Benarkah Daulah Islamiyah tidak bisa ditegakkan kecuali dengan mengangkat senjata? Benarkah kekuasaan tidak akan mungkin diserahkan kepada kelompok-kelompok Islam, kecuali kelompok Islam tersebut melakukan kudeta militer?
Untuk menjawab pertanyaan ini, ada baiknya kaum Muslim mempertimbangkan beberapa analisis berikut ini.
Pertama: sejatinya unsur-unsur penting yang membentuk eksistensi sebuah negara adalah manusia, pemikiran, perasaan dan aturan. Di antara unsur-unsur tersebut, pemikiran dan aturan merupakan faktor dominan yang menentukan bentuk dan corak sebuah negara. Negara Islam, misalnya, adalah negara yang menjadikan akidah Islam sebagai pandangan hidup dan dasar negara serta menjadikan syariah Islam sebagai satu-satunya aturan yang mengikat seluruh warga negara. Sebaliknya, negara kafir adalah negara yang menjadikan akidah dan hukum kufur sebagai dasar dan konstitusi negara.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa mengubah eksistensi sebuah negara pada hakikatnya bukanlah upaya untuk menghancurkan manusia dan bangunan fisiknya, tetapi mengubah pemikiran dan aturan yang diterapkan di negara tersebut. Untuk mengubah pemikiran dan aturan tersebut tentu bukan dengan cara-cara kekerasan, tetapi harus dengan kerja pemikiran hingga rakyat kehilangan kepercayaannya (distrust) terhadap pemikiran dan aturan yang diterapkan oleh penguasa, serta kembali ke dalam pangkuan Islam. Jika rakyat sudah tidak percaya lagi terhadap penguasa dan sistem yang mereka terapkan, pada saat itulah eksistensi negara tersebut akan ambruk dan binasa.
Kedua, dakwah dengan menggunakan kekerasan—yang biasanya memakan korban penduduk sipil—tidak akan mampu menghancurkan kepercayaan rakyat terhadap pemikiran dan aturan kufur yang menjadi sendi tegaknya negara. Trust rakyat terhadap sistem demokrasi-sekular hanya bisa dihancurkan ketika masyarakat telah memahami kerusakan dan kebatilan sistem itu, dan menyadari kewajibannya untuk menegakkan aturan dan kekuasaan Islam. Selama masyarakat masih percaya dan memegang teguh pemikiran demokrasi-sekular maka mereka akan menjaga dan mempertahankan sistem itu mati-matian. Namun, ketika rakyat tidak lagi percaya dengan sistem demokrasi-sekular, dan kembali berpegang teguh kepada Islam, niscaya mereka sendiri yang akan meruntuhkan negara demokrasi-sekular tersebut. Mewujudkan semua ini tentu tidak bisa dilakukan dengan cara-cara kekerasan, tetapi harus dilakukan dengan kerja yang bersifat pemikiran. Bahkan cara-cara kekerasan justru akan melahirkan distrust (ketidakpercayaan rakyat) terhadap kelompok Islam pro kekerasan dan perjuangannya.
Ketiga: dakwah dengan menggunakan cara-cara kekerasan rawan terhadap penyusupan. Di antara taktik yang lazim digunakan oleh musuh-musuh Islam dan kaum Muslim adalah menyusup ke dalam gerakan-gerakan Islam dengan tendensi:
1) Mengubah orientasi perjuangan gerakan tersebut, dari gerakan yang bertujuan menegakkan Islam ke arah tujuan-tujuan lain.
2) Melemahkan militansi dan keberanian aktivisnya serta mengendorkan aktivitas dakwah gerakan tersebut.
3) Mendorong kelompok-kelompok tersebut untuk melakukan tindakan-tindakan anarkis atau kekerasan yang bisa dijadikan alasan oleh penguasa untuk membubarkan kelompok-kelompok Islam yang lain, atau setidaknya membuat stigma dan ketakutan terhadap kelompok Islam yang memperjuangkan syariah dan Khilafah.
4) Menimbulkan konflik dan perpecahan di internal gerakan tersebut;
5) Menarik manfaat dari kelompok-kelompok tersebut untuk kepentingan-kepentingan politik tertentu, semacam menaikkan popularitas dan kewibawaan penguasa fasik, dan lain sebagainya.
Keempat: menegakkan Daulah Islamiyah dengan menggunakan kudeta militer membutuhkan dukungan militer yang sangat kuat. Tanpa dukungan militer yang sangat kuat, tidak akan mungkin terjadi kudeta militer yang mampu menjatuhkan meruntuhkan kekuasaan negara. Selain itu, kudeta militer juga membutuhkan biaya dan tenaga yang tidak sedikit. Oleh karena itu, tidaklah masuk akal melakukan kudeta militer pada saat kekuatan kaum Muslim masih sangat lemah.
Berdasarkan analisis di atas dapatlah disimpulkan bahwa jalan kekerasan bukanlah pilihan yang realistis di tengah kondisi umat Islam yang masih mempercayai sistem kufur dan penguasanya dan ketika belum ada dukungan militer yang sangat kuat terhadap gerakan Islam. Ini dilihat dari sisi analisis ilmiah. Adapun dilihat dari tinjauan syariah, sesungguhnya kaum Muslim haram menggunakan cara-cara kekerasan untuk menegakkan kembali Daulah Islamiyah.
Pandangan Syariah Islam
Jihad dan amar makruf nahi mungkar dengan tangan (bi al-yad) termasuk bagian dari syariah Islam yang agung dan mulia. Hukum-hukum ini tetap berlaku sejak masa Nabi saw. hingga sekarang. Seorang Muslim dilarang mengingkari atau mengabaikan hukum-hukum tersebut. Bahkan jika konteks dan kondisi syar’i-nya telah terwujud, seorang Muslim wajib melaksanakan hukum itu dengan penuh ketundukan. Pasalnya, setiap hukum syariah, termasuk di dalamnya jihad atau mengangkat senjata, memiliki manath (obyek hukum) dan konteks masing-masing yang tidak boleh diubah dan dilampaui. Jika negeri kaum Muslim diserang dan dijajah oleh kaum kafir maka kaum Muslim yang ada di negara tersebut wajib berjihad dan mengangkat senjata untuk melawan musuh-musuhnya.
Hanya saja, jihad dan mengangkat senjata bukanlah thariqah syar’iyyah untuk menegakkan kembali Daulah Islamiyah; sebagaimana shalat, puasa, zakat dan haji bukan thariqah syar’iyyah untuk mengusir musuh. Menempatkan hukum syariah tidak sesuai dengan konteks dan manath hukum yang ditetapkan Allah termasuk perbuatan haram.
Jika diperhatikan kembali perjalanan dakwah Nabi saw. dan para Sahabat di Makkah dapatlah disimpulkan, bahwa untuk menegakkan Daulah Islamiyah di Madinah, beliau dan para Sahabat—dalam konteks jamaah atau kutlah—sama sekali tidak pernah menggunakan kekerasan. Mereka membatasi dirinya hanya dengan dakwah fikriyyah dan aktivitas-aktivitas siyasiyah. Apa yang dilakukan Nabi saw. dan para Sahabat adalah hukum syariah yang wajib diteladani oleh kaum Muslim, khususnya kelompok-kelompok Islam. Dari sini pula dapat simpulkan bahwa menegakkan Daulah Islamiyah dengan kekerasan adalah dakwah yang menyimpang dari sunnah Nabi saw.
Thalabun Nushrah
Jika perjuangan bersenjata bukan jalan syar’i untuk menegakkan Daulah Islamiyah, lalu metode perjuangan syar’i seperti apa yang harus dilakukan oleh kaum Muslim untuk menegakkan kembali Daulah Islamiyah?
Untuk menjawab pertanyaan ini, harus diperhatikan beberapa poin berikut ini.
Pertama: Dakwah menegakkan Daulah Islamiyah termasuk bagian integral dari ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT; yang metode dan tatacaranya telah dijelaskan Allah SWT dan Rasul-Nya. Seorang Muslim wajib mengikutinya dan dilarang menyimpang dari metode dan tatacara dakwah yang telah digariskan oleh Asy-Syari’.
Kedua: Metode syar’i untuk menegakkan kembali Daulah Islamiyah adalah thalabun nushrah (menggalang dukungan ahlul quwwah [para pemilik kekuatan]), bukan jihad, kekerasan, musyarakah dalam parlemen, people power, dan lain sebagainya. Pasalnya, metode inilah yang ditempuh oleh Nabi saw. dalam menegakkan Daulah Islamiyah di Madinah.
Ketiga: Pada dasarnya, setiap hukum Islam—termasuk di dalamnya jihad dan tindakan fisik—disyariatkan untuk memecahkan problem-problem manusia. Misal, jika seorang Muslim tertimpa problem waris, maka Islam telah menetapkan faraidh (hukum waris) sebagai solusi atas problem tersebut. Syariah tidak menetapkan shalat liuma waktu sebagai solusi untuk memecahkan problem waris. Demikian pula ketika ada orang yang murtad dari agama Islam; syariah telah menetapkan hukuman mati bagi pelaku riddah sebagai solusi atas kasus kemurtadan. Ketika kaum Muslim diserang oleh kaum kafir, maka syariah telah menetapkan jihad sebagai solusi atas problem ini. Syariah tidak menjadikan shalat, puasa dan qira’ah al-Quran sebagai solusi untuk memecahkan problem penyerangan negara kafir atas negara Islam. Demikian pula tatkala kaum Muslim hendak menegakkan Daulah Islamiyah, sesungguhnya syariah telah menetapkan thalabun nushrah sebagai metode untuk menegakkan Daulah Islamiyah; bukan shalat, puasa, qira’ah al-Quran, tindakan fisik, jihad fi sabilillah, dan lain sebagainya.
Posisi Jihad
Jihad dan perjuangan bersenjata termasuk bagian dari syariah Islam yang tidak boleh diingkari oleh kaum Muslim. Hanya saja, tindakan fisik dan jihad harus diposisikan sesuai dengan konteks dan manath yang telah ditetapkan oleh syariah. Pada dasarnya, syariah telah mensyariatkan jihad dan perjuangan bersenjata untuk memecahkan problem-problem tertentu; seperti ketika negara kafir menyerang Daulah Islamiyah; atau ketika negara kafir tidak mau tunduk dan menyerahkan jizyah kepada Negara Islam; dan lain sebagainya. Hanya dalam konteks-konteks seperti inilah jihad bisa dilaksanakan dan diterapkan.
Tentu salah jika jihad dijadikan sebagai metode untuk memecahkan problem sosial, problem keluarga, atau problem-problem lain yang metode pemecahannya telah ditetapkan secara spesifik oleh Asy-Syari’. Demikian pula dalam konteks dakwah menegakkan Daulah Islamiyah. Sesungguhnya Asy-Syari’ tidak menetapkan jihad dan tindakan fisik sebagai metode untuk menegakkan Daulah Islamiyah, sebagaimana Asy-Syari’ tidak menjadikan qira’ah al-Quran sebagai metode untuk mengusir musuh yang masuk ke Negara Islam.
Berdasarkan pengkajian yang jernih dan mendalam terhadap sirah dakwah Nabi saw., dapatlah disarikan bahwa Asy-Syari’ telah menetapkan thalabun nushrah sebagai metode syar’i untuk menegakkan Daulah Islamiyah, bukan yang lain.
Aktivitas thalabun nushrah yang dilakukan oleh Nabi saw. terlihat jelas setelah paman dan istri beliau wafat. Setelah dua orang yang melindungi dirinya dan dakwah wafat, permusuhan kafir Quraisy terhadap Rasulullah saw. dan para Sahabatnya semakin meningkat, bahkan lebih keras dibandingkan dengan semasa paman dan istri beliau masih hidup. Bahkan Rasulullah saw. bersabda, “Orang Quraisy tidak menimpakan satu pun keburukan kepadaku sampai wafatnya Abu Thalib.1”
Setelah paman dan istri beliau wafat, beliau pergi ke Thaif mencari dukungan dari kabilah ini dengan mendatangi para pembesar Thaif. Beliau meminta agar mereka mau mendukung Islam dan melawan kaum Quraisy yang menentang beliau. Para pemuka Thaif menolak permintaan Rasulullah saw. Bahkan mereka mengirim surat kepada orang-orang Quraisy. Padahal Rasulullah saw telah meminta mereka secara rahasia. Akibatnya, Rasulullah saw. tidak bisa masuk kembali ke Makkah kecuali dengan perlindungan.2
Rasul juga menyeru para pemuka kabilah-kabilah Arab sebagaimana yang dituturkan dalam sirah, “Ya Bani fulan! Saya adalah utusan Allah bagi kalian, dan menyeru kalian untuk beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya, dan agar kalian meninggalkan apa yang kalian sembah, beriman dan percaya kepadaku, dan janganlah kalian mencegah aku, sampai aku menjelaskan apa yang telah Allah sampaikan kepadaku.”3
Akan tetapi paman beliau Abu Lahab, berdiri di belakang beliau, membantah dan mendustakan perkataan beliau. Tak satu pun kabilah menerima beliau. Mereka bahkan berkata, “Kaummu lebih tahu tentang engkau dan tidak mengikuti engkau.” Mereka membantah dan mendebat beliau. Beliau pun membantah dan mendebat mereka serta mendoakan mereka kepada Allah. Rasul berdoa, “Ya Allah, jika Engkau berkehendak, janganlah Engkau menjadikan mereka seperti ini.”4
Dalam Sirah Ibnu Hisyam diriwayatkan, bahwa Zuhri menceritakan:
Rasulullah saw. pernah mendatangi secara pribadi Bani Kindah, tetapi mereka menolak beliau. Beliau juga mendatangi Bani Kalban, tetapi mereka menolak. Beliau juga mendatangi Bani Hanifah dan meminta kepada mereka nushrah dan kekuatan, namun tidak ada orang Arab yang lebih keji penolakannya terhadap beliau kecuali Bani Hanifah. Beliau juga mendatangi Bani ‘Amir bin Sha’sha’ah, mendoakan mereka kepada Allah, dan meminta kepada mereka secara pribadi. Kemudian berkatalah seorang laki-laki dari mereka yang bernama Bahirah bin Firas, “Demi Allah, seandainya aku mengabulkan pemuda Quraisy ini, sungguh orang Arab akan murka.” Kemudian ia berkata, “Apa pendapatmu, jika kami membaiatmu atas urusan kamu, kemudian Allah memenangkanmu atas orang yang menyelisihimu, apakah kami akan diberi kekuasaan setelah engkau?” Rasulullah saw. berkata kepadanya, “Urusan itu hanyalah milik Allah, yang Dia berikan kepada siapa yang dikehendaki.” Bahirah berkata, “Apakah kami hendak menyerahkan leher-leher kami kepada orang Arab, sedangkan engkau tidak. Adapun jika Allah memenangkan kamu, urusan bukan untuk kami. Kami tidak butuh urusanmu.”
Adapun nama-nama kabilah yang pernah didatangi Rasulullah saw. dan menolak adalah: (1) Banu ‘Amir bin Sha’sha’ah, (2) Bani Muharib bin Khashfah, (3) Bani Fazaarah, (4) Ghassan, (5) Bani Marah, (6) Bani Hanifah, (7) Bani Sulaim, (8) Bani ‘Abas, (9) Bani Nadlar, (10) Bani Baka’, (11) Bani Kindah, (12) Kalab, (13) Bani Harits bin Ka’ab, (14) Bani ‘Adzrah dan (15) Bani Hadlaaramah.5
Akhirnya, atas ijin dan pertolongan Allah, penduduk Madinah memberikan nushrah mereka kepada Rasulullah saw. Terjadilah peristiwa penting yang menandai babak baru dakwah Rasulullah saw., yakni peristiwa Baiat Aqabah II. Pada saat itulah, penduduk Madinah menyerahkan kekuasaannya kepada Nabi Muhammad saw., yang kemudian disusul dengan berdirinya Daulah Islamiyah di Madinah.
Demikianlah, Rasulullah saw. telah memberikan teladan kepada Kaum Muslim langkah-langkah dakwah untuk sampai pada jenjang kekuasaan/pemerintahan. Langkah-langkah dakwah seperti inilah yang wajib dijadikan sebagai metode syar’i untuk menegakkan Daulah Islamiyah, bukan perjuangan senjata.
Wallahu a’lam bi ash-shawab. []
Catatan kaki:
1 Sirah Ibnu Hisyam.
2 Ahmad Mahmud, Ad-Da’wah ila al-Islam, ed.I, 1995, Dar al-Ummah, hlm. 90.
3 Sirah Ibnu Hisyam, lihat pada catatan kurung; Ahmad Mahmud, Op. Cit., hlm. 91.
4 Ibid, 91.
5 Nama-nama kabilah ini merujuk pada Thabaqat Ibnu Hisyam.