Abdullah bin Nuh atau yang lebih dikenal dengan panggilan ‘Mamak’ adalah seorang ulama, tokoh pendidikan, sastrawan dan pejuang. Pria shalih yang lahir di Kampung Meron Kaum, Kota Cianjur Jawa Barat pada tanggal 6 Juni 1905 ini1, melalui tabanni pendapat Imam Al-Ghazali, sangat gigih menyerukan agar masyarakat berpegang teguh pada ajaran atau syariah Islam.
Dalam memahami konsepsi tentang hakikat manusia dan potensinya, putra dari pasangan KH Raden Muhammad Nuh dan Nyi Raden Hajja ‘Aisyah ini menyeru manusia, tatkala sudah balig, untuk berpikir tentang adanya Allah melalui penciptaan-Nya agar memiliki keyakinan yang kokoh melalui proses berpikirnya. Mamak menegaskan, “Sekiranya di dunia ini saya tidak menemukan kecuali hanya sebutir atom saja, itu pun bagi saya sudah lebih dari cukup untuk dapat mengetahui dan mengenal (ma’rifat) adanya Sang Pencipta, Allah SWT. Lalu bagaimana ketika saya menyaksikan alam raya ini tercipta dan terbentuk dari berbagai macam unsur atom yang tidak sanggup menghitungnya? Dan dengan sistem yang rapi lagi sempurna, disertai pengaturan yang menakjubkan dan bijaksana?”2
Dari sini bisa dipahami bahwa Mamak meminta kepada seluruh jamaahnya agar tidak ‘sekadar’ beragama Islam semata, namun lebih jauh lagi menyerukan agar dalam berislam sampai menemukan keimanan yang kokoh melalui proses berpikir sehingga imannya benar-benar tumbuh dari keyakinan atau pembenaran yang bersifat pasti (100%) tanpa keraguan sedikitpun. Dengan bekal keimanan seperti ini, diharapkan muncul pemeluk-pemeluk Islam sejati yang tidak dengan mudah tergoyahkan oleh satu bungkus indomie. Selain itu, juga muncul sosok-sosok muttaqin yang benar-benar menjalankan syariat Islam dalam segala macam kondisi.
Lebih jauh, pria yang seluruh hidupnya dihabiskan untuk mengajar dan mendidik dari satu majelis ke majelis yang lain menyerukan agar ‘umat sedunia’ bersatu, tidak terpecah-belah. Beliau menyeru, “Bersatulah wahai kaum muslimin sedunia. Dan jadilah kalian kekuatan tunggal menghadapi orang lain (musuh-musuh Islam, pen.).”3
Apa yang diserukan oleh Mamak ini dilandasi dari ‘kegelisahan’ hatinya melihat realitas masyarakat Dunia Islam yang saat itu dalam ancaman disintegrasi. Umat Islam saat itu mulai ‘berebut’ kekuasaan karena hasutan dari musuh-musuh Islam. Umat Islam saat itu berhasil dikerat-kerat oleh musuh-musuhnya.
Dari pemahaman inilah, maka tidak aneh tatkala beliau sedang berkunjung ke Australia dan bertemu dengan seorang ulama aktivis Hizbut Tahrir—yang sedang menyampaikan ceramah tentang kewajiban persatuan umat dan kewajiban menegakkan Khilafah guna melawan hegemoni penjajahan dunia—Mamak cukup tertarik dan memberikan perhatian.
Ide Hizbut Tahrir yang mengajak kaum Muslim dimanapun mereka berada, termasuk Indonesia, untuk mendirikan kembali sistem Khilafah dan menegakkan hukum Allah turunkan secara kaffah dalam realitas kehidupan ini menjadi satu ide yang ‘berbeda’ yang belum pernah beliau temui sebelumnya. Beliaulah ulama yang pertama mendukung perkembangan dakwah Hizbut Tahrir di Indonesia. Peran KH Abdullah bin Nuh terhadap Hizbut Tahrir sebatas memberikan dukungan. Sekalipun demikian, apa yang dilakukan beliau cukup besar pengaruhnya terhadap perkembangan dakwah Hizbut Tahrir di Indonesia, karena sekitar tahun 1980-an dakwah Hizbut Tahrir di Indonesia belum dikenal masyarakat dan baru dimulai.
Melihat realitas di atas, dalam konteks umat Islam Mamak pun berpesan agar umat Islam tidak fanatis terhadap suatu mazhab tertentu, apalagi sampai terjadi perpecahan karena yang satu mengkafirkan yang lain. Demikian sebaliknya. Beliau menegaskan, “Tidak ada sekte dalam Islam, meskipun terdapat sejumlah madzhab fiqhiyyah dan perbedaan furu’iyah. Umat Islam tetap wajib bersatu.”4
Apa yang beliau sampaikan memang sejalan dengan pemahaman Islam, bahwa dalam Islam, suatu perbuatan atau apapun yang masih bersumber pada dalil nash syariah masih disebut pendapat islami. Dengan demikian pembahasannya bukan halal atau haram, tetapi kuat atau lemah dalilnya. Dari sini, diskusi yang ada adalah mencari dalil yang terkuat.
Dari apa yang disampaikan terlihat, bahwa Mamak Abdullah bin Nuh sangat berkeinginan agar umat Islam senantiasa terikat dengan syariah Islam dan bersatu di seluruh dunia membela Islam [Gus Uwik]
Catatan kaki:
1 Dahlan, Ahmad Zaini, Al Hijrah min Allah ila Allah, Bogor, Desember 1987.
2 Nuh, Abdullah bin, Ana Muslim, Sunniyun, Syafi’iyyun, YIC Al Ghozali, Bogor.
3 Nuh, Abdullah bin, Fi Zhilal al-Ka’bah al-Bait al-Haram, Madrasar Diniyah al-Munawwaroh, Bogor.
4 Nuh, Abdullah bin, La Thaifiyah fi al-Islam, Madrasah Diniyah Al-Munawaroh, 1399 H, Bogor.