PRIVATISASI asal-asalan selalu mengundang kehebohan dan memunculkan beragam tudingan. Terlebih bila privatisasi itu menyangkut badan usaha milik negara (BUMN) berkategori gemuk.
Itulah yang terjadi pada privatisasi PT Krakatau Steel, sebuah perusahaan baja terkemuka milik negara. Pemerintah, lewat penjualan saham perdana (initial public offering/IPO), menawarkan harga saham per lembarnya cuma Rp850.
Menurut rencana, 20% saham atau setara dengan 3,155 miliar saham PT Krakatau Steel akan dilepas ke publik. Dengan penjualan saham itu, pemerintah berharap bisa meraup dana sekitar Rp2,6 triliun.
Kehebohan muncul karena harga saham yang dipatok itu terlalu rendah alias murah. Padahal harga bukunya saja bisa mencapai Rp1.000 per saham. Apalagi, PT Krakatau Steel bukan perusahaan yang sedang sekarat, melainkan punya kinerja yang cukup sehat.
Tengok, misalnya, keuntungan PT Krakatau Steel pada semester I tahun ini. Perusahaan yang berdiri pada 1962 itu mampu meraup keuntungan sedikitnya Rp1 triliun. Itu sebabnya, ketika harga saham PT Krakatau Steel diobral, peminatnya melonjak hingga sepuluh kali lipat.
Namun, bukan cuma kelewat murahnya harga saham yang memicu kehebohan. Kabarnya, investor ritel bakal terpinggirkan karena penjualan saham itu dikuasai pemain besar, pejabat, dan politikus.
Karena itu, muncul bermacam-macam tudingan. Salah satunya, penjualan harga saham PT Krakatau Steel yang kelewat murah itu dijadikan sumber dana untuk menghadapi Pemilu 2014.
Anehnya, yang bersemangat mengobarkan penolakan penjualan saham PT Krakatau Steel itu justru dari kalangan partai politik, termasuk mereka yang duduk di kursi DPR. Padahal, publik tahu sejak lama BUMN basah menjadi sapi perah atau ATM berjalan kalangan partai maupun elite.
Itu sebabnya banyak yang mencibir bahwa politikus yang begitu bersemangat membongkar skandal penjualan saham PT Krakatau Steel itu adalah mereka yang tidak kebagian jatah.
Namun, yang lebih aneh lagi, Kementerian BUMN tidak berdaya mengubah harga saham karena sudah ada perjanjian yang mengikat. Bahkan, proses IPO yang nanti resmi masuk bursa pada 10 November tidak bisa ditunda karena akan terkena penalti. Padahal, tingkat kerugian akibat dari penjualan saham yang terlalu murah itu bisa mencapai triliunan rupiah.
Sebenarnya, bukan kali ini saja privatisasi PT Krakatau Steel mengundang kontroversi. Pada 2008, privatisasi lewat strategic sales pun memicu keributan. Privatisasi urung dilaksanakan karena derasnya arus penolakan.
Karena itu, sudah saatnya privatisasi asal-asalan dan akal-akalan dihilangkan. Supaya tidak ada lagi privatisasi yang dibalut kerakusan politik.
Publik sudah sangat paham dengan tabiat para politikus. Mereka gencar menuntut ini dan itu, tapi kemudian diam ketika kepentingan mereka terakomodasi.
Sesungguhnya, privatisasi yang hanya menghancurkan industri strategis karena pragmatisme elite itulah yang pantas disebut bencana. Bencana yang dibungkus rapi melalui prosedur yang benar, tetapi menyimpan kejahatan luar biasa. (mediaindonesia.com,5/11/2010)