HTI

Telaah Kitab (Al Waie)

Tanggung Jawab Setiap Muslim Sama

Pengantar

Islam adalah agama sekaligus ideologi yang sahih, yang sesuai dengan akal dan fitrah manusia. Sebab, Islam datang dari Tuhan Yang Mahatahu lagi Mahabijaksana; Tuhan yang menciptakan langit dan bumi beserta seluruh isinya. Karenanya, Islam merupakan ideologi yang tak terkalahkan dan tak tertandingi oleh ideologi manapun, apalagi oleh ideologi buatan manusia.

Rasulullah saw. bersabda:

الإِسْلامُ يَعْلُو وَلاَ يُعْلَى عَلَيْهِ

Islam itu tinggi dan tidak ada yang melebihi ketinggian Islam (HR ad-Daruquthni dari Abid bin Amr dan dikutib oleh as-Suyuthi dalam Ad-Durar al-Mansyûrah, hlm. 128).

Namun, meskipun Islam datang dengan kualitas konsep yang unggul dalam segalanya, ia tetap memelrlukan pemeliharaan atas kemurnian dan keasliannya, serta pengawasan atas penerapannya. Sebab, jika tidak, maka konsep (syariah) Islam ini akan hilang sedikit demi sedikit.

Rasulullah saw. bersabda:

لَتُنْقَضَنَّ عُرَى الإِسْلام عُروَةً عُروَةً، فكُلَّما انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ، تَشبَّثَ النَّاسُ بالتي تَلِيها، فَأوَّلُهُنَّ نَقْضاً: الحُكْمُ، وآخِرُهُنَّ: الصَّلاةُ

Sungguh ikatan Islam akan terlepas seikat demi seikat. Setiap satu ikatan lepas, manusia akan bergantung pada ikatan berikutnya. Ikatan Islam yang pertama lepas adalah (sistem) pemerintahan. Yang terakhir adalah shalat (HR Ibnu Hibban dari Abu Umamah).

Lalu siapa yang memiliki tanggung jawab atas semua itu? Telaah kitab kali ini akan membahas Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam Pasal 10 yang berbunyi: “Seluruh kaum Muslim memikul tanggung jawab yang sama terhadap Islam. Tidak ada istilah ruhaniawan (rijâluddîn) dalam Islam, dan negara mencegah segala tindakan yang dapat mengarah pada munculnya mereka di kalangan kaum Muslim.” (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 43).

Tanggung Jawab Seluruh Kaum Muslim

Berdasarkan Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam Pasal 10 di atas, yang bertanggung jawab terhadap kemurnian dan keberlangsungan Islam sebagai ideologi yang menjadi asas bagi kehidupan manusia adalah seluruh kaum Muslim.

Dalam menjalankan tanggung jawab ini, menjadi mujtahid bukanlah syarat sehingga siapapun bisa melakukannya. Sebab, dalam menjalankan dan mendakwahkan syariah Islam seseorang dapat berijtihad sendiri atau taklid kepada seorang mujtahid. Ketika seseorang belajar tentang hukum (syariah Islam), maka ia bisa belajar kepada mujtahid ataupun selain mujtahid (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 43).

Apalagi perintah untuk melakukan amar makruf nahi mungkar bersifat umum kepada seluruh kaum Muslim. Begitu juga dengan seruan untuk menjaga dan memelihara shalat, sebagai tiang agama (‘imâduddîn), yang menjadi indikasi tegak tidaknya agama (syariah) Islam yang lain dalam kehidupan.

Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu menulis surat kepada para amilnya: “Sesungguhnya masalah kalian yang paling penting di sisiku adalah shalat. Siapa saja yang menjaganya atau saling menjaga pelaksanaannya, maka ia telah menjaga agamanya. Sebaliknya, siapa saja yang menyia-nyiakannya, ia akan lebih menyia-nyiakan syariah Islam yang lainnya.” (Ibnu Taimiyah, Majmû’ Fatâwa Ibnu Tamiyah, 28/260).

Dengan demikian, seluruh kaum Muslim memiliki tanggung jawab yang sama terhadap Islam, yang berupa kewajiban berdakwah dan melakukan amar makruf nahi mungkar. Menjalankan kewajiban ini akan menjamin penerapan Islam dan menjaga keberlangsungan Islam dalam kehidupan manusia, masyarakat dan negara. Meski demikian, dalam hal tanggung jawab ini berbeda kadar dan kualitasnya antara negara, ulama dan manusia pada umumnya, termasuk dalam menghadapi kemungkinan munculnya istilah rohaniwan (rijâluddîn) di tengah-tengah kaum Muslim.

Tidak Ada Istilah Rohaniwan (Rijâluddîn) dalam Islam

Islam datang untuk membebaskan manusia dari perbudakan, yakni min ibâdat al-ibâd ila ibâdat Rabbil ibâd, dari penyembah terhadap manusia menuju penyembahan terhadap Tuhan yang menciptakan manusia, yaitu Allah SWT. Karenanya, Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata dengan sebuah perkataan yang begitu terkenal terkait kisah warga Mesir dengan putra Amr bin Ash:

مُذْ كَمْ تَعَبَّدْتُمُ النَّاسَ وَقَدْ وَلَدَتْهُمْ أُمَّهَاتُهُمْ أَحْرَارَاً

Sejak kapan Anda memperbudak manusia, padahal ibu mereka sungguh telah melahirkannya dalam keadaan merdeka? (As-Suyuthi, Jâmi’ al-Masânîd wa al-Marâsîl, XIII/341).

Dalam Islam tidak ada istilah rohaniwan (rijâluddîn) yang memiliki otoritas untuk menghalalkan dan mengharamkan sesuatu seperti yang ada dalam konsep agama Nasrani. Karena itu, kaum Muslim haram mengadopsi dan menggunakan istilah ini.

Ada dua alasan mengapa kaum Muslim haram mengadopsi istilah rohaniwan (rijâluddîn) ini. Pertama: istilah ini tidak dikenal dalam Islam.

Kedua: Islam dengan tegas mengharamkan kaum Muslim mengikuti tradisi Yahudi dan Nasrani, apalagi mengikuti tradisi atau konsep yang menyebabkan kaum Muslim menjadi kufur. Rasulullah saw bersabda:

لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ. شِبْراً بِشِبْرٍ، وَذِرَاعاً بِذِرَاعٍ. حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِي جُحْرِ ضَبَ لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ، قُلْنَا: يَا رَسُولَ اللهِ آلْيَهُودُ وَالنَّصَارَى؟ قَالَ فَمَنْ

“Sungguh kalian akan mengikuti sunnah (prilaku, cara dan syariat) orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, dan sehasta demi sehasta. Bahkan sekalipun mereka masuk ke dalam lubang biawak, kalian benar-benar akan mengikutinya.” Kami bertanya, “Apakah mereka itu Yahudi dan Nasrani, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Siapa lagi?” (HR Bukhari Muslim).

Oleh karena itu, kaum Muslim tidak boleh menyebut ulama di antara mereka dengan sebutan rohaniwan (rijâluddîn), atau mereka menyebut diri mereka sendiri dengan sebutan itu sebagaimana konsep rohaniwan (rijâluddîn) dalam agama Nasrani. Jika hal ini terjadi maka harus dilarang, sementara pelakuknya harus dijatuhi sanksi karena ia telah melakukan sesuatu yang diharamkan (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 44).

Ulama Menolak Sebagai Rohaniwan (Rijâluddîn)

Mengingat dalam diri manusia itu ada gharîzah tadayyun (naluri beragama) yang di antara indikasinya adalah mengkultuskan apa yang dianggapnya memiliki kelebihan di atas dirinya, termasuk mengkultuskan ulama, maka ulama sebagai pewaris para nabi yang bertugas meneruskan dakwah Islam dan menyelamatkan manusia dari kemusyrikan harus menolak dirinya diposisikan sebagai rohaniwan (rijâluddîn) yang memiliki otoritas untuk menghalalkan dan mengharamkan sesuatu seperti yang ada dalam konsep agama Nasrani.

Umar bin Abdul Aziz dalam khuthbahnya berkata:

Wahai manusia. Sesungguhnya Allah tidak mengutus seorang nabi lagi setelah nabi kalian, dan tidak menurunkan al-kitab lagi setelah al-kitab yang diturunkan kepada (Muhammad) ini. Apa yang dihalalkan Allah melalui lisan Nabi-Nya, maka ia tetap halal hingga Hari Kiamat. Apa yang diharamkan Allah melalui lisan Nabi-Nya, ia tetap haram hingga Hari Kiamat. Ketahuilah bahwa saya bukan pembuat keputusan, melainkan pelaksana; saya bukanlah pembuat bid’ah, melainkan pengikut (syariah); dan saya bukanlah yang terbaik di antara kalian, namun saya memikul tanggung jawab lebih berat dari kalian. Ketahuilah tidak ada seorang pun di antara makhluk Allah yang berhak ditaati dalam hal maksiat kepada Allah. Ketahuilah dan jadilah saksi, bahwa saya telah menyampaikan hal ini.” (Ad-Darimi, Sunan ad-Darimi, 1/115).

Imam Malik rahimahullah juga berkata:

إنَّمَا أَنَا بَشَرٌ أُخْطِئُ وَأُصِيبُ، فَانْظُرُوا فِي رَأْيِي فَمَا وَافَقَ الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ فَخُذُوا بِهِ، وَمَا لَمْ يُوَافِقْ الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ مِنْ ذَلِكَ فَاتْرُكُوهُ

Saya hanyalah seorang manusia, bisa salah dan bisa benar. Oleh karena itu, lihatlah pendapat saya. Lalu pendapat yang sesuai al-Quran dan as-Sunnah, ambillah. Sebaliknya, pendapat yang tidak sesuai al-Quran dan as-Sunnah, tinggalkanlah (Al-Khurasyi al-Maliki, Manhul Jalil Syarah Mukhtashar Jalil, 1/503).

Imam Syafi’i rahimahullah pun berkata:

إِذَا صَحَّ الْحَدِيْثُ فَهُوَ مَذْهَبِي وَاتْرُكُوْا قَوْلِي المُخَالِفَ لَهُ

Apabila hadis telah sah (dari Rasulullah saw.), maka itu adalah mazhabku. Selanjutnya tinggalkan pendapatku yang bertentangan dengannya (An-Nawawi asy-Syafi’i, Al-Majmû’ Syarah al-Muhadzdzab, 6/245).

Perlu Pengawasan dan Penjagaan Negara

Meski seluruh kaum Muslim memiliki tanggung jawab yang sama terhadap kemurnian dan keberlangsungan syariah Islam, pengawasan dan penjagaan oleh negara sangat diperlukan, bahkan menjadi keharusan. Sebab, tidak semua syariah Islam bisa dilakukan oleh setiap kaum Muslim sebagai individu. Misalnya tentang uqûbat (sanksi) bagi pelangggar syariah, ini tidak bisa dilakukan oleh individu melainkan oleh negara sebagai kiyân tanfîdzi (istitusi eksekutif), termasuk menjatuhkan sanksi bagi siapa saja yang menjadikan orang tertentu sebagai rohaniwan (rijâluddîn) yang memiliki otoritas untuk menghalalkan dan mengharamkan sesuatu, atau seseorang yang memposisikan dirinya sebagai rohaniwan (rijâluddîn).

Dengan adanya pengawasan dan penjagaan syariah Islam yang tegas oleh negara, sulit terbayangkan akan kemungkinan munculnya orang atau kelompok tertentu yang menjadikan seseorang sebagai rohaniwan (rijâluddîn), atau mengklaim dirinya sebagai rohaniwan (rijâluddîn), bahkan mengaku sebagai nabi, seperti fitnah kelompok sesat Ahmadiyah, apalagi hingga menjadi sebuah kelompok besar yang terorganisir seperti sekarang ini. Sebab, dalam menghadapi hal seperti ini, negara sebagai kiyân tanfîdzi (istitusi eksekutif) akan segera bertidak melakukan pencegahan ketika ditemukan indikasi yang mengarah pada sesuatu yang melanggar syariah Islam, dan segera menjatuhkan sanksi kepada setiap pelaku yang terlibat di dalamnya, karena mereka telah melakukan sesuatu yang diharamkan di dalam Islam (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 44). WalLâhu a’lam bish-shawâb. []

Daftar Bacaan

Ad-Darimi, Abdullah bin Abdur Rahman al-Fadhal bin Bahram at-Tamimi as-Samarqandi, Sunan Ad-Darimi (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah), 1996.

Ibnu Hibban, Muhammad bin Hibban bin Ahmad bin Hibban bin Mu’adz bin Ma’bad at-Tamimi Abu Hatim al-Basti, Shahîh Ibnu Hibban (Beirut: Dar al-Fikr), tanpa tahun.

Al-Jauziyah, Muhammad bin Abu Bakar bin Ayyub bin Saad az-Zar’i ad-Dimasyqi Abu Abdillah Syamsuddin Ibnu Qayyim, A’lamul Muwaqqi’in, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah), 1996.

Al-Khurasyi, Muhammad bin Abdullah al-Buhairi al-Mishri al-Maliki, Manh al-Jalil Syarh Mukhtashar Jalil, (Dar Shadir), tanpa tahun.

An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustur aw al-Asbâb al-Mujîbah Lahu, Jilid I, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan II, 2009.

An-Nawawi, Yahya bin Syarf bin Mari bin Hasan al-Huzami al-Hurani, Al-Majmû’ Syarah al-Muhadzdzab (Beirut: Dar al-Fikr), 1996.

As-Suyuthi, Abdur Rahman bin Abu Bakar bin Muhammad bin Himam al-Khudhairi Jalaluddin, Ad-Durar al-Mansyûrah (Beirut: Dar al-Fikr), 1995.

As-Suyuthi, Abdur Rahman bin Abu Bakar bin Muhammad bin Himam al-Khudhairi Jalaluddin, Jâmi’ al-Masânîd wa al-Marâsîl (Beirut: Dar al-Fikr), 1994.

Ibnu Taimiyah, Abdussalam bin Abdullah bin Ali, Majmû’ Fatâwa Ibnu Tamiyah (Dar Alam al-Kutub), tanpa tahun.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*