Kebolehan memukul sebagai ta’dib
Syariah Islam telah menetapkan kewajiban bagi suami untuk mendidik (men-ta’dib) istri dan anak-anaknya agar taat kepada Allah SWT. Hal ini sesuai firman Allah SWT:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا
Wahai orang yang beriman, jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka (QS at-Tahrim [66]: 6).
Suami harus bersungguh-sungguh dalam melakukan ta’dib kepada istri dan anak karena suamilah yang bertanggung jawab dalam mengarahkan biduk rumah-tangga. Jika suami berhasil mengarahkan istri dan anaknya sehingga mereka menjadi individu yang berkepribadian Islam dan siap mengarungi kehidupan ini sebagai Hamba Allah, maka suami akan sukses mengemban amanahnya sebagai qawwam (pemimpin) dalam rumah tangga.
Dalam melakukan ta’dib, syariah Islam memberikan tuntunan yang sangat gamblang. Secara umum banyak nash yang memerintahkan para suami dan orangtua berlaku lemah lembut dalam melakukan ta’dib. Namun, Islam juga memberi tuntunan berupa kebolehan untuk memukul “jika memang diperlukan”.
Salah satu dalil tentang tuntunan bagi para suami ketika men-ta’dib istrinya adalah ayat berikut:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ…
Laki-laki adalah pemimpin kaum perempuan karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Karena itu, wanita shalihah adalah yang taat kepada Allah dan memelihara diri ketika suaminya tidak ada karena Allah telah memelihara mereka. Istri-istri yang kalian khawatirkan nusyuz mereka maka nasihatilah mereka, pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka dan pukullah mereka (QS an-Nisa’ [4]: 34).
Ayat ini menggambarkan tentang konsep kepemimpinan suami dalam rumah tangga serta ketaatan istri kepada suami. Dikatakan bahwa laki-laki adalah pemimpin rumah tangga karena keutamaannya dan laki-laki bertanggung jawab dalam memenuhi nafkah istri dan keluarganya. Istri yang baik (shalihah) adalah yang taat kepada Allah dan memelihara diri (tidak curang, memelihara rahasia dan harta suaminya ketika suaminya tidak ada di rumah). Saat istri membangkang (nusyûz) dengan tidak menjaga dirinya dari curang, menolak diajak jimak, atau keluar rumah tanpa izin dari suaminya, maka suami boleh menempuh langkah-langkah: menasihati, pisah ranjang, dan bila perlu memukul untuk men-ta’dib istrinya.
Islam juga membolehkan melakukan pukulan sebagai ta’dîb terhadap anak. Ibnu Amr bin al-’Ash menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:
مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ
Perintahkanlah anak-anak kalian untuk shalat ketika mereka berusia tujuh tahun. Pukullah mereka jika sampai berusia sepuluh tahun ( tetap enggan mengerjakan shalat) (HR Abu Dawud dan al-Hakim).
Dalam hadis ini Rasul menggunakan ungkapan murruu (perintahkanlah) untuk anak usia di bawah 10 tahun dan idhribuu (pukullah) untuk usia 10 tahun. Dengan demikian, Rasul membolehkan memukul anak usia 10 tahun yang tidak mau shalat. Namun, bagi anak usia di bawah 10 tahun, tidak diperkenankan memukulnya, apalagi dalam masalah selain shalat. Kebolehan memukul ini juga bukan berarti harus/wajib.
Pukulan Ta’dib: Bukan Kekerasan
Memukul istri atau anak dalam rangka ta’dib tidak boleh diterjemahkan sebagai “kekerasan dalam rumah tangga”, karena kekerasan adalah bentuk kriminalitas (jarimah). Pengertian jarimah dalam Islam adalah tindakan melanggar hukum syariah Islam dan termasuk kategori kejahatan. Kejahatan dalam Islam adalah perbuatan tercela (al-qabih) yang juga ditetapkan oleh hukum syariah, bukan oleh yang lain. Apa yang dianggap sebagai tindakan kejahatan harus distandarkan pada hukum syariah. Kebolehan memukul dalam rangka ta’dib telah dijelaskan dengan dalil yang wadhih (jelas) sehingga tidak termasuk kategori kekerasan atau kejahatan.
Dalam realitanya, memukul kadang justru diperlukan dalam rangka ta’dib. Kadang perbaikan satu kesalahan membutuhkan sikap tegas. Pasalnya, memang ada tipe manusia yang tidak mau lurus dari penyimpangannya kecuali bila disikapi dengan keras. Ada istri yang tidak mempan dengan nasihat, ia tidak mau kembali dari kesalahannya, tetap dalam nusyuz-nya. Padahal dengan nasihat suami seharusnya istri merasa takut terhadap ancaman Allah atau terhadap kemadaratan akibat ancaman terputusnya nafkah. Bahkan jika hajr (pemisahan tempat tidur)—dengan maksud suami “tidak menyentuhnya” agar istri insyaf—juga tidak membawa perubahan pada dirinya, saat seperti inilah dibutuhkan cara lain untuk memperbaikinya, yaitu dengan pukulan. Demikian juga pada anak, bila pendidikan tidak bisa lagi diberikan dengan cara memberikan nasihat, arahan, petunjuk, kelembutan ataupun suriteladan, maka dalam kondisi seperti ini kadang dibutuhkan pukulan.
Hanya saja, harus diperhatikan, ta’dib kepada istri dan anak dengan pukulan ini bukanlah sebagai penghinaan atasnya, bukan pula balas dendam atau penyiksaan; tetapi dalam rangka mendidik, memperbaiki dan meluruskan. Pukulan ini disertai rasa kasih sayang suami kepada istri atau orangtua kepada anaknya, bukan pukulan yang keras sehingga membuat istri lari dari suaminya, anak menjauh dari orang tuanya, karena menumbuhkan kebencian dan memupus rasa cinta.
Di dalam fikih, pukulan ada yang diistilahkan dharb mubarrih dan ada dharb ghairu mubarrih.
1. Dharb mubarrih: pukulan yang keras hingga dikhawatirkan akan mematahkan tulang, menghilangkan nyawa, atau membuat cacat anggota tubuh. Pukulan seperti ini dilarang oleh syariah dan termasuk perkara yang diharamkan.
2. Dharb ghairu mubarrih: pukulan ringan yang tidak mengucurkan darah serta tidak dikhawatirkan menimbulkan kebinasaan jiwa atau cacat pada tubuh, patah tulang, dan sebagainya.
Pukulan jenis kedua ini menurut syariah boleh diberikan kepada istri yang berbuat nusyuz, bermaksiat dan melakukan pelanggaran syariah, setelah dilakukan maw’izhah dan hajr. (An-Nusyuz, Asy-Syaikh Shalih bin Ghanim As-Sadlan).
Para fukaha mengatakan, dharb ghairu mubarrih adalah pukulan yang tidak melukai si istri, tidak mematahkan tulangnya, tidak membuat bekas yang jelek pada tubuhnya dan tidak boleh diarahkan pada wajah karena wajah tempat terkumpulnya kecantikan. Pukulan tersebut juga harus berpencar pada tubuhnya (tidak diarahkan hanya pada satu tempat). Tidak boleh satu tempat dipukul terus-menerus, agar tidak menimbulkan bahaya yang besar pada bagian tubuh tersebut. Di antara fukaha ada yang menyatakan, “Sepantasnya pukulan dilakukan dengan menggunakan sapu tangan yang dililit atau dengan tangan si suami, tidak boleh dengan cambuk dan tongkat.”
Atha’ rahimahullahu berkata: Aku pernah bertanya kepada Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, “Apa yang dimaksud pukulan ghairu al-mubarrih?” Ibnu Abbas ra menjawab, “Memukul dengan siwak dan semisalnya.”
Menolak Tuduhan
Tuntunan Islam terbukti mampu memberikan solusi terhadap permasalahan yang dihadapi suami maupun orangtua dalam rangka ta’dib. Demikianlah keunggulan syariah yang lahir dari akidah Islam. Saat syariah Islam ini dipahami dan diamalkan dengan sungguh-sungguh sebagai wujud ketaatan kepada Sang Khaliq, maka akan terurailah semua problem yang dihadapi manusia.
Adapun tuduhan kalangan Liberal bahwa Islam mengakomodasi kekerasan dalam rumah tangga jelas tertolak dengan penjelasan dalil maupun fakta di atas. Tuduhan tersebut semata-mata lahir karena kebencian mereka terhadap hukum Islam. Mereka pun selalu berusaha menanamkan prinsip liberal atas nama HAM. Dalam pandangan liberal, ketika seorang istri menolak melayani suami dengan alasan bahwa setiap istri punya hak atas tubuhnya secara pribadi, maka ini adalah hak istri yang harus diakui. Suami tidak berhak memaksa apalagi men-ta’dib dengan pukulan. Begitu pula ketika seorang anak yang sudah balig tidak mau menjalankan aturan agama, dianggap sebagai hak kebebasan menentukan pilihan sang anak yang sedang mencari jatidiri. Orangtua tidak berhak memaksa apalagi men-ta’dib-nya dengan pukulan. Pandangan liberal semacam ini tentu tidak layak diambil dan dijadikan dasar berbuat bagi seorang Muslim. Pada hakikatnya pandangan kaum liberal ini tidak memiliki landasan kecuali akal semata. Wallahu a’lam [Yusriana]