskan bahwa shaum (puasa) merupakan benteng yang bersifat individual. Shaum menjadi penawar terhadap nafsu dan syahwat pribadi yang berujung pada penjagaan kemaksiatan secara individual. Perkara tersebut menjadi lebih jelas ketika kita memperhatikan penuturan Abdullah bin Mas’ud. Dahulu kala, beliau berjalan bersama dengan Rasulullah saw. Pada saat berjalan bersama-sama itu, Nabi saw. bersabda:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ البَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
Barangsiapa yang sudah mampu, hendaklah dia menikah karena menikah itu lebih bisa menundukkan pandangan. Barangsiapa yang tidak sanggup (menikah) maka hendaklah dia berpuasa karena puasa itu akan menjadi benteng (wija'[un]) baginya (HR al-Bukhari).
Hadis ini mengisyaratkan puasa sebagai benteng ‘nafsu dan syahwat individual’. Karenanya, dapat dipahami bahwa shaum memang merupakan benteng individual.
Jika shaum merupakan benteng individual maka hal-hal yang merusak masyarakat tentu tidak dapat dicegah dan dijaga semata-mata oleh shaum. Namanya juga individual hanya akan dapat menuntaskan perkara yang sifatnya juga individual. Karenanya dapat dipahami mengapa kristenisasi masih terjadi, aliran sesat terus dibiarkan, peredaran video mesum tak terbendung, harta kekayaan rakyat terus digasak pejabat dan dijual kepada asing, korupsi para pejabat tambah menggila, stigma Islam dengan terorisme tak berhenti, pemutarbalikan Islam ala liberal makin dilegalisasi, dll. Jadi, kurang relevan bila untuk melindungi umat dari semua itu sekadar mengandalkan shaum yang sifatnya individual.
Islam memang agama paripurna. Allah SWT bukan hanya mensyariatkan shaum sebagai benteng individual, melainkan juga mensyariatkan kepemimpinan umat (Imamah, Khilafah) sebagai benteng masyarakat secara keseluruhan. Berkaitan dengan masalah ini, Junjungan kita Muhammad saw. bersabda:
وَإِنَّمَا الإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ فَإِنْ أَمَرَ بِتَقْوَى اللهِ وَعَدَلَ فَإِنَّ لَهُ بِذَلِكَ أَجْرًا وَإِنْ قَالَ بِغَيْرِهِ فَإِنَّ عَلَيْهِ مِنْهُ
Sesungguhnya imam adalah benteng (junnah); orang-orang akan berperang mengikutinya dan berlindung dengannya. Maka dari itu, jika dia memerintah dengan berlandaskan takwa kepada Allah dan keadilan, maka dia akan mendapatkan pahala. Namun, jika dia berkata sebaliknya maka dia akan menanggung dosa (HR al-Bukhari dan Muslim).
Dari berbagai kitab hadis maupun syarahnya dapat dipahami bahwa istilah imam maksudnya sama dengan khilafah. Menurut Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhari, imam di sini maknanya pemerintah tertinggi yang mengurusi urusan umat. Dengan menjadi benteng, imam mencegah musuh menyakiti kaum Muslim dan mencegah masyarakat saling menyakiti satu sama lain (Al-Jami’ ash-Shahih al-Mukhtashar, III/1080).
Sementara itu, meminjam penjelasan Imam as-Suyuthi, imam sebagai benteng berarti imam sebagai pelindung sehingga dapat mencegah musuh menyakiti kaum Muslim dan mencegah masyarakat saling menyakiti satu sama lain; juga memelihara kekayaan Islam. Kaum Muslim bersama dengan imam tersebut memerangi kaum kafir, pembangkang dan penentang kekuasaan Islam serta semua pelaku kerusakan. Imam melindungi umat dari seluruh keburukan musuh, pelaku kerusakan dan kezaliman (Ad-Dibaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hujaj, IV/454; Syarh an-Nawawi ‘ala Muslim, XII/230).
Kenyataan bahwa imam/khalifah adalah benteng kaum Muslim ini dicatat dengan baik dalam sejarah Islam. Sekadar contoh, ketika Islam diterapkan pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz (rh), pendapatan negara surplus hingga tak ada seorang pun yang berhak mendapatkan zakat. Rakyat betul-betul tersejahterakan. Dulu pernah ada tentara Romawi melecehkan perempuan dengan menarik jilbabnya, segeralah Khalifah Mu’tashim mengerahkan pasukan untuk melindungi keamanan dan kehormatan perempuan itu. Berbeda dengan itu, perempuan Islam sekarang nyawanya saja tidak dihargai. Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), penjajahan AS di Afganistan telah membunuh 2 juta perempuan Muslimah, sementara sebanyak 744.000 perempuan Muslim di Irak tewas. Sebaliknya, saat Islam diterapkan, kehormatan perempuan dijaga dengan sebaik-baiknya.
Nyatalah, kita perlu dua benteng. Shaum sebagai benteng individual dan yang tak kalah pentingnya adalah khalifah sebagai benteng umat Islam secara keseluruhan. Karenanya, benteng individual yang diraih pada bulan Ramadhan selayaknya dijadikan modal untuk mewujudkan Kekhilafahan sebagai benteng umat Islam dalam kehidupan. Insya Allah. []