أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ * حَتَّى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ * كَلا سَوْفَ تَعْلَمُونَ * ثُمَّ كَلا سَوْفَ تَعْلَمُونَ * كَلا لَوْ تَعْلَمُونَ عِلْمَ الْيَقِينِ * لَتَرَوُنَّ الْجَحِيمَ * ثُمَّ لَتَرَوُنَّهَا عَيْنَ الْيَقِينِ * ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ
Bermegah-megahan telah melalaikan kalian, sampai kalian masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kalian akan mengetahui; dan janganlah begitu, kelak kalian akan mengetahui. Janganlah begitu, jika kalian mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, niscaya kalian benar-benar akan melihat neraka Jahim, dan sesungguhnya kalian benar-benar akan melihatnya dengan ‘ainulyaqin, kemudian kalian pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (QS at-Takatsur [102]: 1-8).
Surat ini dinamai at-takâtsur, diambilkan dari ayat pertama. Ibnu Marduyah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, surat ini turun di Makkah. Bahwa surat ini termasuk Makkiyah, menurut al-Qurthubi, Abu Hayyan, asy-Syaukani dan al-Qinuji merupakan pendapat seluruh mufassir. Adapun al-Bukhari meriwayatkannya sebagai Madaniyah.1
Dalam mushaf, surat yang terdiri delapan ayat ini berada setelah surat al-Qariah. Jika surat sebelumnya memberitakan tentang nasib dua kelompok manusia di Hari Kiamat, ada yang bahagia dan yang celaka, maka surat ini menjelaskan sebagian potret manusia yang mendapatkan kecelakaan.
Mengenai keutamaan surat ini diterangkan hadis dari Ibnu Umar ra., Rasulullah saw. bersabda:
أَلاَ يَسْتَطِيْعُ أَحَدُكُمْ أَنْ يَقْرَأَ أَلْفَ آيَةٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ؟ قَالُوْا: وَمَنْ يَسْتَطِيْعُ أَنْ يَقْرَأَ أَلْفَ آيَةٍ؟ قَالَ : أَمَا يَسْتَطِيْعُ أَحَدُكُمْ أَنْ يَقْرَأَ أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ؟
Tidakkah salah seorang di antara kalian mampu membaca seribu ayat setiap hari? Mereka menjawab, “Siapa yang mampu membaca seribu ayat?” Rasulullah saw bersabda, “Bukankah salah seorang di antara kalian mampu membaca al-hâkum al-takâtsur?” (HR al-Hakim dan mensahihkan-nya; al-Baihaqi dalam Asy-Sya’b).
Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman: Alhâkum al-takâtsur (Bermegah-megahan telah melalaikan kalian). Kata al-ilhâ’ berasal dari kata al-lahw. Menurut al-Alusi, kata al-lahw pada asalnya bermakna al-ghaflah (melalaikan). Kemudian kata tersebut berkembang mencakup segala hal yang menyibukkan. Secara ‘urf, perkara yang menyibukkan itu dikhususkan pada sesuatu yang menyenangkan seseorang sehingga kata tersebut berdekatan dengan kata al-la’b (permainan). Karena itu, tidak jarang kata al-la’b digunakan dengan makna al-lahw.2 Ar-Raghib al-Asfahani menyatakan, “Al-Lahw adalah segala yang menyibukkan manusia dari perkara yang berguna dan penting. Adapun frasa alhâhu kadzâ berarti syaghalahu ‘ammâ huwa ahammu (menyibukkannya dari semua yang lebih penting).3
Dengan demikian, sebagaimana dijelaskan banyak mufassir, frasa alhâkum di sini bermakna syaghalakum (menyibukkan kalian).4 Diberitakan dalam ayat ini bahwa yang membuat mereka sibuk dan lalai dari urusan yang lebih penting itu adalah at-takâtsur. Kata at-takâtsur berarti at-tafâkhur bi al-amwâl wa al-awlâd wa ar-rijâl (berbangga-banggaan dengan harta, anak-anak dan tokoh).5 Ibnu Abbas dan al-Hasan memaknai al-takâtsur di sini adalah dalam harta dan anak. Qatadah menafsirkannya, berbangga-bangga dengan kabilah dan keluarga. Adh-Dhahhak menafsirkannya sebagai mencari penghidupan dan perdagangan.6
Ditegaskan asy-Syaukani, ayat ini menjadi dalil bahwa al-isytighâl dengan dunia, saling berlomba dan berbangga dengannya merupakan al-khishâl al-madzmûmah (tabiat yang tercela).7
Kemudian ditegaskan: hattâ zurtum al-maqâbir (sampai kalian masuk ke dalam kubur). Huruf hattâ ini ghâyah (batas akhir) dari ayat sebelumnya, alhâkum.8 Maksud zurtum al-maqâbir adalah datangnya kematian.9 Itu berarti, sepanjang hidup mereka hanya dihabiskan untuk berlomba, bersaing dan berbangga dengan banyaknya harta, anak, kedudukan dan kesenangan dunia lainnya. Perilaku mereka tidak berubah hingga mereka meninggal dunia.
Terhadap mereka, Allah SWT berfirman: Kallâ sawfa ta’lamûn (Janganlah begitu, kelak kalian akan mengetahui). Kata kallâ merupakan rad’[un] wa tanbîh[un] (mencegah dan memberikan peringatan) bahwa tidak semestinya bagi orang yang memperhatikan dirinya menjadikan dunia sebagai pusat seluruh perhatiannya dan tidak mementingkan urusan agamanya. Sawfa ta’lamûn merupakan peringatan keras agar mereka takut lalu berhenti dari kelalaian mereka.10
Ancaman itu pun diulangi lagi dalam ayat berikutnya: Tsumma kallâ sawfa ta’lamûn (Janganlah begitu, kelak kalian akan mengetahui). Menurut az-Zamakhsyari, al-Alusi, al-Baidhawi dan Ibnu Juzyi, takrîr (pengulangan) tersebut berguna sebagai at-ta’kîd (penegasan) terhadap peringatan keras dan ancaman itu. Adapun kata tsumma untuk menunjukkan bahwa yang kedua itu lebih tegas daripada yang pertama.11 Ibnu Jarir menuturkan, kalimat tersebut diulangi dua kali karena orang Arab, jika ingin menegaskan at-takhwîf wa at-tahdîd, mengulanginya dua kali.12
Penjelasan lain dikemukakan Ibnu Abbas. Menurut beliau, kallâ sawfa ta’lamûn berbicara tentang azab yang turun di alam kubur, sedangkan tsumma kallâ sawfa ta’lamûn tentang azab di akhirat. Artinya, yang pertama terjadi di alam kubur, sedangkan yang kedua di akhirat. Dengan demikian, pengulangan itu menunjuk pada dua keadaan yang berbeda.13
Selanjutnya Allah SWT berfirman: Kallâ law ta’lamûn ‘ilm al-yaqîn (Janganlah begitu, jika kalian mengetahui dengan pengetahuan yang yakin). Makna kallâ di sini tidak berbeda dengan ayat sebelumnya, bahwa semestinya mereka tidak bertindak demikian. Law merupakan harf imtinâ’ li al-imtinâ’. Artinya, seandainya kalian mengetahui dengan pengetahuan yang yakin akibat saling berbangga, niscaya tidak akan melalaikan kalian. Al-‘Ilm al-yaqînî adalah pengetahuan yang lahir dari keyakinan yang sesuai dengan fakta yang bersumber dari dalil qath’i lagi kokoh, baik ditunjukkan oleh akal yang sehat maupun informasi yang kuat dari Nabi saw.14
Ancaman kepada mereka disebutkan lagi: latarawunna al-Jahîm (niscaya kalian benar-benar akan melihat neraka Jahim). Kalimat ini merupakan jawâb qasam mahdzûf (jawaban dari kalimat sumpah yang dihilangkan), yakni: Wal-Lâhi, latarawunna al-Jahîm fî al-âkhirah (Demi Allah, kalian benar-benar akan melihat neraka Jahanam di akhirat). Di dalamnya ada tambahan ancaman.15Digunakan Qasam berguna sebagai li tawkîd al-wa’îd (untuk menegaskan ancaman), sekalipun apa yang diancamkan kepada mereka itu tidak termasuk perkara yang boleh diragukan atau disangsikan. Artinya, kalian benar-benar akan melihat neraka Jahanam dengan penglihatan kalian setelah mati.16
Ayat berikutnya memberikan penegasan: Tsumma latarawunnahâ ‘ayn al-yaqîn (dan sesungguhnya kalian benar-benar akan melihatnya dengan `ainulyaqin). Dalam ayat ini berisi pengulangan dari kalimat sebelumnya. Menurut an-Nasafi, pengulangan yang disertai dengan tsumma itu berguna sebagai taghlîzh fî al-tahdîd wa ziyâdah fî al-tahwîl (memberatkan ancaman dan menambah rasa takut).17 Ditambahkan kata ‘ayn al-yaqîn berguna untuk menafikan kemungkinan dipahaminya ar-ru’yah (penglihatan) secara majazi.18 Itu artinya, mereka benar-benar akan melihat neraka Jahanam dengan mata kepala sendiri.
Surat ini pun diakhiri dengan firman-Nya: Tsumma latus’alunna yawmaidzi[n[ ‘an al-na’îm (Kemudian kalian pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan). Kata an-na’îm di sini berbentuk umum sehingga kenikmatan yang ditanyakannya pun bersifat umum. Demikian penjelasan ath-Thabari, Abu Hayyan, al-Alusi dan Ibnu Juzyi.19
Menurut Abu Hayyan, ada perbedaan antara pertanyaan terhadap Mukmin dan kafir. Jika Mukmin ditanya dengan pertanyaan penghormatan dan memuliakan, sedangkan kafir ditanya dengan pertanyaan teguran dan celaan.20
Berlomba dalam Urusan Dunia, Melupakan Akhirat
Dalam hidupnya, manusia memerlukan harta. Dengan harta, manusia bisa memenuhi aneka kebutuhan hidupnya. Jadi wajarlah jika manusia terdorong untuk mencari harta. Manusia juga memerlukan anak dan keturunan. Keberadaan anak dan keturunan menjadi pelanjut generasi manusia dalam kehidupan. Tidak aneh jika manusia senang dikarunia anak-anak. Sampai di titik ini tidak ada masalah.
Akan tetapi, menjadi masalah ketika harta dan anak-anak dipandang lebih dari itu, yakni ketika keduanya dipandang sebagai sarana untuk menaikkan gengsi, lambang kebanggaan dan ukuran kemuliaan. Pandangan ini akan mengakibatkan pelakunya sibuk bekerja keras siang-malam untuk mengumpulkan harta yang banyak; bukan untuk memenuhi kebutuhannya, namun untuk berlomba, dan bersaing untuk menempati urutan teratas dalam soal harta dan anak-anak. Masing-masing mereka belum merasa lega jika masih ada orang lain yang lebih banyak harta dan anak-anaknya. Ketika ini terjadi, maka berapa pun jumlah harta yang dimiliki tidak akan membuat dirinya merasa puas. Tamak dan rakus terhadap harta serta selalu merasa kurang akan terus menghantui pikirannya. Seandainya mereka memiliki dua lembah emas, mereka pasti masih menginginkan lembah emas ketiga. Begitu seterusnya dan tak ada ujungnya. Keadaan mereka seperti yang digambarkan dalam hadis dari Ibnu Abbas ra., bahwa Rasulullah saw. bersabda:
لَوْ كَانَ لاِبْنِ آدَمَ وَادِيَانِ مِنْ مَالٍ لاَبْتَغَى ثَالِثًا، وَلاَ يَمْلأُ جَوْفَ ابْنِ آدَمَ إِلاَّ التُّرَابُ
Seandainya anak Adam memiliki dua lembah harta, sungguh dia masih mengharapkan lembah ketiga. Tidak akan memenuhi perutnya kecuali tanah (kuburnya, yakni kematian) (HR al-Bukhari).
Keadaannya kian parah ketika keasyikan mereka berlomba dan berbangga-bangga soal harta dan anak-anak itu melupakan Allah SWT yang menciptakan dirinya dan akhirat yang menjadi tempat kembalinya yang abadi. Mereka juga melalaikan semua kewajiban yang harus ditunaikan sebagai makhluk ciptaan-Nya. Tak hanya itu, mereka tidak mempedulikan semua larangan-Nya; sesuatu yang tidak patut dilakukan oleh makhluk ciptaan-Nya.
Akan tetapi, itu terus-menerus dilakukan hingga kematian datang. Seluruh hidup mereka hanya dicurahkan untuk berlomba-lomba dan berbangga-bangga dengan banyaknya harta, anak-anak, kedudukan dan semacamnya. Yang kesemuanya harus berpisah dengannya ketika dia meninggalkan dunia. Dari Anas bin Malik berkata, Rasulullah saw. bersabda:
يَتْبَعُ الْمَيِّتَ ثَلاَثَةٌ، فَيَرْجِعُ اثْنَانِ وَيَبْقَى مَعَهُ وَاحِدٌ، يَتْبَعُهُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَعَمَلُهُ، فَيَرْجِعُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ، وَيَبْقَى عَمَلُ
Mayit itu diikuti oleh tiga; dua kembali dan satu yang tetap bersamanya. Dia diikuti keuarganya, hartanya dan amalnya. Keluarga dan hartanya kembali, sementara amalnya tetap bersamanya (HR al-Bukhari, Muslim, an-Nasa’i, at-Tirmidzi dan Ahmad).
Karena itu, selagi semuanya belum terlambat, dan sebelum sesal abadi tak berguna terjadi, surat ini memberikan peringatan dan ancaman keras kepada mereka. Wa’îd ba’da wa’îd (ancaman demi ancaman) yang disampaikan dalam surat ini menunjukkan dahsyatnya azab yang bakal mereka terima. Dengan ancaman itu, diharapkan mereka mau segera berhenti dari perilaku menyimpang seraya bergegas mengikuti petunjuk-Nya. Namun, jika mereka tetap tak peduli, niscaya azab yang dahsyat bakal mereka rasakan. Neraka Jahanam dengan segala siksanya akan ditimpakan kepada mereka.
Semoga kita tidak termasuk dalam kelompok orang yang diberitakan surat ini. Sebaliknya, kita termasuk orang-orang yang menyambut perintah Allah SWT untuk berlomba dalam kebaikan: Fastabiqû al-khayrât (QS al- Baqarah [2]: 148) dan bersegera menuju ampunan-Nya dan surga (QS Ali Imran [3]: 133).
Wal-Lâh a’lam bi ash-shawâb. []
Catatan Kaki:
1 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20 (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1964), 168; al-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5 (tt: Dar al-Wafa’, 1994), 656; Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhtîth, vol. 8 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), 505; al-Qinuji, Fath al-Bayân, vol. 15 (Beirut: Maktabah al-‘Ashriyyah, 1992), 363.
2 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 452.
3 Al-Asfahani, al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân (Beirut: Dar al-Ma’rifah, tt), 455.
4 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, 168; al-Nasafi, Madârik al-Tanzîl wa Haqâiq al-Ta’wîl, vol. 4 (Beirut: Dar al-Nafais, tt), 286; Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhtîth, vol. 8, 505; al-Baidhawi, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wîl, vol 5 (Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabiy, tt), 334; Ibnu Juz’yi al-Kalbi, al-Tas-hîl, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 605; al-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5, 657; al-Qinuji, Fath al-Bayân, vol. 15, 364.
5 Az-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 30 (Beirut: Dar al-Fikr, 1998), 383. Ibnu ‘Athiyyah, al-Muharrar al-Wajîz, vol. 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), 518 juga memaknai al-takâtsur dengan al-tafâkhur bi al-amwâl wa al-awlâd wa al-‘adad jumlah (saling membanggakan diri dengan harta, anak-anak, dan jumlah secara keseluruhan).
6 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, 168.
7 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5, 657.
8 As-Samin al-Halbi, al-Durr al-Mashûn, vol. 11 (Damaskus: Dar al-Qalam, tt), 97.
9 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, 169; al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 24, 580; al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 6 (Riyadh: Maktabah Abikan, 1998), 424; al-Nasafi, Madârik al-Tanzîl wa Haqâiq al-Ta’wîl, vol. 4, 286; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8 (Riyadh: Dar Thayyibah, 1999), 472; al-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5, 657; al-Baghawi, Ma’âlim al-Tanzîl, vol. 5 (Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabiy, 2000), 298; al-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), 506; al-Biqa’i, Nazhm al-Durar, vol. 12 (Kairo: Dar al-Kitab al-Islami, tt), 226; al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 30, 383.
10 As-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 3, 506.
11 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15, 453; al-Baidhawi, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wîl, vol 5, 334; Ibnu Juz’yi al-Kalbi, al-Tas-hîl, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 605.
12 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 24, 581.
13 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, 172.
14 Az-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 30, 383.
15 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5, 658.
16 al-Khazin, Lubâb al-Tawîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 7 (Beirut: Dar al-Fikr, 1979), 286. Bahwa qasam itu berguna li tawkîd al-wa’îd (untuk menegaskan ancaman) juga dikemukakan al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 6, 425; al-Nasafi, Madârik al-Tanzîl wa Haqâiq al-Ta’wîl, vol. 4, 286.
17 An-Nasafi, Madârik al-Tanzîl wa Haqâiq al-Ta’wîl, vol. 4, 286.
18 Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhtîth, vol. 8, 506.
19 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 24, 586; Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhtîth, vol. 8, 506; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15, 454; Ibnu Juz’yi al-Kalbi, al-Tas-hîl, vol. 2, 606.
20 Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhtîth, vol. 8, 506.