Pengantar
Asas hukum praduga tak bersalah sejak abad ke 11 dikenal di dalam sistem hukum Common Law, khususnya di Inggris, dalam Bill of Rights (1648). Sejak pertengahan abad ke-19 sampai saat ini, asas hukum ini dilatarbelakangi oleh pemikiran individualistik-liberalistik yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Asas hukum ini pun merupakan prasyarat utama untuk menetapkan bahwa suatu proses telah berlangsung jujur, adil, dan tidak memihak (due process of law).
Asas praduga tak bersalah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari prinsip “due process” tersebut. Bahkan Friedman dalam “Total Justice” (1994: 80-81) menegaskan bahwa prinsip “due process” yang telah melembaga dalam proses peradilan sejak dua ratus tahun yang lampau kini telah melembaga di dalam seluruh bidang kehidupan sosial (Atmasasmita, “Logika Hukum Asas Praduga Tak Bersalah: Reaksi Atas Paradigma Individualistik,” Hukumonline.com).
Dalam hal ini, sebenarnya Barat yang menjadi kiblat para rezim antek di negeri-negeri kaum Muslim sangat jauh ketinggalan jika dibandingkan dengan Islam. Sebab, Islam sejak seribu empat ratus tahun lalu telah mengenal dan menerapkan dengan sempurna asas hukum praduga tak bersalah ini. Karena itulah, Hizbut Tahrir yang menyakini bahwa Khilafah akan tegak kembali—dengan izin Allah—dalam waktu dekat, memasukkan asas ini dalam pasal 13, Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam.
Telaah kitab kali ini akan membahas pasal 13 Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam tersebut, yang berbunyi: “Setiap manusia bebas dari tuduhan sampai terbukti kesalahannya. Seseorang tidak dikenakan sanksi, kecuali dengan keputusan pengadilan. Tidak dibenarkan menyiksa seorang pun, dan siapa saja yang melakukan itu akan mendapatkan hukuman.” (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 76).
Asas Praduga Tak Bersalah
Praduga Tak Bersalah atau “Presumption of Innocence” adalah asas yang menyatakan seseorang tidak bersalah hingga pengadilan menyatakan dia bersalah. Asas ini sangat penting sehingga banyak negara yang memasukannya kedalam konstitusinya (http://id.wikipedia.org).
Asas Praduga Tak Bersalah dengan pengertian seperti ini telah dikenal dan diterapkan dalam sistem pemerintahan Islam jauh sebelum Barat memformalisasikannya. Para ulama pun dalam kitab-kitab fikih telah menggunakannya dalam menyelesaikan berbagai kasus pidana dan perdata. Bahkan asas ini telah menjadi bagian dari kaedah fiKih:
الأَصْلُ بَرَاءَةُ الذِّمَّةِ
Hukum asal setiap manusia bebas dari tuduhan.
Imam Jalaluddin as-Suyuthi dalam al-Asybâh wa an-Nazhâir berpendapat terkait dengan kaedah ini, bahwa “Tidak diterima terkait urusan tuduhan, kesaksian satu orang, selama tidak didukung oleh yang lain, atau sumpah dari pendakwa. Begitu juga perkataan—yang dianggap jika tidak ada bukti yang kuat atau sumpah dari pendakwa—adalah perkataan terdakwa, karena ini yang sesuai dengan hukum asal.”
Dalil dalam masalah ini adalah hadis yang diriwayatkan dari Wail bin Hajar yang berkata: Seseorang dari Hadramaut dan seorang dari Kindah datang menemui Rasul saw. Orang Hadramaut berkata, “Ya Rasulullah, orang ini telah merebut tanahku yang dulu milik ayahku.” Orang Kindah berkata, “Itu adalah tanahku dan aku tanami sehingga atas tanah itu ia tidak punya hak sama sekali.” Nabi lalu berkata kepada orang Hadramaut, “Apakah engkau punya bukti?” Ia menjawab, “Tidak.” Kata Rasul, “Untukmu sumpah dia” Ia berkata, “Ya Rasulullah, orang laki-laki ini fajir, ia tidak peduli dengan sesuatu yang ia bersumpah atasnya, dan ia tidak menjaga diri dari sesuatu pun.” Rasul bersabda, “Tidak ada bagi engkau kecuali hal itu.” (HR Muslim).
Rasulullah saw. juga bersabda:
البَيِّنَةُ عَلَى المُدَّعِي وَاليَمِيْنُ عَلَى المُدَّعَى عَلَيْهِ
Bayinah (bukti) itu atas orang yang menuntut dan sumpah itu atas orang yang mengingkari (HR al-Baihaqi).
Hadis pertama memerintahkan pendakwa untuk membuktikan tuduhannya. Ini artinya, bahwa terdakwa bebas dari tuduhan hingga ia terbukti bersalah. Hadis kedua menjelaskan bahwa yang berkewajiban mengajukan bukti adalah pendakwa. Ini pun merupakan dalil bahwa terdakwa bebas dari tuduhan hingga ia terbukti bersalah (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 77).
Hanya Pengadilan yang Berhak Menjatuhkan Sanksi
Islam melarang penjatuhan sanksi, apa pun bentuknya, kecuali melalui proses dan putusan pengadilan. Sebab, pengadilanlah yang memiliki kewenangan membuat keputusan dan sifatnya pun mengikat. Al-Haththabi mengutip perkataan Ibnu Rusyad, yang kemudian diikuti oleh Ibnu Farihun bahwa, “Hakikat pengadilan adalah pemberitahuan (perintah hakim) tentang hukum syariah dengan cara mengikat.” (Al-Haththabi, Mawâhib al-Jalîl li Syarh Mukhtashar khalîl, VIII/63).
Adapun dalil terkait hal ini adalah sabda Rasulullah saw.:
مَنْ أَخَذْتُ لَهُ مَالاً فَهَذَا مَالِي فَلْيَأْخُذْ مِنْهُ وَمَنْ جَلَدْتُ لَهُ ظَهْرًا فَهَذَا ظَهْرِي فَلْيَقْتَصَّ مِنْهُ
Siapa saja yang pernah aku ambil hartanya, maka inilah hartaku. Karena itu, hendaklah ia mengambilnya. Siapa saja yang pernah dicambuk punggungnya, maka ini punggungku. Karena itu, hendaklah ia mengambil qishash dariku (HR Abu Ya’la dari al-Fadhal bin Abbas).
Ibnu Katsir, dalam Al-Bidâyah wa an-Nihâyah, V/230, juga menuturkan hadis senada dengan lafal berbeda. Hadis ini merupakan dalil atas keharaman seorang penguasa menghukum seseorang tanpa dibuktikan di pengadilan bahwa orang itu telah melakukan kejahatan yang mengharuskannya untuk dihukum.
Ada juga hadis yang menunjukkan bahwa Rasulullah saw. menolak untuk merajam seorang perempuan yang dituduh berselingkuh. Padahal indikasi bahwa ia berzina telah ada. Hanya saja tidak ada bukti yang menguatkannya. Beliau bersabda:
لَوْ كُنْتُ رَاجِمًا أَحَدًا بِغَيْرِ بَيِّنَةٍ لَرَجَمْتُهَا
Sekiranya saya boleh merajam seseorang tanpa bukti, tentu saya telah merajamnya (HR al-Bukhari dan Muslim).
Oleh karena itu, tidak boleh menjatuhkan hukuman apa pun atas terdakwa sebelum tuduhan itu dibuktikan di depan hakim yang memiliki otoritas untuk mengadili di tempat pengadilan (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 80).
Terdakwa Boleh Ditahan
Hakim boleh menahan orang yang didakwa sebelum terbukti untuk proses pembuktian. Tidak banyak ulama yang menjelaskan tentang definisi penahanan (al-habsu). Di antara yang mendefinisikannya adalah Ibnu Taimiyah, bahwa penahanan (al-habsu) adalah “Mencegah dan menghalangi seseorang dari bebas melakukan aktivitas dirinya, dengan ditempatkan di rumah atau di masjid, bukan di tempat yang sempit.” (Ibnu Taimiyah, Maj’mû’ al-Fatâwa, 35/298).
Meski boleh menahan seorang terdakwa, masa penahanannya itu harus dibatasi dalam jangka waktu tertentu, dan masanya tidak lama, setengah hari, atau sehari semalam. Namun, dalam undang-undang Mesir, seperti yang dijelaskan Athiyatullah dalam Dâirah al-Ma’ârif al-Hadîtsah, dibedakan antara as-Sajnu dan al-Habsu, yang keduanya sama-sama berarti penahanan. As-Sajnu yaitu penahanan untuk waktu di atas tiga tahun. Al-Habsu adalah penahanan untuk waktu sehari semalam hingga tiga tahun (Anonim, Ahkâmus Sijni wa Muâmalat as-Sujânâ’ fi al-Islam, hlm. 40).
Dalil atas kebolehan melakukan penahanan terhadap terdakwa adalah hadis riwayat Bahz bin Hakim dari bapaknya, dari kakeknya:
أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم حَبَسَ رَجُلاً في تُهْمَةٍ ثُمَّ خَلَّى عَنْهُ
Nabi saw. menahan seorang laki-laki yang menjadi terdakwa, kemudian beliau melepaskannya (HR at-Tirmidzi).
Dalam hadis riwayat Abu Hurairah dinyatakan:
أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم حَبَسَ في تُهْمَةٍ يَوْمًا وَ لَيْلَةً
Nabi saw. pernah menahan terdakwa selama sehari semalam (HR al-Hakim).
Dalam hadis lain riwayat Bahz bin Hakim dari bapaknya, dari kakeknya, dinyatakan:
أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم حَبَسَ رَجُلاً في تُهْمَةٍ سَاعَةً مِنْ نَهَارٍ ثُمَّ خَلَّى عَنْهُ
Nabi saw. pernah menahan seorang laki-laki yang menjadi terdakwa selama setengah hari, kemudian beliau melepaskannya (HR al-Baihaqi).
Perlu diingat, bahwa penahanan terdakwa dalam hal ini bukanlah hukuman, melainkan penahanan untuk mengungkap sebagian fakta yang masih tersembunyi terkait dengan kasusnya (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 79).
Tidak Boleh Menjatuhkan Sanksi Di Luar Ketentuan Syariah
Setelah terbukti bersalah dan berhak dijatuhi sanksi (hukuman), maka sanksi itu pun harus berupa sanksi yang telah ditetapkan syariah seperti hukuman mati, cambuk, rajam, pengasingan (an-nafyu), pemboikotan (al-qath’u), penjara (al-habsu), peyitaan harta (itlâf al-mal), denda (at-taghrîm) dan pewartaan (at-tasyhîr).
Dengan demikian, tidak boleh menghukum seseorang dengan mencabut kukunya, mencongkel matanya, menyetrumnya, menenggelamkannya dalam air, menyiramnya dengan air dingin, membiarkannya kelaparan, menempatkannya di suatu tempat tanpa alat pelindung, atau bentuk penyiksaan lainnya, yang tidak terdapat dalam ketentuan syariah.
Lebih tidak dibolehkan lagi apabila seseorang dihukum dengan cara yang jelas-jelas dilarang dalam Islam, yaitu dengan cara membakarnya dengan api, sebab ini merupakan bentuk azab atau siksaan Allah di akhirat.
Dalilnya adalah hadis riwayat Ikrimah yang mengatakan bahwa orang-orang murtad dan zindik pernah dibawa kepada Ali ra. lalu Ali ra. membakarnya. Setelah berita itu sampai kepada Ibnu Abbas ra., ia berkata: Kalau saya, maka saya tidak akan membakarnya. Sebab, Nabi saw. telah melarang dengan sabdanya:
لاَ تُعَذِّبُوْا بِعَذَابِ اللهِ
Janganlah kalian mengazab dengan azab Allah (HR al-Bukhari).
Dalam riwayat lain dari Abu Hurairah dinyatakan bahwa Nabi saw. pernah bersabda:
وَإِنَّ النَّارَ لاَ يُعَذِّبُ بِهَا إِلاَّ اللهُ
Sesungguhnya tidak boleh mengazab dengan api, kecuali Allah (HR al-Bukhari).
Dengan demikian, tidak boleh (haram) menjatuhkan hukuman apapun di luar ketentuan syariah. Siapapun yang melakukannya, sekalipun ia seorang hakim yang memiliki kewenangan membuat keputusan, tetap tidak boleh. Jika ia melakukannya, ia pun harus dihukum atas perbuatannya itu.
Dengan semua ini begitu telanjang kenaifan dedengkot JIL, Ulil Abshar yang menyerukan Dunia Islam agar belajar HAM kepada Amerika. Padahal menurut Amnesti Internasional, justru Amerikalah pelanggar HAM terbesar di dunia. WalLâhu a’lam bish-shawâb. [Muhammad Bajuri]
Daftar Bacaan
Anonim, Ahkâm as-Sijni wa Muâmalat as-Sujânâ’ fi al-Islam, (Kuwait: Maktabah al-Manar), Cetakan I, 1987.
Al-Haththabi, Muhammad bin Muhammad bin Abdurrahman ar-Ra’ini Abu Abdillah, Mawâhib al-Jalîl li Syarhi Mukhtashar Khalîl, (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah), 1995.
http://id.wikipedia.org/wiki/Praduga tak bersalah
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4b25f96c2ed41/logika-hukum-asas-praduga-tak-bersalah-reaksi-atas-paradigma-individualistik-br-oleh-romli-atmasasmita-
Ibnu Katsir, Ismail bin Umar Abul Fida’ Imaduddin ad-Dimasyqi, Al-Bidâyah wa an-Nihâyah, (Beirut: Maktabah al-Ma’arif), 1995.
Ibnu Taimiyah, Abdus Salam bin Abdullah bin Ali, Maj’mû’ al-Fatâwa, (Dar Alam al-Kutub), tanpa tahun.
An-Nabhani, Asy-Syaikh Taqiyuddih, Muqaddimah ad-Dustûr aw al-Asbâb al-Mujîbah Lahu, Jilid I, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan II, 2009.
As-Suyuthi, Abdurrahman bin Abu Bakar bin Muhammad bin Himam al-Khudhairi Jalaluddin, Al-Asybâh wa an-Nazhâir, (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah), 1993.