Pada 24 September lalu saya diundang TVOne untuk acara “Apa Kabar Indonesia Pagi” guna membahas buku yang berjudul, Benih-Benih Islam Radikal di Masjid (Studi Kasus Jakarta dan Solo) (2010). Buku ini bersumber dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Center for the Study of Religion and Culture (CSRC) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta antara tahun 2008-2009. Penelitian yang dimaksud adalah “Pemetaan Ideologi Masjid di DKI Jakarta” dan “Pemetaan Ideologi Masjid di Solo”. Penelitian di Jakarta menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode survei atas 250 masjid; sedangkan penelitian di Solo, Jawa Tengah, menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode wawancara mendalam dan observasi pada sejumlah masjid.
Kata Pengantar buku ini menyebut bahwa kedua penelitian tersebut dilatarbelakangi oleh fenomena penguatan apa yang mereka katakan sebagai ‘radikalisme agama’ di Tanah Air, secara khusus di DKI Jakarta dan Solo, Jawa Tengah. Menurut mereka, radikalisme agama tersebut telah berlangsung secara ekstensif sejak tumbangnya rezim Orde Baru pada tahun 1998, ditandai dengan kemunculan berbagai kelompok Islam ‘garis keras’ di era reformasi seperti Laskar Jihad, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan beberapa kelompok-kelompok militan yang lebih kecil di Solo, seperti Front Pemuda Islam Surakarta (FPIS) Hizbullah dan Jundullah.
Kelompok-kelompok Islam yang dianggap radikal tersebut dinilai telah secara aktif dan sistematis mengusung dan memperjuangkan Khilafah Islamiyah/Negara Islam; sebagiannya lagi memperjuangkan formalisasi syariah Islam melalui tangan kekuasaan. Dalam mewujudkan agenda dan ideologinya, mereka cenderung menyetujui jalan jihad yang diartikan perang suci, dan diam dengan kekerasan atas nama agama, bahkan aksi-aksi teror. Dalam hubungannya dengan non-Muslim, kelompok radikal menjadikan mereka sebagai warga kelas dua dan tidak berhak untuk menjabat posisi kepala negara. Demikian halnya terhadap harkat perempuan, kelompok ini cenderung tidak toleran dan memasung hak-hak perempuan, dengan tidak memperkenankannya berkiprah di ranah publik dan pada akhirnya mengharamkan perempuan untuk menjabat posisi kepala negara.
Ringkasnya, penelitian ini hendak menjawab apakah masjid-masjid di DKI Jakarta dan Solo, Jawa Tengah, masih menyuarakan gagasan Islam moderat ataukah telah mempromosikan gagasan Islam radikal. Beberapa hal penting yang diungkap untuk menjawab pertanyaan di atas adalah melihat bagaimana takmir dan jamaah masjid mempersepsikan lima isu utama yang dianggap sebagai unsur-unsur radikalisme Islam: sistem pemerintahan, demokrasi atau Khilafah Islam, formalisasi syariah, jihad, kesetaraan jender dan pluralisme.
Hasilnya, menurut buku ini, persepsi takmir masjid di Jakarta terhadap lima isu utama tadi cenderung moderat, yang tergambar dari pandangan mayoritas takmir terkait sistem pemerintahan, dalam arti mendukung keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Meskipun demikian, sebagian takmir masjid menyetujui gagasan tentang pendirian Negara Islam dan Khilafah Islamiyah (32%) dan 56% menolak perempuan menjadi presiden.
Di Solo, pandangan sejumlah takmir masjid terhadap sistem pemerintahan yang ideal bagi Indonesia tegas mendukung Khilafah Islamiyah dan menolak sistem demokrasi. Respon seperti ini tidak saja diberikan oleh komunitas masjid yang menurut mereka dikenal berhaluan radikal seperti Masjid al-Islam, Masjid Gumuk dan Masjid al-Kahfi Hidayatullah, tetapi juga oleh takmir dan jamaah masjid di lingkungan terbuka, seperti Masjid al-Muttaqien, Kartopuran. Takmir dan jamaah masjid di Solo menurut mereka tampaknya mulai merepresentasikan pemikiran Islam radikal, seperti persetujuan terhadap jihad dan penerapan syariah, penolakan terhadap paham pluralisme dan kesetaraan jender.
Buku-buku yang banyak dikaji secara umum adalah kitab tafsir dan kitab fikih yang berwawasan moderat. Namun, dalam jumlah yang kecil kitab yang berwawasan radikal seperti tafsir Fi Dzilalil Qur’an juga menjadi rujukan pengajian. Demikian juga majalah yang berwawasan ‘radikal’ dapat dijumpai, seperti Sabili dan Suara Hidayatullah. Bahkan buletin keagamaan yang paling banyak disebarkan di masjid adalah buletin al-Islam keluaran Hizbut Tahrir Indonesia.
Dengan data tersebut, menurut buku ini, dapat disimpulkan bahwa mayoritas masjid di DKI Jakarta masih menyuarakan gagasan dan pemikiran Islam moderat, meskipun terdapat sedikit masjid yang telah menyuarakan gagasan Islam radikal. Sebaliknya, dari sepuluh masjid yang diteliti di Solo, untuk beberapa derajat tertentu telah dan sedang digunakan sebagai kendaraan dalam menyuarakan gagasan Islam radikal.
++++
Sebagai hasil sebuah penelitian, fakta-fakta di atas sesungguhnya biasa, bukan perkara istimewa. Maksudnya, selama dakwah terus berlangsung di tengah umat, akan selalu terjadi perubahan dan perkembangan baik pada level individu maupun masyarakat ke arah Islam atau ke arah yang lebih islami. Contoh sederhana dalam soal pakaian. Dibanding sepuluh atau dua puluh apalagi tiga puluh tahun lalu, terlihat makin banyak perempuan yang memakai kerudung. Kostum perempuan dalam acara pesta pernikahan di kota Jogjakarta sekarang ini, misalnya, amat jauh berbeda bila dibandingkan dengan tahun 80-an. Bila dulu kebanyakan perempuan memakai kebaya dengan rambut disanggul, kini lebih banyak yang memakai kerudung. Meski masih ada yang memakai kebaya, jumlahnya makin sedikit. Gejala seperti ini bukan hanya terjadi di Jogjakarta, tetapi juga di tempat lain. Bukan hanya di acara pernikahan, tetapi juga di acara-acara lain.
Persoalannya, bagaimana kita menilai perubahan itu, dan dengan kerangka serta istilah apa kita akan menjelaskan perubahan-perubahan itu. Bila kita menilai perubahan itu sebagai hal yang wajar karena seorang Muslimah memang seharusnya menutup aurat, tentu tidak ada masalah. Bahkan perubahan itu mestinya disambut dengan baik dan disyukuri sebagai sebuah kemajuan. Namun, bila perubahan itu dianggap sebagai salah satu tanda maraknya fundamentalisme, dan fundamentalisme adalah sebuah ancaman, maka perkembangan yang semestinya disambut baik itu akan justru akan dicurigai, ditakuti dan dengan segala cara akan coba dihentikan. Pada masa Order Baru, di tahun 80-an, siswi-siswa SMA yang memakai kerudung dikeluarkan; mahasiswa yang bersikeras menutup aurat di beberapa perguruan tinggi dilarang mengikuti ujian.
Demikian juga dengan fakta tentang pandangan takmir dan jamaah di sejumlah masjid di Jakarta dan Solo yang setuju pada syariah dan Khilafah, mendukung jihad, menolak demokrasi dan paham pluralisme serta kesertaraan jender sebagaimana diuraikan dalam buku ini, semestinya harus dianggap sebagai gejala wajar. Ini adalah buah dari dakwah yang mestiya harus disambut gembira, bukan malah dicurigai atau dinilai dengan sebutan yang tidak tepat, seperti Islam radikal dan sebagainya.
Mengapa penyebutan Islam radikal harus ditolak? Istilah Islam radikal atau Islam garis keras (hard-liner) atau fundamentalisme adalah istilah pejorative (miring). Apalagi dalam buku ini istilah ini memang secara sengaja dikontraskan dengan istilah Islam moderat, seolah Islam moderat itu baik, sementara Islam radikal itu buruk.
Lihatlah bagaimana rekomendasi dari penelitian ini ditulis, “Jika tidak dihambat, bisa saja benih-benih Islam radikal yang bersemai di masjid-masjid pada suatu masa akan menghancurleburkan wajah Islam moderat di Tanah Air.”
Penelitian ini juga mengandung nuansa adu domba antarkelompok Islam dan kabar yang insinuatif. Coba simak uraian berikut ini, “Dalam situasi kebebasan politik yang luas di era reformasi, gerakan-gerakan (radikal) ini tampaknya leluasa dan merdeka menjalankan dan mempromosikan ide-idenya tanpa interupsi yang berarti dari negara dan ormas Islam yang berhaluan moderat. Lebih dari itu, mereka juga sangat militan dalam menyebarluaskan ide-ide dan ajarannya. Pada saat yang sama, kelompok-kelompok Islam moderat, yang diwakili Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah, seperti kehabisan daya dan energi dalam menjaga dan merawat moderatisme Islam. Pertahanan utama mereka, yakni masjid bagi NU dan hasil amal usaha bagi Muhammadiyah, belakangan diinfiltrasi oleh kelompok-kelompok radikal tersebut.”
Jadi, alih-alih hendak menyelesaikan masalah, buku ini justru bisa menimbulkan masalah, yakni munculnya kecurigaan, bahkan rasa takut pada perkembangan masjid-masjid di Jakarta dan Solo khususnya, akibat stigma negatif yang muncul dari penyematan istilah Islam radikal. Buku ini juga bisa menyulut pertikaian antarkelompok Islam, khususnya antara yang disebut radikal dan yang disebut moderat.
Jadi, kalau ada yang patut dicurigai bukanlah para takmir dari masjid-masjid itu, tetapi justru motif dan tujuan dari penelitian dan penerbitan buku ini: untuk apa dan demi kepentingan siapa? []