Rasanya baru saja kita berucap,”Marhaban, ya Ramadhan”. Para ibu dengan sukacita menyambut bulan Ramadhan, mempersiapkan menu makanan untuk berbuka dan sahur, mengajak keluarga pergi shalat tarawih, rajin menghadiri majlis-majlis kajian Islam dan tadarus dan memperbanyak amalan sunnah.
Namun, kini bulan suci itu nyaris beranjak pergi, meninggalkan kesedihan yang mendalam karena perpisahan dengannya, terutama bagi mereka yang beriman dan menghayati kehadiran bulan suci ini dengan berbagai kegiatan ibadah.
Di hadapan kita saat ini adalah bulan Syawal 1431 H; bulan kita memetik kemenangan; bulan kita mulai mengukir kemenangan hakiki dalam keluarga hingga terwujud rumah tangga idelogis sebagaimana rumah tangga Rasulullah saw. dan para Sahabatnya ra. dulu. Itulah rumah tangga yang diukir di atas cadas perjuangan, yang telah mengukir kegemilangan peradaban Islam, yang dibangun oleh hamba-hamba-Nya yang bertakwa.
Oleh karenanya, penting bagi keluarga Muslim untuk selalu menjaga suasana Ramadhan yang penuh berkah ini pada sebelas bulan berikutnya dengan memperhatikan sejumlah hal. Pertama: senantiasa memelihara suasana dan semangat Ramadhan dalam keseharian. Para orangtua harus dapat menjaga suasana dan semangat Ramadhan agar rahmat Allah SWT tidak terputus bagi keluarganya. Upayakan agar senantiasa kompak dengan anak-anak untuk menjalankan tilawah al-Quran, shalat tahajud, shalat berjamaah, memakmurkan masjid serta shaum sunnah bersama-sama. Caranya, buatlah jadwal bersama yang telah disepakati oleh seluruh anggota keluarga. Jika sulit memulai jadwal harian maka upayakan memiliki jadwal mingguan. Kesungguhan dan upaya optimal setiap anggota keluarga, terutama orangtua, akan membuahkan hasil yang manis. Suasana harmonis yang dilandasi militansi anggota keluarga akan mewujudkan rumah tangga sakinah mawwadah wa rahmah yang merupakan modal utama kekuatan rumah tangga ideologis.
Kedua: Senantiasa meningkatkan kualitas-kuantitas keilmuan. Sering kesibukan pasca Ramadhan membuat keluarga Muslim kesulitan dalam meningkatkan kualitas maupun kuantitas keilmuan anggota keluarga. Hal ini dapat diatasi dengan cara membiasakan anggota keluarga memiliki program satu minggu satu kitab (mulailah dengan kitab tipis), lalu buatlah resume kitab tersebut untuk disampaikan kepada ayah/ibu. Hal ini akan memudahkan pula bagi orangtua dalam me-review pemahaman dan kualitas keilmuan mereka, juga buah hatinya; apalagi jika dilanjutkan dengan diskusi di antara anggota keluarga. Selain melatih berdakwah dan berargumentasi, anggota keluarga pun dilatih menggali pendapat/pemahaman ulama salaf.
Bagaimana dengan balita? Mereka akan senang melihat diskusi sehat anggota keluarga. Karenanya, libatkan mereka untuk turut serta, tentunya dengan bahasa sederhana dan suasana gembira. Alternatif lain, biasakan anggota keluarga memulai suatu amal dengan memiliki argumen ilmu sebagaimana motto Umar bin Khaththab ra., “Al-’Ilmu qabla al-’amal.”
Ketiga: Senantiasa meningkatkan jalinan ukhuwah islamiyah. Seorang Mukmin yang beriman akan selalu mencintai saudaranya.
لاََ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا وَلاََ تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا
Kalian tidak masuk surga sebelum kalian beriman dan tidak akan beriman sebelum kalian saling mencintai (HR Muslim).
Keluarga Muslim yang ideologis tidak hanya mencintai saudara sekandung/nasab, tetapi juga saudara seiman/seakidah sebagaimana Rasulullah saw dan para sahabatnya dulu. Jalinan ukhuwah islamiyah yang kokoh akan menjadi kekuatan yang besar dalam perjuangan Islam (Lihat: QS Ali ‘Imran [3]: 103).
Oleh karenanya, setelah silaturahmi pada hari Idul Fitri, keluarga Muslim harus memelihara jalinan ukhuwah islamiyah dengan sebaik-baiknya. Caranya adalah sesuai dengan tuntunan Rasulullah saw., yakni memahamkan setiap anggota keluarga tentang pentingnya mengatakan cinta karena Allah SWT kepada sesama Muslim baik sesama saudara kandung/nasab juga saudara seakidah (suami/istri/ anggota keluarga/teman seperjuangan/tetangga). Rasulullah saw. bersabda, “Apabila seseorang mencintai saudaranya, hendaklah dia mengatakan cinta kepadanya.” (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi).
Pahamkan juga terhadap pentingnya menunjukkan wajah gembira dan senyuman bila berjumpa. Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah kamu meremehkan kebaikan apapun, walaupun sekadar bertemu dengan saudaramu dengan wajah ceria.” (HR Muslim).
Jangan lupa untuk saling memberi hadiah, saling mendoakan dan saling memberi perhatian. Jika ini diterapkan dan dibiasakan di antara anggota keluarga dan di luar anggota keluarga, maka mewujudkan ukhuwah islamiyah untuk kesatuan kaum Muslim menjadi hal yang tak sulit dilakukan.
Keempat: Senantiasa partisipasi aktif dalam kehidupan bermasyarakat. Keluarga Muslim adalah keluarga yang peduli dengan lingkungannya. Kesalihan yang ada pada rumah tangganya akan memancar di tengah-tengah lingkungannya. Seorang istri akan berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat sesuai dengan rambu-rambu Islam: tidak ber-ghibah, memiliki prioritas dan tujuan yang jelas sesuai tuntunan syariah, tidak bergaul bebas/ikhtilath, dll. Para suami pun demikian. Selain memimpin di rumah tangga, mereka diharapkan mampu tampil menjadi pemimpin di tengah-tengah masyarakat; turut menyelesaikan masalah-masalah mereka dengan solusi Islam bahkan menjadi rujukan dan suri teladan dalam kebaikan. Tentu saja, orangtua wajib memastikan, bahwa anak-anak mereka pun menjadi anak-anak yang peduli umat, dengan mengajak dan mendorong mereka turut serta dalam setiap aktivitas sosial yang positif; termasuk amal ibadah yang memiliki nilai sosial, seperti berjamaah di masjid, bersedekah, membersihkan lingkungan, dll. Selain bisa merekatkan persaudaraan, kegiatan ini bisa menjadi jalan dakwah, mengajak umat bersama-sama memperjuangkan tegaknya hukum-hukum Islam.
Kelima: Senantiasa melakukan introspeksi akan segala kelemahan, kekurangan, dan banyaknya kebaikan yang telah terlewatkan. Berapa banyak kebaikan dalam puasa hilang bersama ghibah (menggunjing), namimah (mengadu domba), dan pandangan yang penuh tipuan (kha’inah). Berapa banyak kebaikan shalat malam hilang bersama nyenyaknya tidur, menonton film, drama, sinetron dan perbuatan tidak baik lainnya. Berapa banyak kebaikan dalam al-Quran telah hilang bersama kemalasan untuk duduk dalam halaqah zikir dan kebaikan-kebaikan lain yang hilang begitu saja termasuk melakukan aktivitas dakwah. Muhasabah ini akan meningkatkan kualitas keluarga Muslim untuk terus istiqamah dalam perjuangan dakwah Islam dan menjadikan Islam sebagai poros kehidupannya.
Hendaklah keluarga Muslim mengukir kemenangan hakiki dengan mewujudkan rumah tangga yang ideologis; rumah tangga yang layak dijadikan teladan, sumber inspirasi umat. Anggota keluarganya adalah para pengemban dakwah yang bertakwa, penjaga Islam yang terpercaya. Suami mampu (kafa’ah) menjadi imam, teladan keluarga dan umat yang akan membawa keluarganya sampai kepada-Nya dengan selamat sebagaimana Rasulullah saw. Istri mampu menjadi sumber kekuatan suami dan pendukung perjuangan sebagaimana ibunda Khadijah ra. Ibu mampu mencetak generasi pilihan serta mujahid-mujahid yang syahid sebagaimana Khansa ra., serta anak-anak yang salih-salihah sebagaimana para shahabat-shahabiyah.
Mungkinkah semua itu teraih? Sangat mungkin. Sebab, Islam dulu adalah Islam saat ini, hanya sejauh mana upaya dan kesungguhan kita mewujudkannya.
Marilah kita mulai kembali lembaran hidup kita dengan sesuatu yang bermanfaat bagi masa depan kita di akhirat kelak. Kita tekadkan kembali untuk memperbaiki kadar keimanan kita pada hari-hari selama sebelas bulan berikutnya. Tentu dengan selalu berusaha melakukan yang terbaik semata-mata karena Allah SWT. Sebab, bukankah kita diciptakan hanya untuk mengabdi kepada-Nya?
Alangkah indahnya Hari Kemenangan, terutama saat kita mampu menjalankan seluruh perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya; saat naungan Daulah Khilafah Rasyidah memayungi peradaban manusia; juga saat para pejuang bertemu dengan Allah ‘Azza wa Jalla dan Rasul-Nya pada Hari Akhir nanti. WlLâhu a’lam. []