Berbagai fakta di dunia menunjukkan bahwa perumusan teori hubungan internasional tidak bisa hanya didasarkan pada faktor ekonomi, tetapi yang jauh lebih penting adalah menyangkut masalah ideologi. Sebagaimana diketahui, ideologi Islam dan ideologi Barat (Kapitalisme-Sekularisme) berseberangan secara diametral dalam seluruh aspek kehidupan seperti ekonomi, politik, sosial, tata negara, hukum, dan sebagainya.
Perbedaan diametral itu menghasilkan benturan pemikiran dan tatanilai Islam dengan pemikiran dan tatanilai Barat. Bahkan saat ini, Barat menabuh genderang benturan fisik terhadap umat Islam yang hidup di negeri-negeri Barat. Pada tiga tahun terakhir ini umat Islam yang hidup di sana terus mengalami peningkatan sikap diskriminatif, penistaan dan penghinaan. Tentu, benturan fisik itu muncul seiring makin hilangnya daya intelektual Barat di hadapan kecemerlangan ideologi Islam.
Nasib Umat Islam di Barat
Berikut adalah contoh beberapa peristiwa yang menggambarkan sikap diskriminatif Barat terhadap umat Islam yang hidup di sana. Barat sering menggaungkan isu HAM dan demokrasi, padahal merekalah sejatinya yang rutin melecehkan hak manusia, khususnya umat Islam.
Pertama: selama Ramadhan ini umat Islam di New York, AS, berada dalam kekhawatiran dan ketakutan. Mereka harus menjalani Ramadhan dengan pengawasan lebih ketat. Dalam berita yang termuat di Washington Post (Washingtonpost.com, 27/7/2010), Kantor Polisi New York menyatakan akan meningkatkan patroli di masjid-masjid setempat selama Ramadhan. Sebagaimana diketahui, saat ini memang jumlah masjid di New York terus bertambah. Menurut Kepala Departemen Komunitas New York, di wilayah tersebut sekarang terdapat lebih dari 100 masjid. Padahal pada tahun 1970, di New York baru terdapat 10 unit masjid, artinya telah terjadi peningkatan 10 kali lipat.
Sikap paranoid seperti itu membuktikan bahwa AS sebenarnya sudah mengubur HAM sedalam-dalamnya ketika kebijakan anti-HAM mereka menimpa umat Islam.
Kedua: beberapa waktu yang lalu ramai diberitakan tentang kelompok anti Islam yang menyerukan penghentian islamisasi di Amerika melalui iklan di transportasi umum (bus, kereta, dsb) di beberapa kota besar di AS. Mereka menyerukan untuk meninggalkan keyakinan terhadap Islam. Kampanye anti-Islam tersebut telah memicu perdebatan tentang kedudukan agama dalam masyarakat Amerika. Perdebatan yang berkembang mengenai kedudukan Islam di Amerika semakin meningkat sehubungan dengan rencana pembangunan sebuah masjid di dekat Ground Zero, bekas reruntuhan Gedung WTC.
Beberapa kelompok yang terlibat dalam perang iklan agama ini menawarkan jasa kampanye untuk melawan Islam. Melalui kampanye dan iklan itu pada dasarnya mereka ingin membangkitkan rasa takut masyarakat terhadap Islam. Hal ini sejalan dengan hasil jajak pendapat tahun 2009 yang dilakukan oleh Pew Research Center yang menemukan bahwa 38 persen penduduk AS percaya bahwa agama Islam adalah agama yang mendorong kekerasan dibandingkan agama-agama lain.
Ketiga: The Council on American-Islamic Relations (CAIR) melaporkan tentang sikap pemerintah AS, terutama dari para pejabat publik dan media massa nasional, yang nyaris tidak merespon peristiwa ledakan bom di luar masjid di Florida. Direktur Eksekutif CAIR, Nihad Awad, mengungkapkan ledakan itu terjadi di luar masjid yang merupakan bagian dari Islamic Center of Northeast Florida di Jacksonville, Senin (10/5) lalu. Menurut dia, liputan media atas kejadian itu sangat dibatasi. Tidak ada pula kecaman pejabat dan publik di tingkat nasional atas peristiwa itu. Di luar Florida, mayoritas warga AS benar-benar tidak peduli pada ledakan bom yang terjadi di tempat ibadah umat Islam itu (islamtoday.net, 12/5/2010).
Bisa dibayangkan, apa yang akan dilakukan AS apabila ledakan semacam itu terjadi pada tempat ibadah umat agama lain, apalagi jika dicurigai pelakunya adalah seorang Muslim. Tentu hal itu akan menjadi berita besar di seluruh media AS. Bahkan pemerintah AS dan lembaga-lembaga HAM-nya sering ikut ‘peduli’ pada kejadian kecil di berbagai negara apabila yang jadi korban adalah warganya atau kroninya.
Keempat: pada pertengahan Juli lalu, gereja Amerika menyerukan untuk menjadikan 11 September 2010 sebagai International Burn A Koran Day (Hari Internasional untuk Membakar al-Quran). Seruan itu mendapat penolakan luas dari komunitas Muslim yang bereaksi dengan mengkoordinasi kampanye untuk pendistri-busian al-Quran selama bulan Ramadhan.
Terry Jones, pastor pada Dove World Outreach Center di negara bagian Florida, dan pembuat tulisan Islam is the Devil itu menyerukan para pengikutnya agar melakukan perlawanan terhadap apa yang disebutnya dengan ‘kejahatan Islam’. Terry menilai bahwa al-Quran menyebabkan orang masuk neraka, karena itu ia harus diletakkan di tempatnya dalam api, yakni dibakar.
Sebelumnya gereja yang terletak di kota Gainesville, Florida ini sudah sering melancarkan kampanye untuk melawan agama Islam. Bahkan pada saat memperingati Hari Natal, dindingnya dihiasi dengan kata-kata yang melecehkan Islam. Melalui kata-kata itu ia menyatakan bahwa ia berusaha menyampaikan misi pada para pengikutnya dengan cara yang ia bisa, sementara yang lain katanya biar Tuhan yang melakukannya (Islamtoday.net, 20/7/2010).
Sementara itu, Council on American-Islamic Relations Los Angeles (CAIR-LA) mengutuk protes anti-masjid yang direncanakan oleh pendukung Tea Party California yang membawa anjing untuk mengganggu umat Islam selama shalat Jumat. CAIR juga menyesalkan pidato calon Senat AS asal Florida, Marco Rubio, yang menyatakan bahwa umat lslam seharusnya tidak boleh memegang jabatan publik. Menurut dia, Muslim Amerika tidak dapat menjadi warga negara yang setia, dan Islam adalah musuh yang nyata (Republika.co.id, 28/7/2010).
Kelima: pada 13 Juli 2010 lalu, Majelis Nasional (Parlemen) Prancis meratifikasi Rancangan Undang-Undang (RUU) larangan memakai burqa atau niqab di tempat-tempat umum dengan dukungan suara manyoritas, yakni 335 suara. Undang-undang tersebut berisi larangan mengenakan jilbab yang menutupi seluruh tubuh di segala tempat umum. Yang melanggarnya wajib membayar denda sebesar 150 euro, atau berpartisipasi dalam pelatihan kewarganegaraan.
Mengikuti jejak Prancis, para politisi Inggris juga telah mengutarakan hal yang sama untuk mendukung pelarangan penutup wajah itu di ruang publik di Inggris. Para politisi itu termasuk di antaranya Philip Hollobone, anggota parlemen dari kelompok Konservatif dan anggota dari Partai Kemerdekaan Inggris. Kebanyakan para pendukung pelarangan itu telah membenarkan sikap mereka atas dasar bahwa cara berpakaian semacam itu merupakan penghinaan terhadap martabat perempuan dan simbol penaklukan kaum laki-laki atas kaum perempuan.
Para politisi itu menuding jilbab dan niqab sebagai bentuk ketertinggalan zaman dan penindasan atas hak perempuan. Sebaliknya, mereka mengabaikan obyektivitas tubuh perempuan dalam majalah-majalah yang berisi pornografi, klub-klub tarian erotis, periklanan dan industri hiburan yang semakin subur di masyarakat liberal Eropa. Semuanya diizinkan dengan premis kebebasan berekspresi. Namun, untuk niqab mereka tidak lagi menggunakan premis tersebut.
Keenam: pada 27 Juli 2010 kelompok HAM, Minority Rights Group International, yang berbasis di London melaporkan bahwa diskriminasi terhadap Muslim meningkat di AS dan Eropa Barat akibat kebijakan anti-teror. Dalam laporan tersebut juga disebutkan bahwa kaum minoritas menghadapi penganiayaan yang meningkat dan kebebasan yang berkurang karena pemerintah menerapkan kebijakan-kebijakan anti terorisme yang semakin ketat sejak serangan teroris pada September 2001 di Amerika.
Hal itu menunjukkan bahwa umat Islam yang hidup di negara-negara Barat khususnya di AS dan Eropa terus mengalami sikap diskriminatif dari warga dan penguasanya. Para pemimpin negara-negara Barat sering berbicara tentang penghormatan atas hak-hak manusia sebagai wujud kebijakan negara modern. Padahal kenyataannya, secara telanjang dan tanpa rasa malu mereka terbukti merampas secara paksa hak-hak warganya yang Muslim. Penghormatan tidak ada lagi dalam tatanan mereka, apabila menyangkut Muslim yang berusaha menjalankan ajaran agamanya.
Khilafah: Benteng Umat
Berbagai fakta di atas tentu menyadarkan umat Islam terhadap sejumlah hal, di antaranya: Pertama, kafir penjajah sesungguhnya tidak akan pernah berhenti memusuhi Islam dan umatnya. Penghinaan dan penganiayaan terhadap umat Islam yang hidup di negeri Barat adalah wujud nyata dari pertarungan peradaban (clash of civilization). Propaganda mereka di tengah-tengah umat Islam seperti demokrasi, HAM, kebebasan, dialog antarperadaban dan sebagainya sejatinya merupakan peluru mereka untuk memenangkan pertarungan tersebut. Pelarangan jilbab/burqa, pengawasan masjid, pembakaran al-Quran, dan sikap diskriminatif lainnya merupakan jurus handal mereka untuk mencegah pertumbuhan ideologi dan sistem hukum Islam.
Kedua, sikap diskriminatif Barat terhadap umat Islam pada dasarnya merupakan indikasi kekalahan Barat secara intelektual. Mereka tidak mampu membendung gelombang kebangkitan Islam yang diindikasikan dengan banyaknya warga Barat yang masuk Islam, meningkatnya pemakaian jilbab dan niqab, dan berdirinya banyak masjid. Secara argumentatif mereka tidak mampu lagi menolak kemuliaan Islam sehingga mereka mengambil jalan pintas yang memalukan, yakni sikap diskriminatif dan teror fisik.
Ketiga, Islam dan umatnya akan tetap mengalami penistaan dan penghinaan oleh negara-negara Barat penjajah selama Islam dan umatnya tidak memiliki benteng sebagai pelindung mereka. Benteng tersebut tidak lain adalah sebuah institusi negara yang mempersatukan mereka di seluruh dunia, yakni Khilafah Islamiyah. Institusi tersebut akan menjadi pemersatu dan pelindung umat dari segala ancaman dan penistaan. Itulah yang diisyaratkan oleh Rasulullah saw. melalui sabdanya:
وَإِنَّمَا الإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ
Sesungguhnya Imam (Khalifah) adalah benteng. Orang-orang berperang di belakangnya dan menjadikannya pelindung (HR Bukhari dan Muslim).
Khilafah Islamiyah merupakan kunci penyelesaian dari seluruh persoalan kehidupan umat Islam melalui penerapan syariah dalam segala aspek kehidupan. Karena itu, perjuangan penegakan syariah dan Khilafah dapat pula dibaca sebagai wujud kepedulian atas nasib umat Islam dan upaya untuk membawanya menjadi umat terbaik pada masa depan. Allahu a’lam bi ash-shawab. [Disarikan dari makalah konferensi Internasional Media di Beirut, 18/07/10]]