Perlombaan senjata nuklir dunia tak pelak menghasilkan persediaan ribuan hulu ledak nuklir, berikut alat dan sistem transportasinya, baik di daratan, lautan, maupun di luar angkasa. Untuk menyembunyikan kebusukannya, AS dan Rusia berpura-pura mengupayakan perdamaian dan keamanan dunia. Sepanjang tahun 70-an, 80-an dan 90-an, mereka mengadakan negosiasi panjang yang bertujuan untuk mengurangi (bukan dimaksudkan untuk mengeliminasi) pertumbuhan senjata nuklir. Sejumlah perjanjian ditandatangani dan direvisi, meski realitas di lapangan menunjukkan adanya berbagai perbedaan dengan apa yang tertulis di atas kertas. Tak mengherankan jika jumlah arsenal nuklir yang ada di bumi ini tidak semakin berkurang, namun justru semakin banyak.
Sejarah berbagai perjanjian nuklir itu menunjukkan dengan sangat jelas bahwa masalah kunci terletak pada implementasi yang jujur, dan fakta bahwa perjanjian-perjanjian tersebut mencerminkan perimbangan kekuatan dunia.
AS sama sekali tidak pernah menghormati komitmen internasional yang mereka sepakati apabila kepentingannya mengarahkan mereka ke tujuan yang lain.
Adapun negara-negara nuklir di luar kelima kekuatan yang disebut di atas—Afrika Utara, Ukraina, Kazakhstan dan Belarusia—semuanya sudah mengembangkan kemampuan nuklirnya sesuai NPT. Selain itu ada pula Israel, India, Pakistan dan Korea Utara. Sementara itu, Barat terus melancarkan tuduhan terhadap Iran.
India dan Israel
India dan Israel sama sekali tidak berpikir untuk mengembangkan kemampuan nuklirnya sesuai NPT. Namun demikian, Barat dan AS khususnya seolah menutup mata terhadap program persenjataan nuklir Israel. Sebaliknya, mereka terus memberikan bantuan ekonomi dan militer kepada Israel, dan tidak pernah meminta—apalagi menekan—Israel untuk bergabung dalam Perjanjian NPT.
Lalu terkait dengan India, AS telah menandatangani sebuah perjanjian kerjasama nuklir meskipun India menolak kesepakatan NPT. AS juga terus mengembangkan kemampuan nuklir dan peluru kendali India.
Langkah ini diambil agar AS dapat memanfaatkan posisi India sebagai saingan utama melawan Cina, meski hubungannya dengan Pakistan terpaksa harus dipertaruhkan. AS berharap mampu merangkul partai berkuasa di India melalui perjanjian kerjasama nuklir, dan menghadapkan India dengan Pakistan.
Di lain pihak, AS sangat berkepentingan membangun sistem persenjataan nuklir India yang berbatasan dengan Cina. Pengembangan sistem persenjataan India ini diyakini akan mampu membuat Cina sibuk menghadapi risiko potensial sehingga mengurangi kemampuan Cina dalam menghalangi kepentingan AS.
Demikianlah, ketika membahas program pengembangan nuklir di Israel dan India, maka yang menjadi pertimbangan strategis adalah kepentingan AS, bukan kepentingan kemanusiaan atau keadilan.
Korea Utara
Besar kemungkinan rezim Korea Utara—yang didukung oleh Cina—akan menerima sebuah penyelesaian sebagai ganti sejumlah jaminan keamanan dan bantuan ekonomi. Cina tidak menghendaki adanya sebuah rezim bersenjata nuklir di perbatasannya. Hal ini mendorong Korea Utara untuk membuat sebuah penyelesaian damai bagi program pengembangan nuklirnya.
Pakistan
Berbeda dengan India, Pakistan dipandang oleh pemerintah AS sebagai negara yang tidak bertanggung jawab dalam program nuklirnya antara lain dengan tudingan jual-beli nuklir ilegal. Hal ini menjadi alasan bagi pemerintah AS untuk mengakhiri kerjasama pengembangan nuklir dengan Pakistan. AS juga membangun opini tentang adanya ancaman potensial jika bom-bom nuklir Pakistan jatuh ke pihak yang disebut AS sebagai kelompok militan.
Ketika Cina dan Pakistan mengumumkan kerjasama mereka untuk membangun dua reaktor nuklir di Pakistan pada akhir April 2010 lalu, AS menyatakan protes kerasnya, dan menuduh Cina telah melanggar kewajibannya dalam Perjanjian NPT. Demikianlah, secara efektif AS menggunakan segala cara untuk melucuti kemampuan nuklir Pakistan.
Iran
Aktivitas nuklir Iran dimulai sejak masa Shah Iran, ketika pemerintah Iran bekerjasama dengan perusahaan-perusahaan Prancis dan Jerman. Iran telah menandatangani NPT pada tahun 1970. Setelah Revolusi 1979, rezim Iran menghentikan program nuklirnya hingga Presiden Rafsanjani memulainya lagi pada pertengahan 1990-an. Pada tahun 1995, pemerintah Iran menjalin kerjasama dengan Rusia yang menyelesaikan pembangunan instalasi nuklir yang ditinggalkan perusahaan-perusahaan Eropa.
Krisis nuklir antara Iran dan Eropa bermula pada tahun 2003, ketika tokoh-tokoh oposisi Iran melancarkan tuduhan bahwa Iran tidak melaporkan aktivitas dan instalasi nuklir rahasia kepada IAEA. Pada 23 Desember 2006, Dewan Keamanan mengeluarkan Resolusi 1737. Selama itu, AS tidak ikut campur dalam pembicaraan dengan Iran, hingga ia terjun dalam persoalan tersebut setelah resolusi ini keluar. AS bersama negara-negara Eropa (5 anggota tetap DK PBB) dan Jerman bertugas mencari penyelesaian dalam kasus tersebut. Negara-negara Eropa, plus Israel, terus berusaha melibatkan AS dalam persoalan nuklir Iran ini, karena mereka merasa tidak mampu menyelesaikannya sendiri.
AS meminta Turki dan Brazil sebagai perantara untuk mendapatkan kompromi. Pada saat-saat akhir, Iran setuju dengan inisiatif Turki dan Brazil yang didukung AS untuk melaksanakan proses pengayaan lanjutan di luar Iran, yaitu di Turki, dan menandatangani perjanjian di Teheran pada tanggal 7 Mei 2010.
Ketika negara-negara Eropa dan Israel menganggap bahwa kesepakatan tersebut hanyalah pura-pura saja, AS segera mengenakan serangkaian sanksi baru yang akhirnya disetujui oleh DK PBB dengan resolusi no. 1929 pada tanggal 9 Juni 2010.
Demikianlah, pola itu berlangsung berulang-ulang: tiap kali Eropa dan Israel memanaskan suasana, AS akan terjun untuk mendinginkan krisis tersebut untuk menghindari penggunaan serangan militer sebagai bentuk sanksi terhadap Iran.
Kepentingan AS
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa Eropa dan Israel ingin menyelesaikan kasus nuklir Iran secara langsung dengan serangan militer atas fasilitas nuklir Iran, atau paling tidak mengenakan sanksi yang mampu melumpuhkan kekuatannya. Di pihak lain, AS ingin menyelesaikan krisis dengan tingkat intensitas yang rendah, yang diselesaikan dengan sanksi-sanksi yang bersifat umum, yang dikenakan setelah melewati pembicaraan yang panjang.
AS ingin memperpanjang krisis nuklir Iran karena sejumlah alasan, yaitu:
1. Ingin menggunakan ancaman nuklir Iran sebagai alasan untuk menebarkan misil-misil AS yang berbasis di Eropa (Polandia, Cekoslovakia), untuk mengepung Rusia dengan sistem rudal mutakhir yang mampu mencapai pedalaman Rusia. Hal ini juga membuat Eropa tetap berada di bawah payung perlindungan AS dari ancaman potensial yang berasal dari Iran dan Korea Utara.
2. Agar dapat menggunakan Iran sebagai ancaman yang menakutkan negara-negara Teluk sehingga negara-negara tersebut berada dalam kondisi tidak stabil. Hal ini akan menyebabkan AS mempunyai argumentasi untuk memperluas jaringan pangkalan-pangkalan militernya di wilayah tersebut semata-mata karena menghadapi ancaman dari Iran. Sebagaimana diketahui, di wilayah tersebut terdapat tiga negara penghasil minyak terbesar di dunia: Arab Saudi, Kuwait dan Iran. Langkah politik tersebut akan memberikan jaminan bagi AS agar dapat mengontrol wilayah kaya minyak tersebut sehingga membuat AS dapat mengontrol kondisi perekonomian global.
3. Sebagai pihak yang berperan sebagai penentu sanksi atas Iran, AS dapat menunjukkan citranya sebagai pemimpin yang “bijaksana”, meski sesungguhnya AS hanya mengelola/memperpanjang krisis tanpa sedikit pun niat bersikap “lemah-lembut”. Demikianlah cara AS “melipat karpet” dari bawah Eropa maupun Israel.
Telah tampak jelas bahwa negara-negara pemilik senjata nuklir berusaha memonopoli senjata nuklir, berikut teknologi yang terkait dengannya, dan membatasi penggunaannya hanya untuk mereka. Amerika, melalui berbagai strategi penyesatannya, mengadakan sejumlah pertemuan dan konvensi, seperti pertemuan tingkat tinggi tentang keamanan nuklir yang diadakan di Washington pada tanggal 13 April 2010. Empat puluh tujuh negara berkumpul bersama mendiskusikan apa yang disebut sebagai keamanan nuklir internasional di balik upaya organisasi-organisasi teroris untuk mendapatkan material nuklir.
AS juga berusaha memperlihatkan upaya serius untuk menciptakan dunia yang bebas senjata nuklir. Obama, misalnya, menandatangani Perjanjian START II di Praha pada tanggal 8 April 2010 bersama Presiden Rusia Medvedev, dengan tujuan untuk menyampaikan pesan kepada dunia bahwa kedua bangsa itu berkomitmen untuk mengurangi secara drastis hulu ledak nuklir yang mereka miliki, diperkuat dengan opini media yang menyebarluaskan informasi tentang bahaya senjata nuklir.
Tujuan diadakannya pertemuan tingkat tinggi itu bukanlah untuk menghapuskan senjata nuklir, tetapi untuk mencegah pengembangannya. Meski demikian, kita melihat kemudian pertunjukan standar ganda AS ketika berurusan dengan India dan Israel.
Pertemuan itu juga untuk mencegah penyebaran dan perbanyakan (proliferasi) uranium yang diperkaya berikut teknologinya ke negara-negara yang tidak diizinkan untuk memilikinya. Walhasil, pertemuan tingkat tinggi itu tidak lebih merupakan sebuah upaya konsolidasi monopoli senjata nuklir untuk mengokohkan kolonialisme poros-poros kekuatan dunia terhadap negara-negara lain.
Pandangan Hizbut Tahrir
Pandangan Hizbut Tahrir adalah pandangan Islami yang digali dari nash-nash syariah. Di antara pandangan itu adalah:
1. Tujuan jihad dalam Islam adalah untuk membangkitkan manusia dengan menyebarluaskan Islam kepada umat manusia, dan bukan dimaksudkan untuk membasmi atau menghancurkan manusia.
a. Islam adalah risalah dari Allah SWT yang diturunkan sebagai rahmat bagi seluruh umat manusia (QS al-Anbiya’: 107)
Dalam Islam haram melukai warga sipil, merusak pepohonan, dan menghancurkan bangunan (HR Abu Dawud dari Anas bin Malik)
b. Ketika Khalifah Abu Bakar ra memberangkatkan sebuah pasukan ke Suriah, beliau berpesan kepada komandan pasukan, “Saya menasihati engkau dengan sepuluh perintah: jangan membunuh wanita, anak, atau orang tua; jangan memotong pohon berbuah; jangan menghancurkan rumah; jangan membunuh hewan (domba atau unta), kecuali untuk (tujuan) makan; jangan membakar pohon palem dan menebangnya; jangan mencuri; jangan pengecut.” (HR Malik).
c. Semua dalil di atas bertolak belakang dengan politik perang dengan cara pemusnahan umat manusia dan menghasilkan kehancuran yang bersifat massal sebagaimana halnya senjata nuklir. Karena itu, membuat senjata nuklir pada asalnya merupakan perkara yang haram.
2. Namun, ketika satu atau lebih dari satu negara memiliki sistem persenjataan yang sangat mematikan, seperti senjata nuklir, sedangkan kemungkinan penggunaannya semakin meningkat, maka wajib bagi Negara Islam untuk berupaya memiliki sistem persenjataan yang sama (QS al-Baqarah [2]: 194; QS an-Nahl [16]: 126).
Karena itu, Negara Islam diwajibkan memiliki senjata nuklir, jika musuh-musuhnya juga memiliki senjata nuklir.
3. Allah SWT memerintahkan kita untuk mempersiapkan kekuatan maksimal yang kita miliki untuk menggentarkan orang-orang yang memusuhi kita (QS al-Anfal [8]: 60). Jika musuh memiliki senjata nuklir maka mereka tidak akan merasa gentar berhadapan dengan Negara Islam, kecuali bila Negara Islam memiliki senjata nuklir pula.
Islam melarang Negara Islam menandatangani Perjanjian NPT yang membolehkan negara lain memiliki senjata nuklir. Namun, Islam membolehkan penandatanganan perjanjian-perjanjian yang diarahkan untuk menghapuskan senjata nuklir. Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah berbuat madarat dan hal yang menimbulkan madarat.”
Kami berpendapat itulah tugas yang diemban oleh sebuah negara yang seharusnya menaungi kaum Muslim; negara yang berani berdiri tegak di hadapan negara-negara yang memiliki senjata nuklir; negara yang mampu memaksakan pemboikotan terhadap negara-negara tersebut hingga mereka menghancurkan dan menghapuskan senjata-senjata pemusnah massal semacam itu.
Inilah pendapat Hizbut Tahrir mengenai persoalan Krisis Nuklir Internasional; dan inilah pandangan Negara Islam, Khilafah Rasyidah yang akan tegak dengan izin Allah SWT. []