Khilafah adalah ide utopia dan HT adalah gerakan utopis.” Itu yang dikatakan oleh seorang peneliti dari National University of Singapore (NUS), yang diundang ke kantor DPP akhir Juli lalu untuk menyampaikan sejumlah hasil penelitian terhadap HT.
Sebenarnya tudingan semacam itu bukan hal baru. Beberapa peneliti atau pengamat, baik dari dalam maupun luar negeri, juga kurang lebih berpendapat serupa. Pradana Boy ZTF, mahasiswa S-3 ANU (Australian National University), Canberra, Australia, misalnya, untuk menegaskan penolakan terhadap ide khilafah, bahkan menulis satu artikel khusus tentang masalah ini dengan berjudul, “Utopisme dan Irasionalitas Khilafah Islam”. Menurutnya, irasionalitas mengadopsi sistem Khilafah dalam konteks masa kini bisa diidentifikasi melalui pelacakan social setting and social structure suatu masyarakat tertentu. Ia menggunakan teori tentang sejarah pembentukan dan evolusi bentuk pemerintahan di negara-negara Arab yang dilakukan oleh Nazih al-Ayubi (1995) dalam Overstating Arab States. Dalam buku itu Al-Ayubi menggunakan kerangka teori Marxisme tentang mode of production untuk menganalisis evolusi sistem kenegaraan di dunia Arab. Kerangka teori Marxisme mengidentifikasi bahwa suprastuktur negara sangat ditentukan oleh basis masyarakat. Oleh Marx, basis itu tidak lain adalah mode of production dan relasi antar para pemilik sarana-sarana produksi itu. Dalam masyarakat Barat tempat Marx menelurkan gagasannya, sarana produksi lebih bersifat modern. Dalam masyarakat Arab pra-Islam, mode of production seperti yang diandaikan oleh Marx itu tidaklah ada. Yang berlangsung adalah apa yang disebut dengan Asiatic mode of production saat pemilik unsur-unsur produksi adalah tribe (suku) dan tidak lain yang dimiliki adalah tanah. Karena itu, penguasaan unsur produksi sebenarnya ditentukan oleh pemilikan tanah. Namun, dalam hal basis menentukan suprastruktur, pendekatan Marxian bisa diterapkan di sini. Karena dominasi pemilikan tanah ada di tangan suku maka, menurut dia, proses penentuan suprastruktur negara sangat ditentukan oleh ikatan-ikatan primordial yang kemudian dikenal melalui teori Ibn Khaldun sebagai ‘ashabiyyah.
Dalam konteks inilah, menurut Boy, Ibn Khaldun kemudian mengintroduksi gagasan bahwa satu-satunya jalan untuk mengontrol negara adalah dengan peperangan. Lalu terjadilah pergeseran dari Asiatic mode of production ke tributary atau military atau conquest mode of production. Maka dari itu, kata dia, lahirnya imperium Islam, sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari mode ini. Jika dilihat secara kasar, tributary mode of production ini sebenarnya terjadi dalam satu sistem pemerintahan yang bernama khilafah.
Dalam konteks inilah, simpul Boy, simplifikasi khilafah sebagai sistem pemerintahan yang terbaik menjadi sangat ahistoris. Dengan melihat social structure di atas, menurut dia, Khilafah sama sekali bukan sistem Islam. Lahirnya sistem Khilafah adalah evolusi dari sistem dan mekanisme yang berkembang dalam tradisi masyarakat Arab pra-Islam itu.
++++
Apa utopia itu? Menurut Kamus Wikipedia, kata sifat utopian digunakan untuk merujuk pada sebuah proposal yang baik namun (secara fisik, sosial, ekonomi atau politik) tidak mungkin terjadi, atau paling tidak merupakan sesuatu yang sulit dilaksanakan.
Lalu benarkah ide khilafah itu tidak mungkin diwujudkan alias utopis? Bila memang benar utopis, mengapa banyak pihak yang memperkirakan sekaligus khawatir terhadap kemungkinan berdirinya kembali Khilafah. Lihatlah, misalnya, Prof. Noah Feldman, Dosen Law School, Harvard University, AS dalam buku yang berjudul, The Rise dan The Down of Islamic State. Dikatakan, “Dapat ditegaskan bahwa meningkatnya dukungan rakyat (Islam) terhadap syariah Islam dewasa ini—meskipun pernah mengalami keruntuhan—akan dapat mengantarkan pada terwujudnya Khilafah Islamiah yang sukses.”
Dalam buku ini, Noah Feldman juga mengatakan, saat suatu kerajaan dan sistem pemerintahan itu telah mengalami keruntuhan, sesungguhnya kerajaan dan sistem pemerintahan itu tidak akan kembali, sebagaimana yang terjadi pada Sosialisme dan Monarki, kecuali dalam dua keadaan saja, yaitu sistem demokrasi yang dulu telah pernah mendominasi di Kerajaan Romania, dan dalam keadaan negara tersebut adalah Negara Islam (Khilafah).”
Prof. Noah tidak sembarangan. Ia didukung banyak fakta. Di antaranya, Pusat Kajian Strategi di Universitas Yordan pernah melakukan sebuah survei pada tahun 2007 di empat negara besar di dunia Islam (Marokko, Mesir, Indonesia dan Pakistan) seputar: a) Dukungan penerapan syariah Islam di Dunia Islam; b) Bersatu dengan negara-negara lain di bawah bendera seorang khalifah atau Khilafah; c) Menolak penjajahan asing dan politik negara-negara Barat secara umum; d) Menolak penggunaan kekerasan melawan rakyat sipil. Hasil survei ini membuktikan bahwa dukungan terhadap ide-ide di atas mencapai lebih 75%. Di Maroko para pendukung penerapan Islam, syariah dan Khilafah mencapai 76%, di Mesir 74%, di Pakistan 79% dan di Indonesia 53%. (http://www.hizb.org.uk./hizb/resources/ issu…slim-word.html)
Tidak aneh bila NIC (National Inteligent Council) yang berpusat di Washington dalam The Global Futue Mapping 2020 salah satunya memperkirakan bakal berdirinya The New Islamic Chaliphate. Ketua Dewan Duma (Parlemen Rusia) Mikael Boreyev, dalam buku Rusia Emperium Ketiga, juga memprediksikan bahwa pada tahun 2020 mayoritas negara-negara di dunia akan mengalami kehancuran dan nanti hanya akan ada lima negara besar, yakni: Rusia, yang telah menggabungkan Eropa ke dalamnya; Cina, yang akan mendominasi negara-negara Asia Timur dengan kekuatan ekonomi dan militernya; Khilafah Islamiah, yang akan membentang dari Jakarta hingga Tangier dan mayoritas daerah Afrika selatan padang pasir; dan Konfederasi yang menggabungkan benua Amerika Utara dan Amerika Selatan. Boreyev melihat bahwa India juga mungkin akan menjadi negara besar jika ia mampu menghadapi kekuatan Islam yang meliputinya.
Justru karena menyadari possibilitas (kemungkinan) dan rasionalitas dari ide khilafah inilah maka sejumlah pemimpin dunia memperingatkan tentang Khilafah sebagai ancaman buat mereka. Perdana Menteri Inggris Tony Blair, misalnya, di hadapan Konferensi Umum Partai Buruh pada 16 Juni 2005 mengatakan, “Kita sesungguhnya sedang menghadapi sebuah gerakan yang berusaha melenyapkan negara Israel dan mengusir Barat dari Dunia Islam serta menegakkan Daulah Islam tunggal yang akan menjadikan syariah Islam sebagai hukum di Dunia Islam melalui penegakan Khilafah bagi segenap umat Islam.”
Pada September 2006, George W.Bush kembali membicarakan Khilafah. Bush mengatakan, “Mereka itu sesungguhnya berusaha menegakkan kembali negara mereka yang amat unggul, Khilafah Islamiah. Semuanya akan dipimpin dengan ideologi yang sangat dibenci itu. Sistem Khilafah itu akan mencakup seluruh negeri-negeri Islam yang ada saat ini.”
Karena itu, bagi Prof. Hassan Ko Nakata, cendekiawan Muslim Jepang yang ahli teori politik Islam, konsep khilafah bukanlah konsep yang tidak realistis. Konsep yang sedang diperjuangkan Hizbut Tahrir sebagai sebuah “gerakan politik Islam” adalah ide yang realibel. Ide ini bertumpu pada dalil yang kokoh. Bahkan menurutnya, “Indonesia mempunyai syarat untuk tegaknya Khilafah itu.” []