Khilafah memang menakutkan musuh-musuh Islam. Bahkan baru sekadar konferensi tentang kewajiban menegakkan kembali Khilafah, telah membuat mereka gentar. Melalui media massa, mereka mengembangkan opini negatif untuk menjauhkan publik dari pemahaman yang benar tentang Khilafah dan pengusungnya.
Media pun digunakan untuk menghalang-halangi dan bahkan menggagalkan konferensi tersebut. Hal itu sering terjadi dan terakhir terjadi pula pada serangkaian konferensi di bulan Rajab dan Sya’ban 1431 H yang dilaksanakan Hizbut Tahrir di berbagai Negara, termasuk di Amerika dan Libanon.
Di Amerika Hizbut Tahrir gagal menggelar konferensi setelah opini dan desakan yang kuat dari Islamophobia yang menguasai media massa. Alasannya, seperti yang diungkap para pengkritik yang diangkat Situs Chichago Tribune, konferensi itu digelar untuk menghidupkan kembali sistem pemerintahan pasca wafatnya Nabi Muhammad, yakni sistem Khilafah. Hizbut Tahrir Amerika dinilai berupaya mendorong Muslim Amerika agar menentang pemerintah AS.
Jeffrey Imm, pendiri salah satu lembaga swadaya masyarakat di Washington mengatakan, meskipun Hizbut Tahrir secara eksplisit mengutuk kekerasan, ideologi mereka menunjukkan sebaliknya. Buktinya, pada konferensi yang dilaksanakan pada 2009 lalu, Hizbut Tahrir mengecam demokrasi dan menyetujui hukuman mati bagi orang-orang yang meninggalkan Islam (murtad).
Maka dari itu, ketika rencana HT Amerika mengadakan konferensi Khilafah kedua tersebar, tekanan muncul. Pihak hotel jadi sasaran. Akhirnya, manajemen hotel tak bisa berkutik dan membatalkan acara HT Amerika secara sepihak.
Mendukung Perjuangan
Upaya serupa tampak pula pada saat akan berlangsungnya Konferensi Internasional Media yang diselenggarakan pada Ahad (18/7) di Libanon. Salah satu bentuknya adalah dengan memberitakan bahwa konferensi yang diselenggarakan HT ilegal. Dengan sigap Ketua Media Informasi HT Libanon Ahmad Al-Qashshash menyanggahnya. Al-Qashshash menjelaskan, para wartawan yang direkrut oleh beberapa kedutaan besar, termasuk kedutaan besar Amerika itu sengaja melakukan provokasi kebencian terhadap Hizbut Tahrir. Menurut dia, pemberitaan ilegal adalah kebohongan. Sebab, berdasarkan hukum yang berlaku di Libanon, semua organisasi dan partai yang beraktivitas secara terbuka tidak memerlukan izin dengan syarat telah menyampaikan pemberitahuan kepada Otoritas.
Hizbut Tahrir sebagai organisasi legal di Libanon telah memberitahu dan ini berarti telah memperoleh status hukum. Delegasi Hizbut Tahrir telah mendatangi Gubernur Beirut dan menyerahkan kartu undangan untuk konferensi. Gubernur menyambut delegasi Hizbut Tahrir dengan sangat hormat. Apalagi Hizbut Tahrir telah memperoleh ijin dari pihak Keamanan Publik untuk memasang spanduk pemberitahuan tentang konferensi di jalan-jalan umum.
Akhirnya, konferensi yang mengangkat tema, “Sikap Hizbut Tahrir terhadap Isu-Isu Penting Internasional dan Regional,” itu pun dapat terlaksana dengan baik. Osman Bakhach dari kantor media Hizbut Tahrir Libanon menjelaskan ratusan delegasi dari seluruh dunia menghadiri konferensi global Hizbut Tahrir di Beirut. “Konferensi ini dilakukan untuk mengembalikan Khilafah Islam sebagai solusi mengatasi berbagai masalah aktual dunia sekarang,” jelasnya.
Pembicara menyoroti berbagai isu penjajahan di Dunia Islam seperti Palestina, Irak, Afganistan dan Kashmir serta bagaimana membebaskan mereka. Pembicara membahas upaya membagi Sudan, solusi Islam terhadap krisis ekonomi global, situasi umat Islam di Barat, separatisme di Indonesia, dan krisis nuklir internasional, termasuk masalah Iran.
Konferensi ini mengangkat pandangan rinci Hizbut Tahrir terkait upaya seharusnya dilakukan penguasa negeri Islam terkait masalah tersebut. Namun, penguasa negeri Islam saat ini jelas tidak mungkin dapat menerapkannya lantaran mereka sebenarnya bagian dari masalah itu sendiri; kecuali mereka mau meninggalkan aturan main yang telah dibuat oleh penjajah kemudian beralih ke syariah Islam secara totalitas dengan menegakkan Khilafah Islam.
Para delegasi dari mancanegara seperti Irak, Palestina, Jepang, Sudan, Yordania, Dagestan, Pakistan, Bangladesh, Rusia dan Turki hadir dalam konferensi tersebut. Bukan sekadar hadir, tetapi mereka siap mendukung perjuangan Hizbut Tahrir.
Para delegasi berjanji untuk mendukung perjuangan Hizbut Tahrir untuk kembali menegakkan Khilafah Islam. Sebab, mereka menyadari hanya Khilafah Islamlah thariqah yang sahih untuk membebaskan Dunia Islam dari dominasi fisik, ekonomi dan politik dari Barat. “Khilafah juga sebagai alat untuk membawa ke era baru peradaban besar Islam untuk menjadi mercusuar keadilan dan stabilitas di dunia!” tegas Osman.
Minim Publikasi
Namun sayang, konferensi internasional yang mengangkat solusi atas berbagai masalah yang dihadapi dunia tersebut minim publikasi.
Terkait dengan itu, aktivis senior Hizbut Tahrir Tun Kelana Jaya menyatakan, tidak dieksposnya konferensi tersebut karena tidak menguntungan media tersebut secara politik. Sebab, dalam pandangan media, tiap peristiwa dapat dikategorikan sebagai peristiwa yang mengandung nilai berita atau tidak itu pada umumnya tergantung dari sisi kepentingan media tersebut, baik secara komersial maupun politik.
Kepentingan komersial akan berpihak pada keuntungan secara finansial dan kepentingan politik akan berpihak pada keuntungan politik. Di luar dari dua kepentingan tersebut maka suatu peristiwa tidak akan dimuat dalam pemberitaan suatu media.
Di sisi lain, konferensi Libanon yang mengangkat isu-isu politik dan ekonomi di berbagai belahan dunia yang jika dimuat di dalam pemberitaan media akan dapat mempengaruhi masyarakat dunia. Ini tidak akan menguntungkan secara politik bagi pemerintah manapun yang tidak menghendaki adanya perubahan sistem kehidupan yang diterapkannya.
Memang, ada pula media yang mengangkatnya, namun dalam pemberitaan yang miring. Terkait hal ini Tun Kelana pun menegaskan itu karena mayoritas para memilik media adalah dari kalangan non-Muslim yang sangat tidak setuju dengan solusi Islam dalam menyelesaikan masalah kehidupan dan dari kalangan Muslim yang pemikirannya sudah terkontaminasi dengan pemahaman sekular.
Mereka hanya ingin medianya mengangkat Islam dari sisi moralnya saja. Lebih parah dari itu mereka bahkan menjadi cenderung islamophobia. Paradigma itu terbentuk di kalangan media yang merupakan hasil propaganda para penguasa dunia yang memusuhi Islam dan tidak menhendaki Islam dijadikan sebagai pedoman dalam sistem kehidupan.
Begitu juga dengan para politisi. Pada umumnya para politisi selalu update mengenai acara-acara besar seperti konferensi tersebut. Hanya saja, mereka tidak melihat keuntungan secara pribadi untuk menanggapi konferensi tersebut jadi mereka diam.
Konferensi pada intinya mengajak kaum muslim untuk sadar bahwa yang menyebabkan mereka tertindas dan menderita selama ini adalah karena kezaliman para penguasa mereka. Oleh karenanya, konferensi mengajak kaum Muslim diseluruh dunia untuk bangkit dan berjuang menegakkan Khilafah sebagai solusi atas persoalan yang di hadapi umat selama ini.
Mengokohkan Perjuangan
Di Indonesia konferensi Rajab 1431 H dilakukan di Jakarta dan di berbagai kota besar lainnya. Di masing-masing tempat dihadiri pula oleh ribuan peserta termasuk ulama, politisi maupun akademisi. Di Jakarta, misalnya, pada Ahad (25/7) sekitar 1500 peserta dari Jabodetabek dan sekitarnya dari pagi hingga sore memadati Gedung Balai Pustaka untuk mengikuti Konferensi Rajab 1431 H yang bertajuk, “Hizbut Tahrir Menjawab: Solusi Islam untuk Krisis Indonesia dan Internasional”.
Poin penting dalam konferensi tersebut di antaranya disebutkan, bahwa sistem ekonomi yang berlaku secara global sekarang akan senantiasa melahirkan ketidakadilan. Sistem tersebut bertumpu pada sektor non-riil dan riba. Pasar uang dan bursa berjangka menjadi penyangga utama. Padahal itu adalah perjudian.
Adapun krisis politik di Indonesia berawal dari penerapan demokrasi. Secara faktual, demokrasi tak pernah bisa diterapkan. Kedaulatan di tangan rakyat tak pernah ada. Kedaulatan diambil-alih oleh penguasa dan pengusaha. Tak aneh bila demokrasi menjadi alat atau pintu untuk berlangsungnya neo-imperialisme.
Di negeri-negeri Muslim khususnya, demokrasi melahirkan keterpurukan di berbagai bidang: ekonomi, pendidikan, sosial, hukum/peradilan dan lainnya. Terhadap Dunia Islam, AS dan Eropa bahkan melakukan tindakan biadab: membantai ratusan ribu kaum Muslim di Irak dan Afganistan atas nama demokratisasi!
Karena itu, sistem ekonomi dan politik yang rusak itu tidak bisa dipertahankan. Sebagai solusinya, Islam punya jawaban. HT telah memiliki rincian konsep bagaimana mengatasi krisis tersebut di antaranya dengan pengaturan terhadap kepemilikan sumber kekayaan, dan penerapan sistem keuangan dan moneter Islam; mengubah sistem mata uang kertas saat ini menjadi mata uang berbasis emas dan perak; menghapuskan sistem riba dan pasar bebas.
Oleh karena itu, sistem politik Indonesia harus diubah jika negeri ini ingin lebih baik sehingga memiliki empat karakter. Pertama, kedaulatan ada di tangan hukum syariah (as-siyadah li asy-syar’i). Artinya, penentu halal-haram, baik-buruk, terpuji tercela adalah syariah Islam, bukan pikiran rakyat atau wakilnya. Kedua, kekuasaan berada di tangan umat (as-sulthan li al-ummah). Umatlah yang memilih kepala negara dan wakil rakyat. Ketiga, kepala negara yang berhak menetapkan adopsi hukum dengan berijtihad atau memilih di antara hasil ijtihad yang ada. Keempat, umat Islam bersatu menjadi satu tubuh.
Lalu untuk perpolitikan global, dalam konferensi tersebut HT Indonesia menyatakan hanya Khilafahlah yang menjadi solusi bagi umat Islam yang terpecah-belah seperti sekarang. Tanpa Khilafah, umat Islam akan terus menderita dan dalam cengkeraman penjajah. Khilafah akan meletakkan hubungan antar negara berdasarkan syariah Islam dan menyatukan kembali Dunia Islam yang terpecah dan terpisah.
Namun, acara tersebut hanya diliput oleh beberapa media cetak dan situs, tidak satu pun wartawan televisi datang. Padahal menurut pengakuan Rikza Syaifullah, panitia konferensi, semua media nasional diundang termasuk televisi.
Mungkin media massa menganggap tidak bernilai berita, tetapi pengungkapan fakta dan solusi secara komprehensif dalam konferensi tersebut memberikan wawasan baru kepada para hadirin. Bahkan Abah Hideung, Pimpinan Ponpes An-Nidhamiyah, Cicurug, Sukabumi, Jawa Barat menginginkan konferensi semacam ini dilaksanakan setahun tiga kali. Alasannya, orang-orang dari kampung seperti dirinya merasakan informasi yang seperti ini susah didapat. Padahal warga membutuhkan pembahasan seperti itu sehingga tahu kesalahan ekonomi dan politik kapitalis dalam filosofi dan praktiknya di lapangan. “Saya sangat setuju bahwa sistem yang cacat sejak lahirnya itu diganti dengan syariah dan Khilafah,” tegasnya.
Peserta lainnya, Sutarman Muchtar, menyatakan acara ini baik sekali untuk semua umat Islam, khususnya di Indonesia. “Kita setuju sekali dengan penegakan syariah dalam bingkai Khilafah,” ujar wakil ketua Persatuan Islam (Persis) Jakarta Barat itu.
Bahkan Yosmardin, pengamat pemerintahan, menyatakan bahwa konferensi ini mengukuhkan Hizbut Tahrir konsisten dengan tema Khilafah itu sebagai solusi umat. “Saya 100 persen setuju dengan solusi itu!” tegasnya. [Joko Prasetyo]
Assalamualaikum wr wb.
Seluruh gagasan Hizbut tahir tepat adanya,tidak ada pilihan lain bagi umat selain samina wa ato’na.Kiranya ikatan pemersatu umat untuk mencapai kemenangan Islam melalui stategi dakwah dan pola rekrutmen seperti dicontohkan Muhamad Saw,adalah metode yang masih relevan diterapkan Hizbut tahir..apa ada yang bisa menginformasikan bagaimana kami bergabung dengan hizbut tarhir ??wassalam