لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيهِ، مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
Tidak sempurna keimanan salah seorang di antara kalian hingga ia mencintai untuk saudaranya apa saja yang ia cintai untuk dirinya sendiri (HR Bukhari, Muslim, Ahmad, at-Tirmidzi, an-Nasai, Ibn Majah, ad-Darimi, ‘Abdul bin Humaid, dll)
Hadis ini diriwayatkan dari tiga jalur: dari Syu’bah, Hammam bin Yahya dan Husain al-Mu’allim Ibn Dzakwan. Ketiganya dari Qatadah, dari Anas bin Malik ra., dari Nabi saw. para ulama sepakat tentang kesahihan hadis ini.
Frasa Lâ yu’minu ahadukum (Tidak beriman salah seorang di antara kalian) maksudnya: tidak beriman dengan keimanan yang sempurna. Jika seperti itu maka pokok keimanan tetap terealisasi bagi orang yang tidak memiliki sifat tersebut (Imam an-Nawawi, Syarh al-Arba’in). Hal itu dijelaskan dalam salah satu lafal riwayat Ibn Hibban di dalam Shahîh-nya:
لاَ يَبْلُغُ عَبْدٌ حَقِيْقَةَ اْلإِيْمَانِ حَتَّى يُحِبَّ لِلنَّاسِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ مِنْ الْخَيْرِ
Seorang hamba belum mencapai hakikat keimanan hingga ia menyukai untuk manusia kebaikan yang ia sukai untuk dirinya sendiri.
Artinya, yang dinafikan bukan keimanan itu sendiri baik total ataupun sebagian, tetapi kesempurnaan pengaruh keimanan. Hal ini menjelaskan bahwa di antara tolok ukur kesempurnaan iman adalah adanya sifat tersebut dalam diri kita.
Sifat yang dimaksud adalah “mencintai untuk saudara apa yang dia cintai untuk dirinya sendiri”, yakni berupa kebaikan, sebagaimana dijelaskan dalam riwayat Ahmad dan an-Nasai. Hal itu mencakup semua bentuk ketaatan dan kemubahan baik ukhrawi maupun duniawi, dan tidak mencakup apa saja yang dilarang. “Seseorang akan menyukai untuk saudaranya apa yang dia sukai untuk dirinya sendiri tidak lain jika dia selamat dari sifat hasad, iri, dengki dan curang.” (Ibn Hajar al-‘Ashqalani, Fath al-Bârî).
Hadis di atas menunjukkan bahwa seorang Mukmin harus merasa senang dengan apa yang menyenangkan saudaranya yang Mukmin, dan menginginkan untuk saudaranya kebaikan yang dia inginkan untuk dirinya sendiri. Itu semua tidak lain hadir dari kesempurnaan keselamatan dada dari iri, dengki, curang dan hasad. Sebab, hasad mengharuskan orang yang iri-dengki itu tidak suka dilampaui atau bahkan disamai oleh seorang pun dalam kebaikan. Ia ingin melampaui manusia dan menyendiri dengan keutamaannya, sementara iman mengharuskan kebalikannya, yaitu semua Mukmin menyertainya dalam kebaikan apa saja yang diberikan Allah kepadanya tanpa mengurangi darinya sedikitpun (Ibn Rajab al-Hanbali, Jâmi’ al-‘Ulûm wa al-Hikam).
Ringkasnya, seorang Mukmin harus menyukai untuk sesama Mukmin apa yang dia sukai untuk dirinya sendiri dan tidak suka untuk sesama Mukmin apa yang tidak dia sukai untuk dirinya sendiri. Jika dia melihat dalam diri saudaranya yang Muslim kekurangan dalam hal agama maka ia berupaya sungguh-sungguh untuk memperbaikinya. Di antaranya adalah memperlakukan saudara dengan perlakuan yang kita sukai dilakukan kepada kita. Imam al-Ghazali di dalam Ihyâ’ ‘Ulûmuddîn berpesan, “Ketahuilah, tidak sempurna iman seseorang selama ia belum menyukai untuk saudaranya apa yang dia sukai untuk dirinya sendiri. Minimal derajat ukhuwah adalah memperlakukan saudaranya dengan perlakuan yang dia sukai dilakukan kepadanya.”
Rasul saw. bersabda:
مَنْ أَحَبَّ أنْ يُزَحْزَحَ عَنْ النَّارِ ويُدخَلَ الْجَنَّةَ فَلْتُدْرِكْهُ مَنِيَّتُهُ وَهُوَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ، وَيَأْتِيْ إِلَى النَّاسِ الَّذِيْ يُحِبُّ أنْ يُؤْتَى إِلَيْهِ
Siapa yang suka dikeluarkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, hendaklah kematian menghampirinya, sementara dia mengimani Allah dan Hari Akhir, dan hendaknya ia mendatangkan kepada manusia apa yang dia sukai didatangkan kepadanya (HR Muslim)
Sifat itu pada diri seseorang bisa dijabarkan dalam empat kondisi. Pertama: ketika kelebihan atau kebaikan ukhrawi maupun duniawi ada pada diri saudaranya Muslim maka ia turut merasa senang akan hal itu dan tidak ingin kebaikan itu hilang dari saudaranya, sebagaimana ia tidak suka jika kebaikan seperti itu hilang darinya. Saat yang sama ia pun ingin dan berusaha agar juga memiliki kebaikan itu, khususnya dalam hal kebaikan agama dan ukhrawi, bukan yang bersifat duniawi. Sebab, Rasul saw. mengajarkan agar dalam hal agama atau ukhrawi kita melihat orang yang lebih dari kita, sedangkan dalam hal duniawi melihat orang yang kurang dari kita.
Kedua: ketika kekurangan atau keburukan ada pada diri saudaranya yang Muslim maka ia berusaha untuk memperbaikinya dan membantu agar kekurangan atau keburukan itu hilang dari saudaranya baik dengan memberinya nasihat, saran ataupun bantuan termasuk bantuan materi.
Ketiga: ketika kekurangan ada pada dirinya maka ia ingin agar kekurangan itu hilang darinya. Ia tidak ingin kekurangan itu ada pada diri saudaranya, sebagaimana ia tidak ingin hal itu ada pada dirinya. Maka dari itu, seiring dengan upayanya menghilangkan kekurangan itu dari dirinya, ia pun memperingatkan saudaranya dari kekurangan itu dan menghalanginya dari saudaranya yang Muslim itu.
Keempat: ketika kebaikan dan kelebihan ada pada dirinya maka ia pun ingin agar saudaranya yang Muslim juga mendapat kebaikan dan memiliki kelebihan itu. Ia akan menularkan kebaikan itu kepada saudaranya dan mendorong serta membantunya untuk merealisasinya. Dalam konteks inilah tahadduts bi an-ni’mah—membicarakan kenikmatan yang didapat atau kebaikan dan kelebihan yang dimiliki—disyariatkan bukan untuk berbangga-bangga atau riya’, tetapi untuk mendorong saudaranya untuk berusaha meraihnya juga, yaitu dalam hal kebaikan dan kelebihan agama atau ukhrawi.
Dengan semua itu akan terbentuk dalam diri Muslim simpati dan empati kepada sesamanya. Dengan itu pula di tengah-tengah kaum Muslim akan terbangun iklim saling berlomba dan membantu dalam kebaikan dan ketakwaan, juga saling menasihati dan membantu untuk menjauhi kemaksiatan dan keburukan. Allâhummâ innâ nas’aluka îmân’[an] kâmila. [Yahya Abdurrahman]