HTI

Nisa' (Al Waie)

Membina Ketaatan Pada Anak

Setiap Idul Adha, kita selalu diingatkan pada keteladanan Nabiyullah Ibrahim as. dan putranya Nabi Ismail as. saat keduanya menjalankan perintah Allah SWT dengan penuh ketaatan dan ketundukan. Dengan keikhlasannya Nabi Ibrahim as. melaksanakan perintah untuk menyembelih putranya. Ismail pun begitu tunduk pada perintah Tuhannya sehingga rela mengorbankan jiwa dan raganya. Keduanya merasa ridha dan yakin akan perintah Allah SWT hingga tak sedikit pun tampak rasa enggan, ragu, apalagi menolak. Tak hanya itu, mereka bahkan bersegera untuk melaksanakan ketaatan tersebut tanpa pernah berpikir untuk menunda ataupun memperhatikan risiko dan akibatnya. Inilah kisah ketundukan totalitas dua orang hamba Allah SWT yang senantiasa abadi di sepanjang zaman (Lihat: QS ash-Shaffat [37]: 102).

Sepenggal kisah pengorbanan dan ketaatan yang luar biasa itu datang dari sebuah keluarga—ayah, ibu dan anak—yang taat. Memang, tidak mudah melakukan ketaatan total, apalagi bila harus disertai pengorbanan luar biasa. Namun, Ibrahim dan Ismail ternyata mampu melakukan hal itu. Mengapa? Karena dalam dirinya telah tumbuh kecintaan yang begitu mendalam kepada Zat Yang mereka taati.

Kecintaan dan ketaatan adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan. Imam al-Baidhawi berkata, “Cinta adalah keinginan untuk taat.

Az-Zujaj berkata, “Cinta manusia kepada Allah dan Rasul-nya adalah menaati keduanya dan ridha kepada semua perintah-Nya dan ajaran yang dibawa oleh Rasul-Nya.

Menumbuhkan Ketaatan pada Anak

Kecintaan hakiki yang melahirkan ketaatan totalitas adalah perasaan yang tumbuh dari sebuah proses. Menumbuhkan ketaatan anak sejak dini akan memudahkan terwujudnya ketaatan totalitas di kemudian hari. Apalagi bila hal ini sudah dimulai sejak masa kanak-kanak. Berbagai kisah inspiratif sering sangat efektif untuk melahirkan kesan mendalam pada anak yang kita didik. Karenanya, sungguh sayang bila kisah keteladanan ini tak dimanfaatkan para orangtua untuk membina ketaatan pada para buah hatinya.

Bercermin dari keteladanan Nabi Ibrahim as. dan keluarganya, sungguh para ibu dapat mengambil beberapa pelajaran berharga dalam upaya mewujudkan generasi yang selalu taat pada aturan Allah SWT.

1. Hadirkan kembali pada anak

Ibu harus mampu menghadirkan kembali kisah keteladanan tersebut di hadapan putra-putrinya. Diupayakan sedemikian rupa agar melahirkan keinginan kuat untuk meneladani ketundukan, ketaatan dan pengorbanan hamba-hamba Allah tersebut. Ibu tidak seharusnya bosan memperdengarkan kisah tersebut apalagi membatasinya hanya setahun sekali saat Idul Adha. Kapanpun semestinya ibu bisa melakukan hal itu. Tentu, ini membutuhkan kreativitas ibu untuk menyampaikan dengan bahasa dan cara yang mudah dipahami anak sesuai tingkat usianya.

2. Tanamkan optimisme pada anak.

Ibu dapat menanamkan optimisme kepada anak-anak untuk mampu memiliki ketaatan dan ketundukan layaknya Ismail yang saat itu usianya baru 7 tahun. Saat sebagian anak lebih senang untuk tidak patuh kepada orangtuanya, apalagi Rabb-nya, ibu harus menunjukkan bahwa ketaatan yang tinggi bisa terwujud meski pada usia anak yang masih belia.

3. Jadikan ayah sebagai pendamping.

Ibu juga bisa melibatkan ayah dalam mendidik putra-putrinya. Ayah, sekalipun telah tersita sebagian besar waktunya untuk mencari nafkah, bukan tidak mungkin memiliki pengaruh besar dalam upaya menancapkan ruh, motivasi dan semangat. Lihatlah, betapa Nabi Ibrahim as. begitu menyayangi dan penuh perhatian kepada Ismail. Tatkala mendapatkan perintah Allah SWT, beliau sempat menanyakan kepada Ismail bagaimana pendapat Ismail atas perintah Allah tersebut. Nabi Ibrahim tidak semena-mena berbuat sekehendaknya sendiri. Beliau menghendaki ketaatan yang serupa juga dirasakan Ismail, persis seperti yang dikehendaki Ibrahim. Ismail pun menyambut harapan ayahnya. Akhirnya, keduanya rela menyerahkan apa yang paling mereka cintai untuk Allah, Rabb yang menciptakan keduanya. Betapa mengharukannya, saat ayah ternyata mampu manularkan ruh ketaatannya kepada sang anak yang akan dia korbankan.

4. Mulailah sedini mungkin.

Ketundukan Nabi Ibrahim as. dan Ismail as. tentu tak lepas dari keberhasilan Siti Hajar—istri dan ibu—dalam mengantarkan keduanya menjadi hamba-hamba yang sangat mencintai Rabb-nya. Inilah buah yang selama ini ditanamkan oleh Siti Hajar kepada keduanya. Ismail tumbuh dengan kasih sayang dan arahan ibunya yang tak kenal lelah berjuang mempertahankan ketaatan pada Allah SWT. Proses yang tidak sebentar pun telah mengantarkan Ismail yang masih belia itu menjadi anak yang tidak seperti kebanyakan anak lainnya. Oleh karenanya, para ibu seharusnya mempersiapkan segala sesuatunya sejak anak masih belia. Jangan pernah menunggu atau menunda, padahal ibu bisa melakukannya sejak dini, karena ketaatan membutuhkan proses.

5. Sabar dan istiqamah.

Membina ketaatan kepada anak tentu membutuhkan kesabaran dan keistiqamahan. Ketaatan Nabi Ibrahim as. dan Nabi Ismail as. pun bukan tanpa ujian. Saat keduanya hendak melaksanakan perintah Allah SWT, iblis sempat menggoda keduanya untuk mengurungkan niatnya. Namun, kecintaan yang kuat kepada Allah tak mampu menghalangi keduanya. Oleh karenanya, sabar dan istiqamah menjadi kunci dari setiap tantangan yang dihadapi untuk meraih tujuan. Ibu tak boleh menyerah hanya karena putra-putrinya sering menolak saat diperintah shalat, menutup aurat, atau diajak ke masjid, dsb. Ibu juga tak boleh tergoda oleh silaunya kehidupan dunia sehingga lebih mementingkan dirinya dibandingkan untuk membina anak-anak yang merupakan amanah Allah SWT.

6. Meyakini janji Allah SWT.

Layaknya Nabi Ibrahim as. yang yakin akan keridhaan Allah SWT, ibu juga harus yakin bahwa jika segenap ‘azzam, upaya dan tawakal telah ditunaikan, maka tinggallah Allah yang berkenan menentukan balasannya. Saat Nabi Ibrahim as. dan putranya telah memantapkan ‘azzam dan bertawakal kepada Allah SWT, sedetik setelah pisau nyaris digerakkan, tiba-tiba Allah berseru dengan firman-Nya, menyuruh menghentikan perbuatannya tersebut. Allah SWT telah meridhai kedua hamba yang mukhlis ini. Sebagai imbalan keikhlasan mereka, Allah mencukupkan dengan penyembelihan seekor kambing sebagai korban (Lihat: QS ash-Shaffat [37]: 107).

Mendidik anak untuk memiliki ketaatan totalitas memang bukan perkara gampang. Keberhasilan sering teruji oleh waktu. Namun, keyakinan akan janji Allah kepada hamba-hambanya yang tawakal semakin menunjukkan bahwa generasi yang kita lahirkan akan memiliki ketaatan yang tinggi saat segenap upaya sudah kita sempurnakan.

Semoga kita semakin cerdas dalam mewujudkan generasi shalih yang memiliki ketaatan tinggi, bekal untuk mewujudkan kehidupan Islam. Amiin, ya Rabb al-‘Alamin. [Noor Afeefa]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*