Pengantar:
Selain akut, persoalan yang dihadapi Indonesia juga amat kompleks; meliputi bidang ekonomi, politik, pendidikan, sosial, dll. Celakanya, semakin hari semakin tak kelihatan ada tanda-tanda solusi yang diberikan oleh para pemangku kebijakan di negeri ini, baik dari kalangan eksekutif maupun legislatif. Yang tampak, berbagai kebijakan mereka malah melahirkan banyak persoalan baru, yang ujung-ujungnya makin membuat rakyat menderita. Mengapa semua ini bisa terjadi? Apa akar persoalannya? Bagaimana pula solusinya menurut Islam?
Untuk menjawab beberapa pertanyaan di atas, Ustadz Muhammad Rahmat Kurnia dari DPP Hizbut Tahrir memberikan pandangannya melalui wawancara dengan Redaksi berikut ini.
Apa problem utama politik di Indonesia?
Problem utamanya adalah tidak ada kepemimpinan politik Islam. Akibatnya, umat Muhammad yang mulia ini terpuruk secara politik, ekonomi, dan sosial.
Sebagai contoh, pada tahun 2010 terdapat 13% (31 juta orang) berpenghasilan di bawah 2 dolar/Rp 19.000,- perhari (sekitar Rp 500 ribu/bulan). Padahal, ketika Islam diterapkan pada masa Khilafah Umar bin Abdul Aziz (rh.), pendapatan Negara surplus hingga tak ada seorang pun yang berhak mendapatkan zakat. Tidak ada mustahik zakat. Indonesia menurut Hong Kong-based Political & Economic Risk Consultancy Ltd merupakan Negara terkorup di Asia Pasifik (8/3/2010). Hal ini berbeda dengan masa penerapan Islam dalam Khilafah di bawah kepemimpinan Khalifah Umar bin Abdul Aziz (rh.) dimana good governance dan clean government benar-benar terwujud.
Jelas, persoalannya bukan terletak pada masalah sumberdaya, melainkan terletak pada tidak adanya kepemimpinan politik Islam.
Mengapa kondisi ini bisa terjadi?
Sebab, sistem yang diterapkan adalah sistem sekular. Secara ekonomi, sekularisme melahirkan ekonomi Kapitalisme. Dalam Kapitalisme yang berkuasa adalah pemilik modal yang memang punya uang.
Dari segi politik, sekularisme melahirkan demokrasi. Dalam demokrasi yang berkuasa adalah uang. Lihat saja, kedaulatan rakyat yang digembar-gemborkan adalah khayalan. Yang ada adalah kedaulatan segelintir elit politik, bahkan kedaulatan uang. Persamaan politik (political equality) hanyalah slogan. Hanya orang yang beruang saja yang dapat berkuasa. Rakyat baru disapa ketika Pemilu atau Pemilukada. Yang mereka butuhkan dari rakyat hanyalah coblosan/contrengan.
Apa yang menyebabkan karut-marut politik Indonesia terjadi?
Pertama: substansi politik. Substansi politik yang diterapkan di Indonesia adalah sekularisme, paham yang memisahkan agama dari kehidupan. Dari akidah sekularisme inilah lahir sistem pemerintahan demokrasi yang menjadikan manusia sebagai penentu hukum. Tak ayal hukum buatan manusia itu dapat ditarik kesana-kemari sesuai dengan kepentingan para pembuatnya.
Kedua: fungsi politik. Fungsi politik dalam sistem sekularisme kapitalisme adalah untuk meraih kepentingan pribadi dan kelompok, sementara dalam Islam untuk mengurusi urusan rakyat (ri’ayah syuun al-ummah). Dalam sistem demokrasi, input politik dari masyarakat kepada kepala negara maupun wakil rakyat adalah pemberian suara dengan cek kosong. Kalaupun ada kontrak sosial, isinya harus sesuai dengan substansi politiknya, yaitu sekularisme kapitalisme. Karenanya, dalam proses politiknya, lembaga-lembaga politik baik eksekutif, legislatif, yudikatif, partai, dll berupaya untuk meraih kepentingannya masing-masing, termasuk kepentingan pemilik modal yang selama ini mendukungnya; bukan kepentingan rakyat. Pembuatan perundang-undangan (legislasi) semuanya didasarkan pada kepentingan masing-masing melalui kompromi dan politik dagang sapi. Output dari proses politik seperti ini adalah kebijakan publik yang jauh dari kepentingan rakyat. Tidak aneh, hukum yang dilahirkan akan menguntungkan pemilik modal.
Ketiga: persoalan intervensi politik dari luar negeri. Sudah menjadi rahasia umum bahwa siapapun yang menjadi kepala negara di Indonesia harus mendapat restu dari AS. Begitu juga terkait gerakan separatis tak dapat dilepaskan dari pengaruh asing.
Keempat: budaya politik. Persoalan keempat ini lebih menyangkut orangnya. Dalam perpolitikan kita menyaksikan hilang sama sekali rasa malu dari wakil rakyat. Mereka lebih memikirkan kenaikan gaji sendiri, pelesiran ke luar negeri dengan dalih studi banding, dll.
Siapa yang berkonstribusi bagi karut-marut politik Indonesia?
Tentu, banyak pihak yang turut berkonstribusi. Pertama: para penguasa/pejabat yang menjadi kepanjangan dari negara besar, khususnya AS. Setiap kebijakan dan perundang-undangan selalu mengacu pada kebijakan mereka. Kedua: para intelektual yang terkena racun Barat (westoxiation). Apa yang dilakukan dan diterapkan di Barat dianggap hal terbaik. Pandangan sosial, politik, ekonomi dan budaya diambil mentah-mentah dari Barat (kapitalis) atau Timur (sosialis-komunis), bukan dari Islam.
Ketiga: tokoh yang terzalimkan (zhallamiyin). Mereka sering menjadi alat legitimasi terhadap ide, gagasan, hukum, dan pandangan hidup Barat sekular.
Keempat: pihak asing. Tidak sedikit intervensi dari asing terhadap kebijakan di Indonesia, baik lewat pembuatan perundang-undangan maupun tekanan terhadap penguasa.
Kelima: tidak boleh kita pungkiri, sebagian rakyat sendiri berkonstribusi. Mereka memilih pemimpin yang jelas-jelas tidak pro Islam. Mereka terus mempertahankan sistem sekular kapitalis yang sudah nyata kebobrokannya.
Bagaimana modus operandi asing di Indonesia?
Banyak sekali modus operandi yang mereka lakukan. Di antaranya lewat Pemilu. Dalam Pemilu 2009, Center for Local Government Reform (Celgor) meminta dihentikannya intervensi asing dalam Pemilu Presiden 2009. Di antara intervensi asing itu tampak sejak proses Pemilu itu sendiri. Menurut akreditasi Komisi Pemilihan Umum (KPU) setidaknya ada tujuh lembaga pemantau asing. Belum lagi Indonesia mendapatkan dana bantuan asing sebesar 37,5 juta dollar AS. Dana itu digunakan bagi Pemilu 2009 mulai dari proses sosialisasi hingga selesai yang dikoordinasikan oleh lembaga PBB, United Nations Development Programme (UNDP). Tidak mungkin kalau tidak ada udang di balik batu. Ingat prinsip no free lunch, tidak ada makan siang gratis. Persoalan IT dalam Pemilu lalu pun menunjukkan hal ini.
Setelah Pemilu lewat, pembuatan kebijakan. Disini muncullah mafia kasus, mafia peradilan, mafia hukum dan mafia proyek. Perundang-undangan seperti UU Migas, SDA, Penanaman Modal dan sejenisnya sangat memihak konglomerat dan asing. Tidak mengherankan, sebagaimana disampaikan oleh Jendral (Purn.) Kiki Syahnarki, bahwa dari data intelijen yang ada setidaknya 72 perundang-undangan dibuat oleh konsultan asing.
Bagaimana dampak bagi rakyat?
Tentu, seperti sekarang ini. Perundang-undangan dan kebijakan banyak yang merugikan rakyat. Harta kekayaan milik rakyat dinikmati segelintir orang dan banyak diserahkan kepada asing.
Lalu bagaimana cara menyelesaikan problem politik Indonesia saat ini?
Perlu perombakan total. Pertama: ubah substansi politik dari sekularisme, pemisahan Islam dari kehidupan dan kedaulatan di tangan manusia (rakyat) menjadi penerapan syariah Islam dalam segala aspek kehidupan (kedaulatan ada di tangan hukum syara).
Kedua: selama ini memang kekuasaan ada di tangan rakyat dan rakyat mendelegasikannya kepada penguasa/wakil rakyat dengan cek kosong atau kontrak sesuai sekularisme. Ini harus diubah menjadi kekuasaan ada di tangan rakyat dan rakyat mendelegasikannya kepada penguasa/wakil rakyat dengan isi ‘menerapkan Kitabullah dan sunnah Rasul saw.’.
Ketiga: ubah fungsi politik yang tadinya who gets what and when (siapa meraih apa dan kapan), meraih kepentingan pribadi, kelompok, dan pemilik modal; dan penetapan hukum/per-UU melalui kompromi dan politik dagang sapi menjadi ri’ayah syuun al-ummah (mengurusi urusan rakyat) dan penetapan hukum/per-UU melalui ijtihad syar’iyyah Khalifah atau tarjih dari pendapat mujtahidin yang ada.
Keempat: hilangkan intervensi politik asing dengan menyatukan umat Islam dalam satu kepemimpinan.
Nah, keempat hal di atas berdasarkan berbagai referensi merupakan pilar Khilafah. Oleh karena itu, solusi untuk karut-marut perpolitikan di Indonesia adalah Khilafah. Khilafah is the answer. []