Media sering memberitakan pujian Barat bahwa Indonesia adalah negara demokratis atau negara moderat. Ketika berkunjung ke Indonesia Pebruari 2010 lalu, Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton memuji-muji Indonesia sebagai negara demokratis terbesar dunia yang berhasil menggabungkan Islam dan demokrasi.
Tentu pujian yang di-blow up media itu bukan tanpa tujuan. Paling tidak, pujian itu mempunyai dua tujuan yang berdimensi ideologi dan politik. Secara ideologi tujuannya adalah agar Indonesia tetap menjadi negara berideologi sekular seperti negara-negara Barat. Secara politik tujuannya adalah untuk mempertahankan Indonesia sebagai mitra AS dalam apa yang disebut sebagai War On Terorrism saat ini. Tentu pujian beracun yang menjerumuskan ini harus kita pahami dan waspadai.
Latar Belakang
Sejak kehancuran ideologi komunis awal dekade 1990-an, Barat tidak lagi mendapatkan lawan ideologi yang seimbang dalam kancah politik internasional. Karena itu, banyak pemikir Barat yang mendefinisikan kehancuran Komunisme itu sebagai kemenangan akhir bagi ideologi Barat. Francis Fukuyama, misalnya, menegaskan hal tersebut dalam bukunya, The End of History.
Namun, Richard Nixon dalam bukunya, Seize The Moment, sejak lama sadar dan mengingatkan, bahwa Islam sesungguhnya merupakan kekuatan ideologi yang terus mengancam Barat. Ide-ide kaum fundamentalis, kata Nixon, tak boleh dibiarkan dan mereka adalah musuh ideologis bagi Barat (Hizbut Tahrir, Keniscayaan Benturan Peradaban, hlm. 95).
Maka dari itu, ketika terjadi Peritiwa WTC tahun 2001, yang dilanjutkan dengan invasi AS atas Irak tahun 2003 dan Afganistan tahun 2004, Barat atas nama Perang Melawan Terorisme telah menjadikan Islam dan umat Islam sebagai musuhnya, agar potensi Islam ideologi untuk kembali dapat digagalkan dan agar Barat dapat mempertahankan dominasinya atas dunia.
Kebijakan tersebut tak lepas dari kenyataan bahwa Presiden George W. Bush yang berkuasa saat itu banyak dikelilingi para penasihat dan pemikir dari kaum neo-konservatif, seperti Paul Wolfowitz, Daniel Pipes dan Bernard Lewis. Mereka inilah yang kemudian meletakkan dasar strategi untuk mendikotomikan negara-negara di Dunia menjadi dua: yang menentang Barat dan yang pro Barat. Yang menentang Barat inilah yang disebut negara-negara poros setan (axis evil) seperti Korea Utara, Iran dan Kuba. Yang pro Barat diberi pujian dan gelar sebagai negara-negara moderat.
Inti rekomendasi dari para pemikir dan penasihat tersebut sama, yaitu agar AS mendorong negara-negara Dunia Islam menjadi negara-negara moderat. Lebih jauh lagi, mereka menginginkan AS mendesak negeri-negeri Islam melakukan “Reformasi Islam”, yaitu mengubah norma-norma ajaran Islam agar lebih cocok dengan ideologi Barat (HT Britain, Khilafah, Radikalisme dan Ekstremisme, hlm. 122).
Bernard Lewis dalam bukunya, What Went Wrong, yang menjadi rujukan kebijakan pemerintah AS, secara khusus mencontohkan negara moderat seperti apa yang diharapkan AS. Menurut Lewis, negara Turki modern (pasca runtuhya Khilafah tahun 1924) adalah negara moderat yang patut dijadikan model bagi negeri-negeri Islam lainnya. (HT Britain, Khilafah, Radikalisme dan Ekstremisme, hlm. 127).
Maka dari itu, menjadi jelas latar belakang mengapa Barat suka memuji suatu negeri Islam sebagai “negara moderat”, “negara demokratis” dan yang semisalnya. Segala puja dan puji itu bukanlah pujian basa-basi, melainkan memang bagian strategi politik luar negeri Amerika Serikat.
Penyesatan Politik dan Ideologi
Di balik pujian dan pencitraan “negara moderat” yang sering diberitakan media itu sesungguhnya terdapat penyesatan politik dan ideologi yang mematikan.
Penyesatan politik yang dimaksud adalah penyesatan yang membuat umat Islam tidak mampu lagi mendefinisikan siapa lawan dan siapa kawan. Sebab, istilah “negara moderat” yang digembar-gemborkan, mengandung hasutan halus agar umat Islam menolak kebalikan dari negara moderat, yaitu negara yang berhaluan ’garis keras’, fundamentalisme, ekstremisme, terorisme dan semisalnya.
Maka tak aneh, terbitlah buku semacam Ilusi Negara Islam (2009) yang terus ingin mempertahankan negara “moderat” Indonesia. Dalam peluncuran buku itu di Jakarta (16/5/2009) Gus Dur sebagai editornya menegaskan, “Studi ini kami lakukan dan publikasikan untuk membangkitkan kesadaran seluruh komponen bangsa, khususnya para elit dan media massa, tentang bahaya ideologi dan paham garis keras yang dibawa ke Tanah Air oleh gerakan transnasional Timur Tengah dan tumbuh seperti jamur di musim hujan dalam era reformasi kita.”
Penyesatan politik ini akan membuat umat Islam menganggap siapa pun yang mempertahankan ideologi dan negara moderat adalah kawan yang patut dibela mati-matian. Padahal negara moderat ini faktanya adalah negara sekular yang mengikuti model negara penjajah yang jelas-jelas mencampakkan agama dalam kehidupan masyarakat. Sejarah menuturkan, tak ada satu pun negeri Islam di dunia ini yang menjadi sekular, kecuali karena pengaruh penjajah kafir, baik langsung maupun tidak.
Sebaliknya, umat Islam akan menganggap siapa pun yang memperjuangkan ideologi dan negara yang berhaluan “garis keras”, sebagai lawan yang harus ditumpas dan dihancurkan. Padahal negara Khilafah yang tengah diperjuangkan adalah negara orisinal yang diisyaratkan oleh Nabi Muhammad saw. Hanya saja, ajaran ini telah disembunyikan dan dimanipulasikan oleh kaum penjajah dan penguasa Dunia Islam yang menjadi antek-antek penjajah.
Penyesatan politik ini tentu sangat berbahaya, baik secara internal maupun eksternal. Secara internal umat terpecah-belah dan saling bermusuhan atas dasar strategi Barat yang mendikotomikan umat Islam antara yang “moderat” dan yang “garis keras”. Akhirnya, umat Islam pecah menjadi dua golongan. Pertama: yang konsisten dengan ajaran Islam dan memusuhi penjajah kafir, yang disebut dengan istilah sinis sebagai “garis keras”. Kedua: yang membantu penjajah kafir, yang disebut dengan segala puja dan puji sebagai orang “moderat”.
Adapun secara eksternal, umat Islam juga dibuat lupa akan lawan yang hakiki, yaitu kaum penjajah kafir yang dipimpin oleh Amerika Serikat. Padahal seharusnya seluruh umat Islam bersatu-padu melawan musuh hakiki ini, bukan terpecah-belah demi menyukseskan strategi Barat yang amat destruktif itu.
Itulah penyesatan politik yang ada di balik kampanye “negara moderat”. Selain itu, di balik itu juga terjadi penyesatan ideologi yang tak kalah berbahaya dari penyesatan politik. Sebab, untuk menjadikan negeri-negeri Islam menjadi negara moderat, Barat tak segan-segan melakukan upaya sengaja dan sistematis untuk mengubah norma ajaran Islam agar sesuai dengan ideologi Barat.
Dalam strategi ideologisnya itu, Barat telah menggariskan strategi tertentu, misalnya memaksakan pengubahan kurikulum pendidikan di negeri-negeri Islam agar ajaran Islam lebih sesuai dengan ideologi Barat. Contohnya, seperti yang terjadi di Arab Saudi tahun 2003 ketika terjadi penggantian posisi jabatan Pangeran Faisal bin Abdullah. Semula dia menjabat Ketua Badan Intelijen, tetapi kemudian didudukkan sebagai Menteri Pendidikan. Ternyata posisi barunya ini adalah dalam rangka menjalankan misi khusus dari Washington senilai 2,4 miliar dolar AS, yaitu mengganti kurikulum pendidikan dengan cara mengganti buku-buku pelajaran yang ada agar menjadi “lebih moderat”. Buku-buku yang diganti antara lain yang membicarakan hukum jihad, yang diubah agar lebih lunak dan selaras dengan selera kaum penjajah kafir (Khuthurah Taghyir Al-Manahij Irdha`an li Al-Gharb, Al-Waie [Arab], No 272, Ramadhan 1430 H, September 2009).
Penyesatan ideologi ini tentu sangat berbahaya, karena yang terjadi bukan sekadar keterpecahbelahan umat seperti dalam penyesatan politik, tetapi perubahan norma ajaran Islam itu sendiri.
Propaganda Demokrasi
Memang banyak yang terkecoh ketika negara moderat dipropagandakan sebagai solusi dari rejim-rejim otoriter, sebagaimana yang ada di Timur Tengah saat ini seperti Suriah, Mesir, Arab Saudi dan sebagainya. Orang jelas akan lebih memilih negara moderat yang disebut-sebut memberikan hak rakyat untuk memilih penguasanya, daripada memilih negara otoriter yang merampas hak rakyat ini. Mereka yang mempropagandakan “negara moderat” akan menyatakan bahwa kondisi Timur Tengah ini disebabkan oleh “kurangnya demokrasi” (the lack of democracy) sehingga solusinya adalah membentuk negara moderat yang demokratis.
Padahal carut-marut kondisi perpolitikan Timur Tengah itu, termasuk kemunculan rejim-rejim otoriter, akarnya adalah penjajahan yang berlangsung awal abad ke-20 yang lalu. Penjajah kafirlah yang telah menciptakan instabilitas politik Timur Tengah dengan menghancurkan Khilafah di Turki tahun 1924 dan memecah-belah bekas wilayahnya dengan Perjanjian Sykes-Picot. Jadi, sumber masalahnya adalah penjajahan dan hilangnya pengaruh politik Islam, bukan karena tidak adanya demokrasi.
Karena itu, solusinya seharusnya adalah melenyapkan penjajahan dan segala dampaknya serta mengembalikan pengaruh politik Islam, bukan dengan mewujudkan “negara moderat” yang sebenarnya juga adalah konsep penjajah pula (HT Britain, Khilafah, Radikalisme dan Ekstremisme, hlm. 133).
Pandangan Islam
Memang konsep “negara moderat” cukup mendapat simpati dan dukungan dari sebagian umat Islam. Sebab, mereka mengasosiasikan negara moderat dengan “Islam moderat” yang diposisikan sebagai lawan dari “Islam garis keras” atau “Islam ekstrem”, atau “Islam teroris”. “Islam moderat” diopinikan selaras dengan kedamaian, sementara “Islam garis keras” diopinikan identik dengan kekerasan. Akhirnya, umat Islam pun terkecoh sehingga kemudian ramai-ramai mendukung paham “negara moderat” yang dikait-kaitkan dengan paham “Islam moderat”.
Padahal negara moderat yang dikehendaki Barat tak lain adalah negara sekular model Barat, bukan negara ideal seperti yang dikehendaki ajaran Islam. Barat sendiri telah memberi contoh, bahwa negara moderat yang harus diteladani adalah negara Turki modern yang didirikan oleh Mustafa Kamal Ataturk tahun 1924.
Jadi, jelaslah bahwa negara moderat adalah negara sekular, bukan yang lain. Maka dari itu, sikap Islam pun sangat jelas, negara moderat sangat bertentangan dengan negara yang diajarkan Islam, yaitu negara Khilafah.
Pertentangan negara moderat dengan negara Khilafah dapat dilihat antara lain pada hal-hal prinsipil berikut ini: Pertama, dalam negara moderat, agama dipisahkan dari urusan kehidupan, khususnya urusan pemerintahan. Agama dan negara terpisah. Sebaliknya, dalam negara Khilafah, agama tidak dipisahkan dari segala urusan kehidupan. Agama dan negara tidak terpisah, karena agama menjadi dasar negara. Rasulullah saw. bersabda:
Ketahuilah, sesungguhnya al-Quran dan kekuasaan akan terpisah. Maka dari itu, janganlah kalian memisahkan diri dari al-Quran (HR ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Shaghir, hadits no. 794; Lihat juga Al-Haitsami, Majma’ az-Zawa’id, V/225-226).
Sabda Rasulullah saw. di atas menunjukkan, bahwa asalnya al-Quran dan kekuasaan adalah satu dan tidak terpisah. Itulah model kekuasaan Islam yang diajarkan Rasulullah saw.
Kedua, dalam negara moderat, sumber hukumnya adalah manusia. Hal ini karena negara moderat adalah negara demokrasi yang berprinsip “kedaulatan di tangan rakyat”. Jelas ini sangat bertentangan dengan akidah Islam yang mengharamkan umatnya membuat hukum sendiri. Akidah Islam tidak membenarkan umatnya menghalalkan dan mengharamkan sesuatu menurut manusia (Lihat: QS at-Taubah [9]: 31). Sebaliknya, dalam negara Khilafah, sumber hukumnya adalah wahyu (al-Quran dan as-Sunnah) karena negara Khilafah berprinsip “Kedaulatan di tangan Syariah”. Ini sesuai dengan dalil al-Quran bahwa tidak ada yang berhak membuat hukum, kecuali Allah SWT. (Lihat: QS al-Anam [6]: 57) (Lihat ‘Imad Abdul Fattah al-Hasanat, Al-I’tidal al-Islami ‘ala ath-Thariqah al-Gharbiyah, Al-Waie [Arab], No 257 – 268).
Dari dua hal itu saja, sangat jelas bahwa negara moderat sangat bertolak belakang dengan negara Khilafah. Maka dari itu, negara moderat wajib ditolak oleh umat Islam karena bertentangan dengan ajaran Islam.
Walhasil, ketika Barat memuji-muji sebuah negeri Muslim sebagai “negara moderat”, sesungguhnya Barat tidak sedang bermaksud baik kepada kita, melainkan justru tengah berusaha menipu dan menjerumuskan kita. Waspadalah! []
Walhasil, ketika Barat memuji-muji sebuah negeri Muslim sebagai “negara moderat”, sesungguhnya Barat tidak sedang bermaksud baik kepada kita, melainkan justru tengah berusaha menipu dan menjerumuskan kita. Waspadalah!
Nah….gila ngga pendapat ini ????? memang anda bebas utk berbicara masalah khilafah, tapi bukan di indonesia tempatnya, ngga bakal berhasil itu. lawan anda yang pertama adalah KORUPTOR.
Ya begitulah barat
Segala cara dia lakukan untuk menghambat kemajuan Islam.
Mestinya umat Islam sadar akan propaganda ini, dan dengan tegas menolak demokrasi.