Soal:
Apakah ideologi bangsa atau umat tertentu bisa diubah dengan peperangan? Jika bisa, apakah perubahan melalui peperangan itu bisa dilakukan oleh jamaah, atau organisasi jihad, atau hanya oleh negara?
Jawab:
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus memahami terlebih dulu tentang apa itu ideologi?
Al-‘Allamah as-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menyatakan, dalam kitab Nizham al-Islam, bahwa ideologi adalah akidah ‘aqliyah yang memancarkan sistem.1 Akidah ‘aqliyah itu sendiri merupakan akidah (keyakinan) yang menggunakan peranan akal, baik dalam menghasilkan maupun menetapkannya, terlepas dari benar atau salah. Kapitalisme dan Sosialisme adalah keyakinan yang dihasilkan dan ditetapkan oleh akal manusia. Keduanya juga memancarkan sistem yang bisa digunakan untuk mengatur kehidupan manusia, terlepas dari benar atau salah, dan terlepas dari apakah sesuai dengan fitrah manusia atau tidak. Karena itu, Kapitalisme dan Sosialisme adalah ideologi.
Demikian juga dengan Islam. Islam adalah akidah ‘aqliyah, karena akal mempunyai peranan di dalamnya, baik dalam menghasilkan maupun membuktikan keyakinan yang dibangunnya. Tidak hanya itu, akidah (keyakinan) tersebut juga dibangun berdasarkan akal, dan mempunyai sistem yang terpancar darinya. Karena itu, Islam juga merupakan ideologi, bahkan satu-satunya ideologi yang sahih, karena satu-satunya ideologi yang dibangun berdasarkan akal, dan sesuai dengan fitrah manusia.
Sebagai akidah ‘aqliyah, ideologi yang dimiliki oleh suatu bangsa atau umat memang tidak mudah diubah meski bukan tidak mungkin. Dalam konteks perubahan ideologi ini, al-‘Allamah as-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani juga menjelaskan ada dua cara: Pertama, melalui internal bangsa atau umat yang memeluk ideologi tersebut. Perubahan melalui internal bangsa atau umat ini bisa terjadi, karena dua faktor:
1. Ketika ideologi tersebut dianggap gagal, karena tidak mampu memuaskan pikiran dan meneneteramkan hati mereka. Ini seperti yang dialami oleh Sosialisme yang dianut oleh Uni Soviet. Sosialisme ditinggalkan oleh penganutnya, bukan karena faktor eksternal, tetapi lebih karena ketidakmampuan ideologi ini untuk mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan yang adil, juga karena tidak bisa memuaskan akal dan menenteramkan hati mereka. Contoh lain adalah Kapitalisme, yang kini mulai dipertanyakan oleh penganutnya sendiri. Angela Merkel, Kanselir Jerman, dan sejumlah petinggi Uni Eropa, dengan terang-terangan menyatakan perlunya sistem alternatif untuk menggantikan sistem Kapitalisme saat ini, yang dinilai menjadi penyebab inflasi dan kezaliman di dunia. Faktor yang pertama ini telah menyebabkan terjadinya distrust terhadap ideologi mereka.
2. Distrust yang dibangun oleh bangsa atau umat lain melalui rangkaian serangan budaya dan pemikiran (ghazw al-tsaqafi wa al-fikri) secara sistematis, sebagaimana yang dilakukan oleh Barat terhadap umat Islam. Kondisi distrust akibat serangan Barat ini terjadi sejak akhir abad ke-19 M hingga awal abad ke-20. Namun, sejak dekade 90-an abad lalu, umat Islam mulai sadar dan kembali pada agama mereka. Faktor yang kedua ini tidak akan berhasil tanpa dukungan dari antek-antek mereka yang dididik dan diracuni dengan cara pandang Barat dalam memandang Islam.
Kedua, invasi militer. Invasi militer di Dunia Islam dilakukan oleh Barat bukan hanya karena faktor ekonomi, tetapi juga faktor ideologi. Melalui invasi militernya, Barat berusaha untuk melepaskan ideologi Islam dari umatnya sehingga mereka dipaksa untuk mengadopsi ideologi penjajah. Apa yang dialami oleh negara-negara kaum Muslim di kawasan Asia dan Afrika adalah contoh nyata dari invasi ideologi yang dilakukan oleh Barat. Contoh terbaru adalah Irak. Setelah tumbangnya Saddam Hussein, rakyat Irak menginginkan Islam sebagai ideologi negara, menggantikan Ba’ats yang berhaluan kiri, dan menjadikan Irak sebagai negara Islam. Namun, toh Amerika memaksa rakyat Irak agar mengadopsi Kapitalisme dan negara demokrasi untuk mengatur kehidupan mereka.
Contoh lain, kaum Muslim yang hidup di Asia Tengah seperti Kirgistan, Uzbekistan, Turkmenistan, dan sebagainya, sebelum dikuasai oleh bangsa Rusia dan menjadi bagian dari Uni Soviet. Mereka adalah pemeluk ideologi Islam. Namun, ketika Uni Soviet berdiri, mereka dipaksa untuk meninggalkan ideologi mereka, dan mengadopsi Sosialisme. Semuanya ini dilakukan melalui invasi militer dan tangan besi.
Dari paparan di atas, bisa disimpulkan, bahwa perubahan ideologi suatu bangsa atau umat memang bisa terjadi karena peperangan, atau tepatnya invasi militer. Meski demikian, cara seperti ini tidak bisa menjadikan ideologi yang dipaksakan itu awet, sebagaimana yang ditunjukkan oleh umat Islam di Asia Tengah. Karena itu, begitu kekuatan yang memaksanya runtuh, maka segera mereka berbondong-bondong kembali pada agama dan ideologi mereka semula.
Namun yang menarik, fenomena seperti tidak terjadi pada bangsa atau umat yang pernah hidup dalam wilayah kekuasaan Islam. Padahal tidak sedikit di antara mereka yang ditaklukkan melalui peperangan (jihad). Meski Khilafah Islam, sebagai satu-satunya negara yang mengemban ideologi tersebut sudah runtuh, mereka tetap saja memeluk Islam, dan tidak berbondong-bondong meninggalkan Islam, kembali pada ideologi mereka semula. Ini juga menunjukkan, bahwa jihad yang dilakukan oleh kaum Muslim berbeda sama sekali dengan invasi militer dan penjajahan yang dilakukan oleh bangsa dan umat lain. Selain itu, hal ini juga menunjukkan bahwa Islam dipeluk oleh bangsa dan umat lain, bukan karena paksaan, tetapi dengan sukarela. Ini tercermin dalam firman Allah SWT:
لا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat (QS al-Baqarah [2]: 256).
Artinya, untuk memeluk Islam tidak ada paksaan. Siapapun yang menerima Islam sebagai agama dan ideologi, ia menerimanya karena kebenaran yang ada di dalamnya, bukan karena dipaksa.
Pertanyaannya kemudian, jika ideologi suatu bangsa atau umat bisa diubah melalui peperangan, atau tepatnya invasi militer, apakah ini bisa dilakukan oleh milisi bersenjata, atau organisasi jihad? Jawabannya: jelas tidak. Sebab, invasi militer itu hanya bisa dilakukan oleh negara terhadap negara, atau tepatnya negara yang kuat terhadap negara yang lemah’ sebagaimana yang dilakukan oleh Amerika, Inggris dan sekutunya terhadap Irak dan Afganistan. Hal yang sama juga pernah dilakukan oleh Rusia terhadap negeri-negeri Muslim di kawasan Asia Tengah. Semuanya ini dilakukan oleh negara terhadap negara, atau negara kuat terhadap negara yang lemah.
Lalu bagaimana kalau ada jamaah, organisasi jihad atau milisi bersenjata melakukan upaya perubahan ideologi suatu bangsa/umat dengan menggunakan cara-cara kemiliteran? Jelas tidak mungkin. Pertama: karena dari aspek kekuatan, jelas posisinya lebih lemah, ketimbang negara yang hendak ditundukkan. Alih-alih mau menundukkan, justru merekalah yang akan dilibas oleh negara. Kedua: cara seperti ini juga tidak akan bisa mengubah apa-apa, karena ideologi yang hendak diubah adalah pemikiran. Pemikiran tidak bisa diubah kecuali dengan pemikiran yang lebih kuat. Ketiga: dari aspek jihad itu sendiri, meski di dalam Islam ada kewajiban melakukan jihad ofensif oleh negara, Islam tetap menawarkan tiga opsi kepada bangsa atau umat yang ditaklukkan yaitu: memeluk Islam dengan sukarela dan tidak diperangi; tunduk pada sistem Islam dengan tetap memeluk agama mereka dan tidak diperangi; tidak memeluk Islam dan tidak tunduk pada sistem Islam, lalu diperangi. Inilah tiga opsi yang diberikan oleh Islam kepada mereka.
Selain itu, jihad ofensif di dalam Islam bukan bertujuan untuk melakukan pendudukan, tetapi hanya menghancurkan dinding penghalang yang menghalangi sampainya kebenaran Islam kepada bangsa atau umat yang ditaklukkan. Dinding penghalang itu tak lain adalah negara dan para penguasa mereka. Jika dinding penghalang itu tidak ada maka kebenaran dan cahaya Islam itu akan sampai kepada mereka dengan terbuka dan terang-benderang. Saat itu, mereka bisa menyaksikan keindahan Islam langsung dengan mata kepala mereka, bukan Islam yang dipersepsikan oleh negara dan para penguasa mereka, sebagaimana yang dimiliki oleh bangsa Barat saat ini. Jika itu terjadi maka mereka pun akan berbondong-bondong masuk Islam. Wallahu a’lam. []
Catatan kaki:
1 Al-‘Allamah as-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Nizham al-Islam, Dar al-Ummah, Beirut, cet. VI, Muktamadah, 1422 H/2001 M, hlm. 24.