HTI

Tafsir (Al Waie)

Akhirat: Kehidupan Sebenarnya

(Tafsir QS al-Qari’ah [101]: 1-11)

الْقَارِعَةُ، مَا الْقَارِعَةُ، وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْقَارِعَةُ، يَوْمَ يَكُونُ النَّاسُ كَالْفَرَاشِ الْمَبْثُوثِ، وَتَكُونُ الْجِبَالُ كَالْعِهْنِ الْمَنْفُوشِ، فَأَمَّا مَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ، فَهُوَ فِي عِيشَةٍ رَاضِيَةٍ، وَأَمَّا مَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ، فَأُمُّهُ هَاوِيَةٌ، وَمَا أَدْرَاكَ مَا هِيَهْ، نَارٌ حَامِيَةٌ.

Hari Kiamat, apakah hari Kiamat itu? Tahukah kamu apakah hari Kiamat itu? Pada hari itu manusia seperti anai-anai yang bertebaran, dan gunung-gunung seperti bulu yang dihambur-hamburkan. Dan adapun orang-orang yang berat timbangan (kebaikan) nya, maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan. Dan adapun orang-orang yang ringan timbangan (kebaikan) nya, maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah. Dan tahukah kamu apakah neraka Hawiyah itu? (Yaitu) api yang sangat panas (QS al-Qari’ah [101]: 1-11).

Dalam mushaf, surat ini terletak sesudah surat al-‘Adiyat. Tidak ada perbedaan bahwa surat ini termasuk Makiyyah.1 Dilihat dari isinya, tampak ada hubungan erat dengan surat sebelumnya. Dalam surat sebelumnya diberitakan, manusia akan mengetahui tatkala dibangkitkan dari kuburnya. Apa yang ada di dalam hatinya juga akan dikeluarkan. Berita tersebut seolah menyisakan pertanyaan: Kapan peristiwa itu terjadi? Surat ini memberikan jawabannya, bahwa peristiwa itu akan terjadi pada hari kiamat.

Tafsir Ayat

Allah SWT berfirman: Al-Qâri’ah. Menurut kebanyakan mufassir, makna al-Qâri’ah adalah al-Qiyâmah (Hari Kiamat). Bahkan Fakhruddin ar-Razi menegaskan, pengertian ini telah menjadi kesepakatan.2 Dengan demikian, al-Qâri’ah merupakan salah satu nama Hari Kiamat, sebagaimana al-Hâqqah, ath-Thâmmah, ash-Shâkhkhah, al-Ghâsyiyah, dan lain-lain.3

Menurut Ibnu ‘Abbas, disebut al-Qâri’ah karena Hari Kiamat menggetarkan hati dengan ketakutan dan menggentarkan musuh-musuh Allah dengan azab. Orang Arab mengatakan, “Qara’at-hum al-qâri’ah,” ketika terjadi peristiwa yang mengerikan (amr fazhî’).4 Menurut al-Khazin, pada asalnya kata al-qar’u berarti ash-shawt asy-syadîd (suara yang amat keras).5

Kemudian Allah SWT berfirman: Mâ al-Qâri’ah? Ini merupakan kalimat istifhâm yang berarti: Ayyu syay’[in] hiya al-qâri’ah (Apakah al-Qari’ah itu).6 Bentuk istifhâm di sini berguna li at-ta’zhîm wa at-tafkhîm li sya’nihâ (untuk mengagungkan dan membesarkan urusannya).7

Ditegaskan lagi dalam ayat berikutnya: Wa mâ adrâka mâ al-qâri’ah? Menurut asy-Syaukani dan al-Qinuji, ayat ini merupakan ta’kîd li syiddatihâ wa mazîd fazhâ’atihâ (menegaskan kedahsyatan dan menambah kengeriannya) sehingga seolah-olah keluar dari wilayah pengetahuan makhluk disebabkan karena tidak bisa dijangkau oleh ilmu seorang pun dari mereka.8 Redaksi ayat-ayat ini sama dengan QS al-Haqqah [69]: 1-3.

Selanjutnya peristiwa yang terjadi pada hari itu diberitakan: Yawma yakûnu an-nâs ka al-farâsy al-mabtsûts (Pada hari itu manusia seperti anai-anai yang bertebaran). Pada saat itu keadaan manusia digambarkan seperti al-farâsy al-mabtsûts. Menurut asy-Syaukni, al-farâsy itu adalah binatang terbang yang berjatuhan pada cahaya dan lampu. Bentuk tunggalnya al-farasyah. Menurut al-Farra’, al-farâsy adalah binatang yang terbang, seperti nyamuk dan lainnya. Belalang juga termasuk di dalamnya; sedangkan al-mabtsûts berarti al-mutafarriq wa al-muntasyir (berpencaran dan bertebaran).9

Menurut Qatadah, mereka diserupakan dengan anai-anai yang terpencar-pencar dan beterbangan dalam hal banyaknya, bertebarannya, kelemahannya, kehinaannya, kedatangan maupun kepergiannya yang tanpa aturan tertentu, dan terbang menuju Pemanggil dari semua arah ketika Allah memanggil mereka ke Padang Mahsyar.10

Al-Khazin juga menuturkan, diserupakan manusia dengan farasy karena binatang tersebut beterbangan tidak menuju pada satu arah yang sama. Ini menunjukkan, ketika dibangkitkan para makhluk tersebut berpencaran; masing-masing menuju kepada arah yang berbeda.11 Dalam ayat lain ia diserupakan dengan belalang yang bertebaran (Lihat: QS al-Qamar [54]: 7).

Peristiwa lainnya disebutkan dalam ayat berikutnya: Wa takûnu al-jibâl ka al-‘ihn al-manfûsy (dan gunung-gunung seperti bulu yang dihambur-hamburkan). Gunung-gunung yang besar dan kokoh itu juga porak-poranda pada Hari Kiamat. Saat itu, gunung digambarkan seperti al-‘ihn al-manfûsy. Mujahid, Ikrimah, Sa’id bin Jubair, al-Hasan, Qatadah, Atha’, al-Khurasani, adh-Dhahhak dan as-Sudi memaknai al-‘ihn adalah ash-shawf (bulu).12 Sebagaimana dikutip al-Qurthubi, menurut ahli bahasa kata al-‘ihn berarti ash-shawf al-masbûgh (bulu yang diwarnai). Tidak disebut al-ihn kecuali telah diwarnai dengan aneka warna.13

Patut dicatat, gunung yang diciptakan Allah SWT itu memang berwarna-warni (Lihat: QS Fathir [35]: 27)

Menurut az-Zamakhsyari, dikatakan al-manfûsy disebabkan karena bagian-bagiannya yang terpisah-pisah.14 Gambaran itu menunjukkah dahsyatnya guncangan yang terjadi pada Hari Kiamat. Demikian dahsyatnya hingga gunung-gunung yang terlihat besar, tinggi dan kokoh itu pun porak-poranda laksana bulu-bulu berhamburan (Lihat juga: QS al-Ma’arij [70]: 9; QS al-Muzzammil [73]: 14).

Penggabungan berita tentang keadaan manusia dan gunung seolah-olah Allah SWT memberitakan dahsyatnya pengaruh Hari Kiamat itu. Jika gunung-gunung yang besar, kuat dan kokoh itu bagaikan bulu-bulu berhamburan, lalu bagaimana keadaan manusia yang lemah ketika mendengar suara al-qâri’ah itu.15

Kemudian diberitakan kejadian lainnya yang menyangkut nasib manusia. Allah SWT berfirman: Fa ammâ man tsaqulat mawâzînuhu (adapun orang-orang yang berat timbangan [kebaikan]nya). Kata al-mawâzîn merupakan jamak dari kata al-mawzûn (yang ditimbang), yakni amal yang memiliki timbangan dan takaran di sisi Allah. Bisa juga kata ini adalah jamak dari al-mîzân (timbangan).16 Pada hari itu, amal perbuatan yang dilakukan manusia semasa di dunia ditimbang. Dalam ayat ini diterangkan mengenai orang yang kebaikannya melebihi keburukannya. Sebab, pengertian tsaqulat mawâzînuhu adalah rajahat mawâzînu hasânatihi (timbangan kebaikannya lebih berat).17

Terhadap mereka, Allah SWT berfirman: Fahuwa fî ‘îsyah râdhiyyah (maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan). Dijelaskan al-Qurthubi dan ar-Razi, frasa ‘îsyah râdhiyyah berarti ‘îsy mardhiy (kehidupan yang disenangi), yakni disenangi oleh pelakunya. Menurut Ibnu Katsir, yang dimaksud dengan ‘îsyah râdhiyyah tak lain adalah surga. Sebagaimana dinyatakan as-Samarqandi, dalam kehidupan tersebut tidak ada kematian, kefakiran, kesakitan dan ketakutan. Dengan kata lain, kehidupannya aman dari segala ketakutan dan kefakiran.18

Keadaan sebaliknya diterangkan dalam ayat-ayat berikutnya: Wa ammâ man khaffat mawâzînuhi (adapun orang-orang yang ringan timbangan [kebaikan]nya). Artinya, keburukannya mengalahkan kebaikannya; atau tidak ada kebaikan baginya yang bisa dihitung.19 Termasuk dalam cakupan ayat ini adalah orang-orang kafir yang amalnya terhapus dan tidak dilakukan penimbangan (Lihat: QS al-Kahfi [18]: 105).

Balasan terhadap mereka adalah: Fa ummuhu hâwiyah (maka tempat kembalinya adalah Neraka Hawiyah). Pengertian ummuhu di sini adalah ma’wâhu (tempat tinggal, tempat perlindungannya). Menurut an-Nasafi, ungkapan tersebut merupakan tasybîh (perumpamaan). Sebab, al-umm adalah ma’wâ al-walad wa mafza’ahu (tempat berlindung dan minta perolongan).20 Adapun hâwiyah adalah salah satu nama neraka.21Pengertian tersebut dapat disimpulkan dari ayat-ayat berikutnya sehingga fa ummuhu hâwiyah berarti maskanahu wa ma’wâhu an-nâr (tempat tinggalnya adalah neraka).22 Qatadah juga mengartikan fa ummuhu hâwiyah sebagai fa mashîruhu an-nâr (tempat kembalinya neraka). Disebut ummuhu karena menjadi tempat kembali dan tempat tinggalnya.23

Dalam ayat berikutnya Allah SWT berfirman: Wa mâ adrâka mâ hiyah (Tahukah kamu apakah Neraka Hawiyah itu?). Pada asalnya mâ hiya; kemudian dimasuki huruf al-hâ’. Sebagaimana ayat ketiga, kalimat istifhâm ini juga menunjukkan ta’zhîm[an] li syiddatihâ (mengagungkan kedahsyatannya).24

Kemudian dijelaskan dalam akhir surat ini: nâr[un] hâmiyah ([yaitu] api yang sangat panas). Dijelaskan al-Qurthubi, frasa tersebut bermakna syadîd al-harârah (panas yang luar biasa). Menurut an-Nasafi, ungkapan ini menunjukkan pengertian panasnya hingga puncak. As-Samarqandi juga menuturkan, frasa tersebut bermakna panas, yang panasnya mencapai puncaknya.25

Kiamat: Potret Manusia Sebenarnya

Surat ini mengandung banyak pelajaran penting bagi manusia. Beberapa di antaranya adalah: Pertama, kepastian dan hakikat Hari Kiamat. Secara tegas surat ini memastikan kedatangan Hari Kiamat. Hari itu adalah hari berakhirnya kehidupan dunia. Hal ini ditandai dengan kehancuran alam semesta yang menjadi tempat kehidupan manusia di dunia. Gunung-gunung yang terlihat kokoh porak-poranda seperti bulu yang diterbangkan. Manusia pun berlarian dan berpencaran tak tentu arah.

Gambaran kehancuran alam semesta ini banyak diberitakan dalam al-Quran. Pada hari itu bumi diguncangkan dengan goncangan yang keras. Saat itu, bumi mengeluarkan beban berat yang dikandungnya (Lihat: QS al-Zalzalah [99]: 1-2). Langit terbelah, bintang-bintang jatuh berserakan dan lautan meluap (QS al-Infithar [82]: 1-3). Langit digulung dan lautan dipanaskan (QS at-Takwir [81]: 1 6). Masih banyak lagi kejadian lain yang diberitakan dalam al-Quran yang menggambarkan berakhirnya kehidupan dunia. Kejadian tersebut demikian dahsyat sehingga manusia berlarian pontang-panting tak tentu arah. Tidak lagi mempedulikan saudara, ayah dan ibunya, istri dan anaknya. Semuanya disibukkan dengan urusannya masing-masing (QS Abasa [80]: 34-37).

Kedua, nasib manusia setelah Kiamat. Kehancuran kehidupan dunia bukan berarti berakhir pula perjalanan hidup manusia. Setelah kehidupan dunia berakhir, manusia akan dibangkitkan untuk mempertanggungjawabkan seluruh amal perbuatannya di dunia. Dalam surat ini diberitakan, amal manusia di dunia akan ditimbang. Standar baik atau buruk amal manusia tentu didasarkan pada syariah yang telah diturunkan-Nya.

Orang-orang yang timbangan kebaikannya lebih berat ditempatkan ke dalam kehidupan yang menyenangkan: surga. Termasuk dalam cakupan ini adalah orang-orang yang masuk surga tanpa hisab, sebuah kehidupan yang amat disenangi manusia. Di dalamnya mereka mendapatkan segala yang diminta (Lihat: QS Yasin [36]: 57). Gambaran tentang kenikmatan surga tersebut diberitakan dalam banyak ayat.

Sebaliknya, orang-orang yang timbangan keburukannya lebih berat atau bahkan sama sekali tidak ada yang layak ditimbang, tempat tinggal mereka adalah neraka. Dalam surat ini disebutkan salah satunya adalah Neraka Hawiyah; neraka yang apinya sangat panas. Mengenai panasnya api neraka, bisa disimak dalam Hadits an-Nu’man bin Basyir ra. yang pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda:

إِنَّ أَهْوَنَ أَهْلِ النَّارِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَرَجُلٌ تُوضَعُ فِى أَخْمَصِ قَدَمَيْهِ جَمْرَةٌ يَغْلِى مِنْهَا دِمَاغُهُ

Sesungguhnya azab yang paling ringan dari penghuni neraka pada Hari Kiamat ialah seorang yang diletakkan pada kedua telapak kakinya sepotong bara api yang menyebabkan otaknya mendidih (Muttafaq ‘alaih).

Patut ditegaskan, dahsyatnya azab itu merupakan balasan yang seimbang dengan perbuatan yang dilakukan manusia (Lihat: QS an-Naba’ [78]: 26). Tidak ada seorang pun yang dizalimi dan tidak dibalas kecuali apa yang telah dikerjakan (Lihat: QS Yasin [36]: 54). Demikian pula dengan pahala dan surga yang diberikan kepada orang yang bertakwa. Kenikmatan itu merupakan balasan atas kebaikan yang dilakukan; sekaligus sebagai pemberian dari Allah SWT (Lihat: QS an-Naba’ [78]: 36).

Inilah nasib manusia yang sesungguhnya. Maka dari itu, agar kita terhindar dari neraka sekaligus bisa mendapatkan surga, tidak ada pilihan lain bagi kita kecuali mengokohkan keimanan dan bersegera menggiatkan amal shalih. Sekaranglah waktunya. Bukan besok atau lusa. Semoga kita termasuk orang yang timbangan kebaikannya mengalahkan keburukan.

Wal-Lâh a’lam bi ash-shawâb. []

Catatan kaki:

1 Al-Alusi, h al-Ma’ânî, vol. 15 (Beirut: Dar al-Kutub, 1995), 447; asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5 (tt: Dar al-Wafa’, tt), 653.

2 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20 (Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub, 200), 164; as-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), 505. Lihat juga: Ibnu ‘Athiyyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), 516; al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 32 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2000), 67.

3 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8 (Riyadh, Dar al-Thayyibah, 1999), 468; as-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 3, 505

4 Al-Qinuji, Fath al-Bayân, vol. 15 (Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyyah, 1992), 359; asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5, 653.

5 Al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl, vol. 7 (Beirut: Dar al-Fikr, 1979), 284.

6 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, 164.

7 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5, 653; al-Qinuji, Fath al-Bayân, vol. 15, 359

8 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5, 653; al-Qinuji, Fath al-Bayân, vol. 15, 35.

9 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5, 653. Lihat juga: al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 18, 284 & vol. 20, 165.

10 Al-Alusi, h al-Ma’ânî, vol. 15, 448. Penjelasan serupa juga dikemukakan az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 6 (Riyadh: Maktabah al-Abikan, 1998), 421.

11 Al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl, vol. 7, 284.

12 Ibnu katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8, 468.

13 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 4, 165 hanya menyebut ash-shawf al-mashbûgh (bulu yang diwarnai). Adapun asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5, 65, menyatakan: ash-shawf al-mashbûgh bi al-alwân al-mukhtalifah (bulu yang diwarnai dengan aneka warna). Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 6 421 memaknainya: ash-shawf al-musbagh alwâwan[an] (bulu yang diwarnai dengan berbagai warna).

14 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 6, 421.

15 Al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl, vol. 7, 284.

16 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 6, 421. Lihat juga: ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 32, 67.

17 Al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl, vol. 7, 284.

18 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, 165; ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 32, 70; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8, 468; as-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 3, 505.

19 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5, 653.

20 An-Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa Haqâiq at-Ta’wîl, vol. 4 (Beirut: Dar al-Nafais, tt), 285.

21 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 6, 421; Ibnu katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8, 468; al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl, vol. 7, 285.

22 An-Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa Haqâiq at-Ta’wîl, vol. 4, 285.

23 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5, 654.

24 As-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 3, 505.

25 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, 167; an-Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa Haqâiq at-Ta’wîl, vol. 4, 285; as-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 3, 505.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*