HTI

Afkar (Al Waie)

Human Right: Ide Hipokrit

The War Logs

Situs WikiLeaks telah merilis lebih dari 400.000 dokumen rahasia AS tentang Perang Irak dari Januari 2004 sampai Desember 2009. Bocoran dokumen itu mengungkapkan rincian peristiwa perkosaan, penyiksaan, pembunuhan warga sipil yang dilakukan dari helikopter tempur dan insiden lainnya oleh pasukan koalisi dan pasukan Irak, yang bahkan dilakukan di bawah kontrol Obama pada tahun 2009. Dokumen itu juga mengungkapkan bagaimana tentara koalisi menutup mata atas laporan tentang penyiksaan dan pembunuhan yang dilakukan secara ekstrajudisial oleh pemerintah boneka Irak.

Pembocoran dokumen Perang Afganistan (Afghan War Diary atau The War Logs) terjadi pada 25 Juli 2010 saat informasi internal militer Amerika Serikat disiarkan oleh Wikileaks. Situs tersebut mengungkapkan dokumen aktivitas militer AS, tentara Pakistan, kepemimpinan politik Afganistan, serta hubungan dengan pemimpin al-Qaeda dan Taliban. Sebelum dirilis kepada publik, Wikileaks telah memberikan akses kepada The Guardian, The New York Times, dan Der Spiegel. Kebanyakan dokumen ini dikelompokan sebagai dokumen “rahasia”. Kebocoran ini dianggap sebagai salah satu yang terbesar dalam sejarah militer Amerika Serikat. (http://id.wikipedia.org/wiki/Pembocoran_Dokumen_Perang_Afganistan)

Beberapa yang diungkapkan oleh The War Logs antara lain:

Pemburuan sebuah unit rahasia “Black” yang diberi tugas khusus untuk memburu pimpinan Taliban baik untuk dibunuh atau ditangkap “kill or capture” tanpa proses peradilan.

Usaha AS menutup-nutupi kesaksian bahwa Taliban telah mendapatkan serangan udara mematikan melalui surface-to-air missiles.

Pasukan koalisi yang dipimpin AS menggunakan pesawat tanpa awak yang mematikan Reaper untuk memburu dan membunuh Taliban melalui remote control yang dikendalikan di Nevada AS.

Yang paling mendapatkan perhatian dari media massa adalah saat pada bulan April 2010, Wikileaks memuat video tentang helikopter militer AS, Apache, yang menewaskan 12 orang, termasuk wartawan Reuters, Namir Noor-Eldeen (22 tahun) dan supirnya, Saeed Chmagh (44 tahun), dalam serangan di Baghdad pada tanggal 12 Juli 2007.

Dalam serangan itu terekam percakapan yang membuat miris, karena menganggap serangan tersebut seolah sedang memainkan game. Pimpinan Helikopter dengan menggunakan moniker Crazyhorse, membuka serangan dan tertawa puas setelah berhasil membunuh orang di jalanan. “Hahaha. I hit ‘em,” ungkapnya. Ditimpali oleh teman pasukannya, “Oh yeah, look at those dead bastards.

Tentu apa yang dilakukan Wikileaks ini mendapatkan reaksi dari Pemerintah AS. Sejak Maret 2010, saat Direktur Wikileaks, Julian Assange, menerbitkan sebuah dokumen yang disebut dari dinas intelijen Amerika Serikat, Wikileaks diposisikan sebagai “ancaman terhadap militer AS.”

Juru Bicara Dephan AS Kolonel Dave Lapan mengatakan, penyebaran dokumen tersebut sebagai suatu “kejahatan”. Dia mengatakan para pejabat sedang mengkaji untuk memutuskan “apakah mereka akan mengungkap para sumber dan metode yang dipakai”, dan apakah hal tersebut akan membahayakan Amerika dan personil koalisi.

Gedung Putih juga meminta Wikileaks untuk tidak menerbitkan 15 ribu dokumen lain yang diduga dimiliki situs internet tersebut. Pemerintah AS belakangan mengakui kepada BBC bahwa dokumen yang diterbitkan Wikileaks itu adalah dokumen yang asli.

WikiLeaks adalah organisasi internasional yang bermarkas di Swedia. Situs Wikileaks menerbitkan dokumen-dokumen rahasia sambil menjaga kerahasiaan sumber-sumbernya. Situs tersebut diluncurkan pada tahun 2006. Organisasi ini didirikan oleh disiden politik Cina, dan juga jurnalis, matematikawan dan teknolog dari Amerika Serikat, Taiwan, Eropa, Australia dan Afrika Selatan. Artikel koran dan majalah The New Yorker mendeskripsikan Julian Assange, seorang jurnalis dan aktivis internet Australia, sebagai direktur Wikileaks. Wikileaks secara resmi beroperasi di bawah organisasi yang diberi nama Sunshine Press dan mengaku mendapat dana dari para pegiat hak asasi manusia, wartawan investigatif, ahli teknologi dan khalayak umum. (http://id.wikipedia.org/wiki/Wikileaks).

Saat ini Wikileaks mengaku menampung lebih dari satu juga dokumen. Setiap orang boleh mengirimkan informasi ke Wikileaks tanpa harus menyebutkan nama, namun ada sebuah tim—yang terdiri dari para sukarelawan berupa wartawan dan staf Wikileaks sendiri—yang memutuskan apakah dokumen itu layak muat atau tidak di situs mereka.

Hipokrit Human Right

Apa yang dibeberkan Wikileaks kembali mengusik intelektualitas kita mengenai konsep Human Right/Hak Asasi Manusia (HAM). Nilai-nilai HAM yang dianggap universal dan dijunjung tinggi oleh para pengusungnya kembali menjadi ‘absurd’, karena akan dibelenggu dengan alasan keamanan nasional.

Hal ini mengingatkan kita pada statemen yang diungkapkan oleh Karimov, Presiden Uzbekistan dalam sebuah konferensi pers bersama dengan Sekjen PBB di Tashkent, Uzbekistan. Ia dengan berang menanggapi pertanyaan seputar pelanggaran HAM di Uzbekistan. Ia berkata, “Saya ingin menjawab pertanyaan wartawan tadi dengan pertanyaan juga. Katakan pada saya, adakah satu saja negara di dunia ini yang tidak melanggar HAM? Mungkin Anda dapat menyebut satu negara yang tidak melanggar HAM atau yang tidak terbukti melakukan pelanggaran HAM?’”

Pertanyaan retoris ini semestinya mengajak kita untuk menelaah ulang konsepsi HAM ini.

AS dan HAM

AS menjadikan HAM sebagai salah satu basis strategi politik luar negerinya. Sebenarnya ini sudah terjadi sejak akhir dasawarsa 70-an pada masa kepemimpinan Presiden Jimmy Carter. Sejak saat itu, Departemen Luar Negeri AS selalu mengeluarkan evaluasi tahunan mengenai komitmen negara-negara di dunia dalam menerapkan HAM. Evaluasi tahunan itu juga menilai sejauh mana negara-negara itu memberikan toleransi kepada rakyatnya untuk menjalankan HAM. Penilaian ini kemudian menjadi landasan bagi sikap yang akan diambil AS terhadap negara-negara yang oleh Washington dianggap tidak terikat dengan prinsip-prinsip HAM. Misalnya, Washington mengaitkan komoditas gandumnya untuk Uni Soviet, dengan toleransi Uni Soviet kepada warga negaranya yang Yahudi untuk berimigrasi ke negara Yahudi di Palestina. AS juga menjadikan HAM sebagai alat justifikasi untuk melakukan intervensi militer di Haiti pada tahun 1994. Terhadap Indonesia, AS mengaitkan peristiwa Tim-Tim dengan bantuan militernya.

Peluang itu muncul mengingat bahwa prinsip dalam hukum internasional adalah pacta sun servanda (hanya mengikat bagi pihak yang terlibat). Karena itu, sebagai produk hukum internasional, DUHAM akan berlaku bagi pihak-pihak yang menandatanganinya. Hal ini berkonsekuensi bahwa tidak mungkin dapat diberlakukan sanksi internasional terhadap negara yang melanggar HAM. Kalaupun ada hanyalah sanksi moral, yang bisa berupa pengucilan dari negara-negara yang menandatangi DUHAM tersebut.

AS, sebagai negara superpower yang unilateral, memanfaatkan posisinya tersebut untuk memasukkan kepentingan negaranya dalam berbagai perjanjian internasional. AS mengikuti perjanjian internasional yang menguntungkan negaranya dan tidak mengikuti yang tidak menguntungkannya, seperti Protokol Kyoto. Dengan hal ini, pengucilan suatu negara dari pergaulan internasional sangat sarat dengan kepentingan negara lain dan pengaruh dari negara-negara yang memiliki power untuk memaksakan kehendaknya kepada negara-negara yang lemah.

Itulah yang menjadikan kebijakan luar negeri AS yang bertumpu pada HAM bersifat diskriminatif. AS hanya menutup mata dan tidak mengganggu gugat sedikit pun negara-negara tertentu yang melanggar HAM, karena kepentingan AS mengharuskan demikian. Terhadap negara-negara seperti ini, AS hanya mengeluarkan kecaman dan kutukan saja. Sebaliknya, AS dapat bersikap ganas terhadap negara-negara pelanggar HAM yang lain, misalnya dengan mengambil tindakan-tindakan militer, seperti tindakannya terhadap Haiti; atau mengambil tindakan-tindakan ekonomi dan perdagangan, seperti yang dilakukannya terhadap RRC; atau mengambil tindakan-tindakan politik dan diplomatik, sebagaimana yang diberlakukan terhadap banyak negara. Inilah yang telah dibongkar oleh Wikileaks. Semua itu dilakukan AS demi tuntutan kepentingan-kepentingannya dan tuntutan-tuntutan hegemoninya atas negara-negara tertentu.

HAM: Alat Penjajahan

Begitu kentara muslihat di balik penerapan HAM, tak ayal, mantan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohammad menyebut propaganda HAM ini sebagai Human Rights Imperialisme (penjajahan dengan kedok HAM), bahkan mantan Menlu Ali Alatas menyatakan, tidak satu pun negara berhak mendiktekan HAM.

Secara konsepsional, HAM tidaklah jelas, apakah bersendi pada asas universal atau asas lokalitas yang mengakui keragaman budaya. Lalu pada sisi mana HAM itu berpihak: individu atau masyarakat. Dalam penanganannya, apakah HAM hanya menjadi urusan dalam negeri (statis) atau negara-negara lain yang lebih kuat berhak mencampuri negara lain dalam penegakan HAM (hegemonial).

Kendati tidak ada kesepakatan mengenai konsep-konsep HAM tersebut, Dunia Barat memaksakan konsepsinya sendiri untuk diterapkan oleh semua negara di dunia.

Namun, realitas sejarah menunjukkan bahwa Barat sebagai bangsa-bangsa kolonialis-imperialis sangat tidak menghormati dan menghargai HAM. Penjajahan yang mereka lakukan betapa telah mendatangkan bencana dan penderitaan yang sangat berat atas berbagai bangsa di dunia. Merekalah yang memicu terjadinya krisis kemanusiaan yang dahsyat dalam Perang Dunia ke-1 dan ke-2.

Saat AS menghancurkan Jepang dengan bom atom, di manakah HAM diletakkan? Ratusan ribu korban yang jatuh lebih banyak rakyat sipil ketimbang kalangan militer. Ini bertentangan dengan hukum perang. Begitu pula saat Perang Vietnam. AS melakukan tindakan yang sangat biadab dengan membunuhi rakyat dan memusnahkan desa-desa, tidak lebih ringan dengan apa yang terjadi di Timor Timur. Manakah HAM itu?

Apakah AS, Inggris, Prancis dan sekutu Barat lainnya menghargai dan menegakkan HAM ketika mereka menyokong Israel mengusir, membunuh, memperkosa, membantai dan tindakan biadab lainnya terhadap rakyat Palestina? Demikian juga pengeboman bertubi-tubi terhadap Irak dan Afganistan oleh AS dan Inggris, yang sampai saat ini masih diberlakukan. Padahal tindakan itu telah merenggut beribu-ribu nyawa penduduk tak bersalah dan sangat menyengsarakan rakyatnya. Masih sangat banyak peristiwa dan tragedi yang membuktikan bahwa imperialis Barat adalah para pelanggar HAM.

Dalam implementasinya, HAM sangat dipengaruhi oleh kepentingan pihak yang memiliki kekuatan. Dengan kata lain, penerapan HAM tidak terlepas dari kepentingan politis, ekonomis dan ideologis dari negara-negara yang punya kekuatan besar. Dalam konteks itu Dunia Barat, khususnya AS, memanfaatkan isu HAM untuk menekan suatu negara demi kepentingannya sendiri. PBB dan badan internasional lainnya seperti IMF dan Bank Dunia acapkali dipakai AS untuk merealisasikan kepentingannya itu.

Sejak keberadaannya HAM justru digunakan sebagai alat penjajahan Barat terhadap dunia Timur, khususnya negeri-negeri kaum Muslim. HAM yang muncul pada abad ke-21 adalah isu yang menggantikan kolonialisasi Barat terhadap negara-negara di Asia, Afrika dan Amerika Latin. Setelah Barat mengeruk habis kekayaan bangsa-bangsa tersebut pada masa penjajahan di abad ke-16 sampai abad ke-20, Barat menggunakan HAM untuk menjajah dalam bentuk lain.

Dengan alasan HAM, Barat mengukur, rezim baru di negeri kolonial apakah pro terhadap mereka ataukah tidak. HAM menjadi pisau bermata ganda: bila menguntungkan mereka berdiam; bila merugikan mereka akan teriak tentang pelanggaran HAM.

Inilah wujud dari inkonsistensi HAM. Amerika dan negara-negara kapitalis lainnya, misalnya, telah menjadikan HAM sebagai komoditi politik luar negerinya. Praktek HAM dengan standar gandanya mereka lancarkan secara diskriminatif terhadap negara-negara yang mengancam kepentingan AS dan negara kapitalis lainnya. Ini semua dilakukan Barat demi tuntutan kepentingannya untuk mendominasi berbagai bangsa di dunia. [Budi Mulayana, SIP]

Budi Mulyana: DPP Hizbut Tahrir Indonesia – Dosen Ilmu Hubungan Internasional UNIKOM Bandung.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*