HTI

Tafsir (Al Waie)

Peringatan Terhadap Pelaku Makar

أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِأَصْحَابِ الْفِيلِ، أَلَمْ يَجْعَلْ كَيْدَهُمْ فِي تَضْلِيلٍ، وَأَرْسَلَ عَلَيْهِمْ طَيْرًا أَبَابِيلَ، تَرْمِيهِمْ بِحِجَارَةٍ مِنْ سِجِّيلٍ، فَجَعَلَهُمْ كَعَصْفٍ مَأْكُولٍ

Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap tentara gajah? Bukankah Dia telah menjadikan tipudaya mereka (untuk menghancurkan Kakbah) itu sia-sia? Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong, yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar, lalu Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat) (QS al-Fil [105]: 1-5).

urat ini dinamakan al-Fîl, diambilkan dari kata yang terdapat dalam ayat pertama. Surat yang terdiri dari lima ayat ini termasuk Makiyah. Dalam mushaf, surat ini terletak sesudah surat al-Humazah. Jika dalam surat sebelumnya (QS al-Humazah) diberitakan mengenai kepastian azab akhirat, dalam surat ini diberitakan mengenai azab Allah di dunia yang ditimpakan atas kaum yang melakukan tipudaya dan tindakan makar terhadap Allah SWT.

Tafsir Ayat

Allah SWT berfirman: Alam tara kayfa fa’ala Rabbuka bi ash-hâb al-fîl (Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap tentara gajah?). Khithâb ayat ini ditujukan kepada Rasulullah saw.1 Menurut Abu Hayyan al-Andalusi, seruan kepada Rasulullah saw. itu untuk mengingatkan nikmat-Nya atas beliau. Sebab, Allah SWT telah memalingkan musuh yang besar pada tahun kelahirannya, sekaligus mengokohkan kenabian beliau. Sebab, datangnya burung-burung yang diberitakan secara mutawatir itu termasuk peristiwa yang menyimpang dari kebiasaan dan mukjizat-mukjizat terdahulu yang ada pada para nabi.2 Meskipun secara lahir seruan itu ditujukan kepada Rasullah saw., seruan tersebut juga berlaku umum.3

Peristiwa yang diberitakan itu terjadi jauh sebelum beliau diutus sebagai nabi dan rasul, tepatnya pada tahun kelahiran beliau.4 Dengan demikian, beliau tidak melihat langsung kejadian tersebut. Oleh karena itu, ar-ru’yah di sini tidak diartikan melihat dengan mata. Al-Biqa’i dan az-Zujaj pun mengartikan kata tara di sini sebagai ta’lam (kamu mengetahui).5

Dijelaskan az-Zuhaili, kata alam tara bermakna îjâb (positif), yakni: Sungguh kamu telah melihat. Sebab, huruf hamzah istifhâm, ketika bertemu dengan lam yang merupakan harf nafiyy, maka istifhâm itu seperti nafiyy (negatif). Ketika dua nafiyy bertemu, maka berubah menjadi îjâb (positif). Tidak jauh berbeda, al-Alusi, asy-Syaukani dan al-Qinuji pun memaknai istifhâm dalam ayat ini sebagai taqrîr atas penglihatan Nabi saw sekaligus pengingkaran dari tidak melihatnya.6

Wahbah az-Zuhaili juga memaparkan, kendati tidak melihat persitiwa itu secara langsung, Rasulullah saw. bisa melihat bekas-bekasnya dan mendengar informasi tentangnya secara mutawatir sehingga seolah-olah melihatnya.7Fakhruddin ar-Razi juga menuturkan, hal ini mengisyaratkan bahwa informasi mengenai peristiwa itu diriwayatkan secara mutawatir. Oleh karenanya, ilmu yang dihasilkan secara dharûriyy itu sama kuatnya dan sama terangnya dengan ar-ru’yah (penglihatan).8 Pengaruh peristiwa itu demikian penting dan besar hingga tahun itu pun dinamai dengan ’âm al-fîl (tahun gajah).

Yang dimaksud dengan ash-hâb al-fîl adalah Abrahah bin ash-Shabah al-Asyram, Raja Yaman, beserta bala tentaranya. Mereka datang ke Makkah untuk menghancurkan Ka’bah. Tujuannya agar bangsa Arab mau mengalihkan tempat hajinya, dari ke Ka’bah ke gereja yang dia bangun di Shan’a. Dalam serangan itu, dia mengendarai gajah yang dia beri nama ’Mahmud’.

Terhadap Abrahah beserta bala tentaranya itulah Allah SWT bertindak. Sebagaimana disimpulkan as-Samarqandi, kata fa’ala Rabbuka di sini bermakna ’âqaba Rabbuka (Tuhanmu menghukum).9 Jika dikaitkan dengan ayat-ayat berikutnya, memang demikianlah faktanya.

Tindakan Allah SWT terhadap kaum tersebut diperjelas dengan ayat berikutnya. Allah SWT berfirman: Alam yaj’al kaydahum fî tadhlîl (Bukankah Dia telah menjadikan tipudaya mereka [untuk menghancurkan Ka’bah] itu sia-sia?). Huruf al-hamzah berguna li at-taqrîr sebagaimana ayat sebelumnya. Al-Jumlah istifhâmiyyah (kalimat tanya) itu di-athaf-kan dengan kalimat sesudahnya; seolah-olah dikatakan bahwa Dia telah menjadikan tipudaya mereka yang berusaha melenyapkan dan merobohkan Ka’bah, dan memalingkan penduduknya kepada mereka sia-sia dan gagal.10

Menurut ar-Razi, kata al-kayd bermakna irâdah al-madharrah al-ghayr ’alâ al-khafiyyah (menghendaki kecelakaan bagi orang lain dengan cara yang tersembunyi).11 Dalam konteks ayat ini, kaydahum bermakna makruhum wa sa’yuhum fî takhrîb Ka’bah (makar dan upaya mereka dalam merobohkan Ka’bah).12

Ditegaskan dalam ayat ini bahwa rencana jahat mereka berakhir dalam keadaan at-tadhlîl. Menurut az-Zamakhsyari dan ar-Razi, kata at-tadhlîl bermakna at-tadhyî’ wa al-ibthâl (hilang dan sia-sia).13

Al-Khazin juga memaknainya sebagai tadhyî’ wa khasâr wa ibthâl mâ arâdû adhalla kaydahum (hilang, rugi dan membatalkan apa yang mereka kehendaki; melenyapkan tipudaya mereka) yang ingin merobohkan Ka’bah. Bahkan tipudaya mereka justru mengenai mereka sendiri. Gereja mereka akhirnya roboh dan terbakar; sementara mereka pun binasa sebagaimana dijelaskan dalam ayat selanjutnya.14

Kemudian Allah SWT menjelaskan bagaimana Dia menggagalkan tipudaya mereka dengan firman-Nya: Wa arsala ’alayhim thayr[an] abâbîl (Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong). Kata arsala menunjukkan bahwa Dialah yang mengirimkan azab itu. Adapun kata ’alayhim (atas mereka) berarti azab itu khusus ditujukkan kepada para tentara gajah itu. Digambarkan bahwa burung-burung yang dikirim amat banyak. Dalam ayat ini digunakan kata abâbîl.

Ibnu Katsir menyitir beberapa penjelasan yang dikemukakan para ahli tafsir. Ibnu ’Abbas dan adh-Dhahhak memaknai abâbîl dengan yattabi’u ba’dhuhâ ba’dh (sebagian mengikuti sebagian yang lain). Menurut al-Hasan al-Bashri dan Qatadah berarti al-katsîrah (banyak). Mujahid mengartikannya syattâ mutatâbi’ah mujtami’ah (berpencaran, saling mengikuti, dan berkelompok-kelompok). Adapun menurut Ibnu Zaid, kata abâbîl berarti bermacam, sebagian datang dari sini, sebagai datang dari sana, datang dari semua arah.15 Ada juga yang memaknai kata abâbîl berarti jamâ’ât mutafarriqah (berkelompok-kelompok dan terpisah-pisah). Itu artinya, burung yang dikirim Allah SWT untuk menghancurkan mereka jumlah sangat banyak, berkelompok-kelompok, sebagian mengikuti sebagian yang lain.16.

Selanjutnya Allah SWT berfirman: tarmîhim bihijârah min sijjîl (yang melempari mereka dengan batu [berasal] dari tanah yang terbakar). Kata sijjîl berarti thîn mutahajjarat (tanah yang dibakar) yang dibuat untuk dijadikan sebagai azab.17

Ibnu ’Abbas dan Ibnu Mas’ud ra menceritakan bahwa burung-burung itu berteriak-teriak seraya melemparkan batu-batu. Lalu Allah pun mengirimkan angin yang menerpa batu-batu itu sehingga menambah keras hantamannya. Tidak ada seorang pun yang tertimpa olehnya kecuali batu itu keluar dari sisi badan di baliknya. Apabila batu mengenai kepala maka keluar dari duburnya.18

Dahsyatnya azab terhadap mereka digambarkan dalam ayat berikutnya: faja’alahum ka’ashfi[in] ma’kûl[in] (Lalu Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan [ulat]). Pengertian al-’ashf adalah waraq zar’ (daun pohon). Itulah nasib tragis kaum yang dialami oleh kaum melakukan tipu daya terhadap Allah SWT.

Makar Kaum Kafir dan Kekuasaan Allah

Peristiwa penghancuran tentara gajah yang hendak merobohkan Ka’bah merupakan peristiwa besar. Tidak aneh jika semua bangsa Arab mengetahui dan mengingat peristiwa tersebut. Peristiwa itu tentu menambah keyakinan bangsa Arab terhadap kehebatan Ka’bah, termasuk pula bangsa Quraisy yang merawat dan mengurusnya. Implikasinya, kedudukan Quraisy semakin tinggi dan dihormati oleh bangsa Arab. Tentu saja Quraisy senang dan bangga dengan keadaan tersebut. Sebab, mereka pun bisa aman melakukan perjalanan dagang di musim dingin ke Yaman dan musim panas ke Syam (lihat QS Quraisy). Bahkan tak sedikit di antara mereka menjadi takabur karenanya.

Padahal dalam peristiwa penghancuran tentara gajah itu, mereka sama sekali tidak memiliki andil. Bahkan ketika tentara Abrahah datang, mereka menyingkir ke luar kota untuk menyelamatkan diri dan harta mereka. Tidak ada satu pun di antara mereka yang menjaga dan melindungi Ka’bah dari serangan musuh. Maklum saja, yang datang adalah bala tentara yang terlatih dengan jumlah yang amat banyak. Sebagian di antara mereka mengendarai gajah, binatang paling besar di darat. Dalam perhitungan logika, jika mereka berani melawannya, mereka dengan mudah bisa dikalahkan.

Akan tetapi, semua perhitungan logika itu meleset. Makar dan tipudaya tentara gajah itu gagal total. Dalam ayat ini ditegaskan bahwa semua itu terjadi karena fa’ala Rubbuka (Tuhanmu telah bertindak). Allah sendirilah yang membinasakan tentara gajah itu. Hasilnya, keperkasaan tentara Abrahah pun lenyap tak bersisa.

Peristiwa itu seharusnya menjadi pelajaran penting bagi Quraisy dan bangsa Arab lainnya. Bahwa sesungguhnya Allah SWT berkuasa atas segala sesuatu. Dialah yang melindungi ’rumah-Nya’ tatkala ada musuh yang datang hendak menghancurkannya. Mereka menyaksikan peristiwa ini dengan mata kepala mereka sendiri. Kalau tidak melihat sendiri, mereka pun mendengarkan berita itu secara mutawatir sehingga mustahil salah. Sudah seharusnya mereka beriman dan berserah diri kepada Sang Pemilik Ka’bah itu, Allah SWT, bukan kepada patung-patung sesembahan mereka yang terbukti lemah. Jangankan melindungi mereka, bergerak pun tak kuasa.

Oleh karena itu, ketika Nabi Muhammad saw. sebagai utusan-Nya mengajak mereka untuk menyembah hanya kepada-Nya, mereka sejatinya segera menyambutnya; bukan malah menolak, mengingkari dan menghalangi dakwahnya; bahkan melakukan berbagai makar untuk mencelakakan dan membunuh utusan-Nya itu.

Surat ini juga menjadi peringatan keras bagi siapapun yang melakukan berbagai makar dan tipudaya untuk menghadang dakwah, bahwa segala upaya jahat mereka tidak akan mampu menghentikan dakwah Rasulullah saw. Sebaliknya, upaya mereka akan sia-sia dan gagal total sebagaimana dialami tentara gajah. Semestinya mereka juga sadar. Jika terhadap tentara gajah saja mereka takut menghadapinya, seharusnya mereka lebih takut berhadapan dengan Allah SWT yang telah membinasakan tentara gajah itu.

Bagi kaum Mukmin, berita dalam surat ini membuat mereka makin kokoh dalam berpegang teguh dengan dînul-Lâh dan memperjuangkannya. Betapa pun dahsyatnya kekuatan musuh, sama sekali tidak membuat hati mereka menjadi kecut, apalagi langkah mereka menjadi surut. Sebab, mereka meyakini bahwa pemilik kekuatan sesungguhnya adalah Allah SWT. Adapun semua makhluk selain-Nya adalah dhaif. Jika Allah Swt menghendaki, dalam sekejap kekuatan musuh lenyap tak bersisa seperti yang dialami tentara gajah. Bukan hanya mereka. Semua yang melakukan tipudaya dan rencana jahat terhadap Allah SWT, Rasul-Nya dan syariah-Nya, pasti mengalami nasib yang sama: gagal dan sia-sia. Allah SWT berfirman:

وَمَا كَيْدُ الْكَافِرِينَ إِلا فِي ضَلالٍ

Tipudaya orang-orang kafir itu tak lain hanyalah sia-sia (belaka) (QS al-Mukmin [40]: 25).

Allah SWT juga telah menggariskan sebuah ketetapan yang pasti terjadi, bahwa Dia dan rasul-rasul-Nya dipastikan menang:

كَتَبَ اللَّهُ لأغْلِبَنَّ أَنَا وَرُسُلِي إِنَّ اللَّهَ قَوِيٌّ عَزِيزٌ

Allah telah menetapkan, “Aku dan rasul-rasul-Ku pasti menang.” Sesungguhnya Allah Mahakuat lagi Mahaperkasa (QS al-Mujadilah [58]: 21).

Bagi kita sekarang, surat ini makin mengokohkan tekad kita untuk berjuang menegakkan syariah dan Khilafah meskipun negara-negara ’adidaya’ berusaha keras untuk menghadangnya. Sebab, tegaknya Khilafah merupakan janji-Nya dan berita gembira dari rasul-Nya. Siapa yang bisa mencegahnya ketika hendak menunaikan janji-Nya?

Wal-Lâh a’lam bi al-shawâb. []

Catatan kaki:

1 Al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta’wîl, vol. 5 (Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabiyy, tt), 339.

2 Al-Andalusi, Bahr al-Muhîth, vol. 8 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), 11.

3 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5, 666.

4 Demikian menurut sebagian besar ulama, sejarahwan dan ahli tafsir. Lihat al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl fî Ma’ânî at-Ta’wîl, vol. 7 (Beirut: Dar al-Fikr, 1979), 295; al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 8 (Riyadh: Dar Thayyibah, 1999), 540; Ibnu al-Jauzi, Zâd al-Masîr fî ’Ilm at-Tafsîr, vol. 9 (Beirut: al-Maktab al-Islami, 1983), 235.

5 Al-Biqa’i, Nazhm ad-Durar, vol. 22 (Kairo: Dar al-Kitab al-Islami, tt), 239; al-Qinuji, Fath al-Bayân, vol. 15 (Beirut: Maktabah al-‘Ashriyyah, 1992), 389.

6 Al-Alusi, h al-Ma’ânî, vol. 25 (Beirut: Dar al-Kitab. 1995), 464; asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5 (Kairo: Dar al-Wafa’, 1994), 666; al-Qinuji, Fath al-Bayân, vol. 15, 389.

7 Az-Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, vol. 30 (Beirut: Dar al-Fikr, 1998), 407. Penjelasan senada juga disampaikan oleh al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta’wîl, vol. 5, 339.

8 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 32 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2000), 92.

9 As-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 3 (Beirut: Dar al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, 1993),

10 Al-Alusi, h al-Ma’ânî, vol. 25, 468.

11 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 32, 94. Penjelasan yang sama juga disampaikan asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5, 666; al-Qinuji, Fath al-Bayân, vol. 15, 389, namun tanpa disebutkan ‘alâ al-khafiyyah.

12 Al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 8, 540; al-al-Alusi, h al-Ma’ânî, vol. 25, 468. Lihat juga dalam al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl,, vol. 7 (Beirut: Dar al-Fikr, 1979), 290; al-Qinuji, Fath al-Bayân, vol. 15, 389; al-Wahidi al-Naisaburi, Al-Wasîth fî Tafsîr al-Qur’ân al-Majîd, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994), 555.

13 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 6 (Riyadh: Maktabah Abikan, 1997), 433; ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 32, 94. Bahwa pengertian al-tadhlîl di sini juga berarti al-tadhî’ wa ibthâl, juga dikemukakan al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wîl, vol. 5, 339.

14 Al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl, vol. 7, 290.

15 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8 (Riyad: Dar Thayyibah, 1999), 487.

16 Al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl, vol. 7, 290; al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 8, 541; al-Biqa’i, Nazhm ad-Durar, vol. 22, 256.

17 Al-Biqa’i, Nazhm ad-Durar, vol. 22, 257.

18 Al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 8, 541.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*