Palestina
Sesungguhnya masalah Palestina bermula sejak pemisahannya dari Dunia Islam. Sejak itu, masalah Palestina berubah dari masalah Dunia Islam menjadi masalah dunia Arab; lalu berubah lagi menjadi masalah bagi penduduknya saja; dan kemudian berubah lagi menjadi sekadar masalah Gaza dan Tepi Barat.
Seluruh kaum Muslim mengetahui bahwa permasalahan ini berkaitan erat dengan akidah islamiyah dan tidak boleh dilepaskan darinya. Untuk menyelesaikan masalah Palestina penting untuk menolak semua rencana kaum penjajah yang berkonspirasi melawan Palestina baik itu pendirian negara Palestina sekular gabungan Yahudi, Nasrani dan kaum Muslim yang direncanakan oleh Inggris, maupun pendirian dua negara di Palestina, Yahudi dan Palestina. Kedua rencana itu merupakan pengkhianatan kepada Allah, Rasul-Nya dan kaum Mukmin. Perdamaian dengan Yahudi—yang artinya memberikan konsesi kepada Yahudi atas tanah islami—juga merupakan kejahatan dalam Islam. Penting juga untuk melakukan mobilisasi tentara kaum Muslim untuk memerangi negara Yahudi yang mencaplok Palestina, menghancurkannya dan mengembalikan Palestina secara keseluruhan ke pangkuan negeri Islam.
Irak
Irak tetap menjadi bagian dari Daulah Utsmaniyah hingga Perang Dunia I. Pada saat itu, militer Inggris berhasil menduduki Baghdad tahun 1917 M dan meletakkannya di (trusted state) Inggris tahun 1920 M. Sejak saat itu, Inggris berupaya mengokohkan pengaruhnya secara militer, politik, ekonomi dan kultural melalui pemerintahan kerajaan yang didirikan di Irak. Meskipun perlawanan penduduk Irak terhadap imperialis Inggris terus berlangsung, pengaruh Inggris tetap mendominasi dalam jangka waktu panjang, dilindungi dengan tiga pangkalan militer.
Pasca Perang Dunia II, Amerika mulai berupaya untuk mencabut pengaruh Inggris agar bisa mengendalikan Irak dan minyaknya. Seiring dengan makin besarnya pengaruh minyak terhadap industri dan perekonomian internasional, Amerika mulai menggerakkan serangkaian kudeta di Irak dan menghancurkan pengaruh Inggris. Pertarungan Inggris-Amerika pun makin bertambah sengit selama dua dekade 50-an dan 60-an. Amerika berhasil menjungkalkan pemerintahan kerajaan dan mendirikan republik Irak melalui kudeta militer di bawah pimpinan Abdul Karim Qasim dan Abdussalam Arif tahun 1958 M.
Tujuan Amerika menginvasi Irak adalah:
1. Kontrol atas minyak. Irak menyimpan cadangan minyak amat besar; mencapai 115 miliar barel (sekitar 11 % cadangan minyak dunia; empat kali lipat cadangan yang dimiliki Amerika). Belum lagi cadangan yang belum terungkap yang bisa mencapai 350 miliar barel dengan kualitas tinggi, mudah dieksploitasi dan berbiaya amat murah.
2. Menghancurkan kekuatan Irak. Amerika khawatir akan digunakan demi kepentingan Islam dan kaum Muslim, apalagi terdapat aktivitas serius di sana untuk mengubah rezim yang ada dan menegakkan Khilafah di sana.
Invasi Amerika ke Irak harus dilawan dengan menyerukan mobilisasi tentara melawan para penyerang itu dan memperlakukan mereka sebagai negara muharib[an] fi’l[an] seperti negara Yahudi. Rencana-rencana Amerika dan sekutunya di Irak berupa kesepakatan keamanan yang ditandatangani oleh pemerintah Irak dengan Amerika tahun 2008 M juga harus dilawan. Pembagian Irak menjadi beberapa golongan, etnis dan mazhab-mazhab yang ada juga mesti dicegah. Untuk itu, mutlak harus ada Daulah Khilafah Islamiyah dan menjadikan Irak bagian darinya.
Sudan Selatan
Selatan Sudan adalah tanah yang penuh dengan kekayaan, di antaranya minyak yang jadi rebutan perusahaan-perusahaan minyak besar. Tanahnya sangat subur. Luas wilayah selatan Sudan mendekati 700.000 kilometer persegi. Jumlah penduduknya tidak lebih dari delapan juta jiwa; 18%-nya adalah Muslim, 17%-nya Nasrani dan mayoritas sisanya penganut paganisme.
Tahun 1922 Inggris mulai menyiapkan pemisahan selatan Sudan dari utara. Inggris mengeluarkan undang-undang yang membuat daerah selatan sebagai kawasan tertutup. Inggris juga membentuk tentara lokal dari anak-anak selatan dengan pimpinan perwira Inggris. Inggris juga berupaya memecah Sudan menjadi dua institusi terpisah, Arab Muslim di utara dan Nasrani-Paganis di selatan. Hal itu bertahan hingga kepergian militer Inggris pada tahun 1956.
Sudan menyaksikan pertarungan internasional yang sengit, antara Inggris dan Amerika. Pengaruh Amerika di Sudan menguat tahun 1969 dengan kudeta Ja’far an-Numairi. Sejak saat itu, Amerika menancapkan cengkeramannya terhadap militer dan berupaya melemahkan kekuatan politik tradisional yang loyal kepada Inggris. Amerika mendukung gerakan separatis di selatan di bawah pimpinan Jhon Garang. Amerika juga mendukung kudeta Omar al-Bashir tahun 1989 M. Berbagai perjanjian ditangatangani untuk mengokohkan separatisme di Sudan seperti Protokol Machakos tahun 2002 dan Kesepakatan Nivasha 2005.
Pemisahkan selatan Sudan—yang tidak lain merupakan konspirasi salibis yang jelas ditetaskan oleh Amerika melawan kaum Muslim di Sudan dengan dibantu oleh rezim pemerintah di Sudan dan kelas politik yang mendukung kesepakatan Nivasha—secara syar’i adalah batil. Selatan Sudan harus dijaga agar tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari bumi Islam. Institusi yang akan kuat menjaganya kelak adalah Khilafah Islam.
Kashmir
Islam masuk ke Kashmir di bawah pimpinan Muhammad ibn al-Qasim semasa Khilafah Abbasiah, dan berkuasa di sana hingga pertengahan abad ke-19. Inggris menginvasi anak benua India tahun 1819 dan mendapatkan perlawanan yang luar biasa dari kaum Muslim. Tahun 1846, Inggris menguasai India secara militer dengan bantuan pemeluk Hindu, Sikh, dan Budha. Inggris lalu menyewakan Kashmir ke kekuasaan feodal Hindu selama 100 tahun di bawah Perjanjian Amritsar. Setelah anak benua dipecah tahun 1947, para penguasa feodal Hindu menyerahkan Kashmir ke India yang memicu serangkaian peperangan. Akibatnya, dua pertiga Kashmir jatuh ke India, dan sepertiganya dikuasai Pakistan. Sejak dijajah Hindu, umat Muslim dibantai, dipenjara, diperkosa dan rumah ibadahnya dihancurkan. Penguasa Pakistan tidak banyak bicara dan membiarkan begitu saja nasib Muslim di Kashmir. India juga belajar dari pengalaman Zionis. Israel yang dibentuk Inggris. Benjamin Chan berkata, “India dan Israel menghadapi musuh yang sama, yaitu fundamentalisme Islam. Kita belajar bagaimana menyikapi Arab dan Muslim dan kita memberi India keahlian kita di lapangan.”
Tahun 1999, para mujahidin hampir menguasai Lembah Kargil dengan bantuan pasukan Pakistan. Namun, pasukan Pakistan mengkhianati para mujahidin, karena tekanan Amerika terhadap pemerintah Pakistan. Pemerintah Pakistan pun memilih jalan negosiasi yang tidak berguna sama sekali.
Amerika sendiri memiliki sejarah panjang dalam kegagalannya menembus India yang dikontrol oleh Inggris dan Partai Konggres yang pro-Inggris. Jatuhnya Uni Soviet memberikan kesempatan bagi Amerika dan Pakistan untuk memberikan peran regional bagi India. Dengan demikian, pengaruh Cina di wilayah itu pun terhambat. Rencana Amerika untuk menyelesaikan Kashmir akan menghilangkan pengaruh Cina untuk mengontrol dua negara nuklir, Pakistan dan India.
Untuk menyelesaikan masalah Kashmir, penting menetapkan hukum jihad untuk membebaskan Kashmir dari pendudukan India dan mengembalikan keamanannya di tangan Muslim, tanpa lagi memperhatikan resolusi PBB, intervensi internasional, ataupun negosiasi yang tidak berguna. Pakistan sendiri mampu untuk bertempur menghadapi India dengan nuklirnya dan angkatan bersenjatanya yang menduduki peringkat ke tujuh di dunia, dan populasi pemudanya yang ingin berjuang demi Islam. Hal ini akan memudahkan untuk merekrut jutaan sukarelawan untuk berperang di jalan Allah membela wanita dan anak-anak. Kita bisa menambahkan kekuatan Muslim Bangladesh, Kashmir, dan juga dari India, yang akan membuat India kacau-balau.
Solusi ini tidak akan mungkin dicapai kecuali dengan mencabut rezim Pakistan. Rezim Pakistan telah membuktikan dirinya sebagai antek Amerika, melupakan isu Kashmir, meninggalkan warganya, menganggap mujahidin sebagai teroris, mengejar dan mengadilinya sebagaimana diinginkan oleh Amerika. Maka dari itu, penting untuk mengganti rezim ini dengan Khilafah yang berdedikasi untuk Allah dan umat Islam untuk melawan India.
Indonesia
1. Problem Separatisme.
Sebagai negeri Muslim terbesar, maka problem yang menonjol di Indonesia adalah adanya gerakan separatisme yang akan melemahkan kekuatan Indonesia. Ada dua kasus separatisme utama di Indonesia (tentu setelah lepasnya Timor Timur atas dukungan Barat dan kaum salibis), yaitu Aceh dan Papua.
Gerakan separatisme di Aceh terjadi karena Aceh yang tergabung dengan Indonesia menolak penerapan hukum sekular pada tahun 1945. Rezim Sukarno menindas Aceh sejak tahun 1953. Hal ini memberikan kontribusi atas berkembangnya Gerakan Aceh Merdeka pada tahun 1976 yang menuntut pemisahan dari Indonesia. Kerusuhan dan perlawanan yang terjadi mengakibatkan Aceh diberikan otonomi yang luas pada tahun 2000.
Masalah Aceh memang belum mencapai perhatian internasional atau dukungan untuk pemisahan wilayah itu. Sebaliknya, Amerika Serikat menganggap hal itu “sebuah masalah dalam negeri” Indonesia. Hal ini disebabkan karena salah satu alasan utama, yaitu bahwa masyarakat Aceh adalah kaum Muslim yang taat dan bahwa kaum separatis meminta pelaksanaan syariah.
Masalah lainnya adalah Papua. Papua terletak di pantai Selatan timur Indonesia. Tambang emas dan tembaga terbesar di dunia berlokasi di sini, yang 80% dimiliki oleh perusahaan Amerika (Freeport McCarron). Freeport melakukan ekstraksi emas sejak tahun 1967. Meskipun Indonesia memberikan otonomi luas pada provinsi ini pada tahun 2002, gerakan separatis Kristen itu menolak dan menuntut diadakannya referendum untuk pemisahan secara total di bawah pengawasan PBB yang mirip dengan yang terjadi di Timor Timur.
Banyak indikator yang menunjukkan adanya dukungan Australia dalam membantu para pemberontak di Papua baik secara langsung atau melalui New Guinea, yang juga menyediakan tempat yang aman kepada para pemberontak separatis, di samping dukungan finansial dan militer.
Amerika mulai mengungkapkan keprihatinan besarnya atas konflik di provinsi Papua ketika tahun 2005 Kongres AS memutuskan untuk menerapkan klausul berdasarkan mana Papua telah menjadi bagian dari Indonesia. Pada bulan Juni 2007, Utusan Khusus HAM Sekjen PBB, Hina Jilani, mengunjungi Propinsi Aceh dan Papua dan membahas ‘pelanggaran HAM di dua provinsi. Pada bulan Juli 2007 Ketua Subkomite Parlemen (Kongres AS) di Asia, Pasifik dan Global, Eni Faleomavaega, mengatakan, “Jika pemerintah Indonesia tidak mampu menangani dengan baik isu Papua, kami akan memberikan kemerdekaannya.” Hal ini menunjukkan niat Amerika dan Australia untuk campur tangan dalam konflik Indonesia di provinsi ini, sama seperti yang dilakukan sebelumnya di propinsi Aceh dan Timor Timur.
2. Solusi atas Separatisme.
Separatisme di Indonesia, baik terkait Timor Timur, Aceh maupun Papua adalah karena intrik dan konspirasi internasional dengan partisipasi banyak kekuatan kafir. Ini harus dilawan dengan menekankan kesatuan wilayah negeri Islam yang tidak boleh terpisahkan satu sama lain. Timor Timur harus dikembalikan ke ke Indonesia. Kita juga tidak boleh memberikan jalan kepada provinsi lain seperti Aceh dan Papua untuk melakukan hal yang sama.
Islam melarang pembagian serta pemisahan Islam dan tanah mereka. Dengan demikian, gerakan separatis benar-benar dilarang alias haram.
Solusi sebenarnya adalah bekerja dengan seluruh kaum Muslim dalam rangka mengubah sistem sekular dengan mendirikan Khilafah al-Rasyidah. Khilafah akan menerapkan hukum syariah tentang perlindungan atas kesatuan kaum Muslim dan bekerja dengan tekun untuk menerapkan Islam di seluruh Indonesia.
Wallahu alam. []
[Budi Mulyana, disarikan dari makalah konferensi Internasional Media di Beirut, 18/07/10]