Pendahuluan
Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis, perlukah bank-bank syariah seperti sekarang ini dalam negara Khilafah nanti?
Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu kiranya dibahas lebih dulu 2 (dua) hal penting sebagai dasar jawabannya. Pertama: kritik terhadap bank syariah saat ini, baik yang bersifat umum maupun rinci. Kritik ini perlu agar bank syariah dapat dipahami secara utuh, yakni di samping ada manfaatnya yang positif, bank syariah ternyata juga tak luput dari penyimpangan-penyimpangan syariah (mukhalafat syar’iyah). Adanya berbagai penyimpangan ini akan menjadi bahan pertimbangan, apakah bank syariah diperlukan atau tidak.
Kedua: penjelasan mengenai apa saja yang menjadi aktivitas bank konvensional dan syariah. Penjelasan ini penting untuk mengetahui apakah aktivitas-aktivitas bank syariah saat ini memang mutlak harus dilakukan dalam bentuk bank syariah, ataukah dapat dijalankan dalam bentuk lain.
Kritik Terhadap Bank Syariah
Biasanya bank syariah dibangga-banggakan sebagai wujud ekonomi islami yang bebas riba dan menjadi alternatif dari bank konvensional yang ribawi. Berbagai manfaat dan kinerjanya juga sering ditonjolkan. Tentu, manfaat dan kinerja yang baik dari bank syariah tak perlu kita ingkari dan bahkan harus diapresiasi.
Namun, tak boleh dilupakan, standar untuk menilai bank syariah sebenarnya bukan pada aspek manfaat atau kinerjanya, melainkan sejauh mana bank syariah berpegang teguh dengan syariah Islam (Asy-Sya’rawi, Al-Masharif al-Islamiyah, hlm.516).
Berdasarkan standar syariah Islam ini, Ayid Fadhl asy-Sya’rawi dalam kitabnya, Al-Masharif al-Islamiyah (2007), telah memberikan kritik umum dan rinci terhadap bank-bank syariah yang ada sekarang.
Kritik secara umum menyoroti lingkungan tempat bank syariah tumbuh dan berkembang. Tak dapat diingkari, bank syariah tumbuh dan berkembang dalam habitat yang abnormal, yaitu dalam sistem ekonomi kapitalistik-sekular yang anti syariah, yang ditanamkan oleh kafir penjajah di Dunia Islam. Kafir penjajah awalnya menanam bank konvensional saat mereka menjajah. Ketika kemerdekaan diproklamirkan, sayangnya bank konvensional ini hanya dinasionalisasikan, tidak diislamisasikan secara total. Artinya, sistem ekonomi yang ada tetap kapitalistik seperti yang dibuat oleh kafir penjajah. Dalam perkembangan berikutnya, barulah muncul ide untuk menghindarkan diri dari riba bank konvensional, dengan mendirikan bank syariah (Sya’rawi, 2007: 540-552).
Karena tumbuh dalam lingkungan kapitalis seperti itulah, banyak terjadi kontradiksi (tanaqudh) antara bank syariah dan sistem kapitalis yang menjadi tempat hidupnya. Contohnya, pada bank syariah berlaku prinsip bagi hasil dan bagi rugi (profit and loss sharing) dalam akad mudharabah, sesuai kaidah fikih, “Al-ghurmu bi al-ghunmi (Risiko kerugian diimbangi hak mendapatkan keuntungan).” Sebaliknya, dalam sistem kapitalis, khususnya dalam dunia perbankan, tidak dikenal istilah bagi rugi. Dalam UU Perbankan Amerika Serikat, misalnya, ada ketentuan walaupun bank mengalami kerugian, bank harus mengembalikan simpanan nasabah secara utuh tanpa boleh dikurangi (Sya’rawi, 2007: 538).
Tak hanya dalam mudharabah, kontradiksi seperti itu juga terwujud dalam banyak hal, misalnya sistem akuntansi, aturan perpajakan, aturan badan hukum, serta aturan perdagangan baik dalam negeri maupun luar negeri. Berbagai kontradiksi ini, cepat atau lambat akan menimbulkan penyimpangan demi penyimpangan yang akan makin bertumpuk-tumpuk. Kondisi ini akan membuat umat Islam hidup dalam kebingungan dan kebimbangan. Sebab, pilihannya hanya dua: bank konvensional yang menjalankan riba atau bank syariah yang penuh dengan penyimpangan.
Adapun kritik secara rinci untuk bank syariah, antara lain sebagai berikut:
Pertama, terlibat dalam muamalah ribawi. Tak sedikit bank-bank syariah di Timur Tengah yang menginvestasikan dananya di bank konvensional yang memberikan bunga di negara-negara Barat. Kedua, terlibat dalam asuransi (ta‘min). Padahal asuransi hukumnya haram. Ketiga, tidak pernah mengumumkan adanya kerugian. Ini suatu keanehan yang mengindikasikan penyimpangan. Sebab, meski dalam akad mudharabah diteorikan bank syariah bisa rugi, dalam praktiknya tak pernah satu kali pun ada bank syariah mengumumkan dirinya rugi. Keempat, kelemahan pengawasan manajemen dan syariah. Ini mengakibatkan banyak akad-akad bank syariah tidak sesuai dengan ketentuan syariah yang digariskan. Kelima, dominannya aktivitas pedagangan melalui akad murabahah. Ini akan berimplikasi buruk, yaitu dominasi bank syariah yang akan mengendalikan penentuan harga dan laba untuk berbagai komoditi. Pada saat yang sama, ini juga menunjukkan lemahnya perhatian bank syariah pada sektor pertanian dan industri. Keenam, kurangnya SDM yang cakap untuk mengelola keuangan syariah. Akibatnya, bank syariah mengambil pegawainya dari bank konvensional yang masih mempunyai pola pikir dan budaya kerja bank konvensional (Sya’rawi, 2007: 510-514).
Dengan adanya kritik-kritik terhadap bank syariah di atas, dapat disimpulkan bank syariah penuh dengan hal-hal yang meragukan (syubhat), karena terjadi berbagai penyimpangan syariah (mukhalafat syar’iyah) dalam banyak aspeknya (Sya’rawi, 2007: 554).
Aktivitas Bank Konvensional dan Bank Syariah
Bank konvensional adalah institusi kapitalis yang ditanamkan oleh kafir penjajah di Dunia Islam. Secara garis besar bank konvensional besar mempunyai 2 (dua) aktivitas. Pertama: aktivitas ribawi. Misalnya, memberi kredit dengan menarik bunga, menerima simpanan dengan memberi bunga, dan sebagainya. Kedua: aktivitas jasa perbankan, misalnya jasa transfer dan penukaran mata uang, kemudian bank mendapat uang jasa dari aktivitas itu.
Pada saat bank syariah berdiri dalam dominasi sistem kapitalis saat ini, ia bermaksud menghapus riba pada bank konvensional (aktivitas pertama di atas) dan menggantikannya dengan aktivitas perdagangan (sesuai QS al-Baqarah [2]: 275).
Dengan demikian, pada garis besarnya, aktivitas bank syariah juga ada 2 (dua) macam. Pertama: aktivitas perdagangan (a’mal tijariyah) sebagai pengganti aktivitas ribawi. Ini dijalankan melalui berbagai macam akadnya, seperti mudharabah, murabahah dan musyarakah dalam sektor-sektor pertanian, industri, perdagangan, dan sebagainya. Kedua: aktivitas jasa perbankan (khidmat mashrifiyah) dalam berbagai bentuknya dengan menarik imbalan jasa, misalnya jasa transfer (tahwil) dan penukaran mata uang (sharf, currency exchange).
Aktivitas pertama pada bank syariah ini merupakan aktivitas yang meragukan (syubhat) karena banyaknya penyimpangan syariah yang terjadi, seperti telah dijelaskan di atas. Adapun aktivitas kedua hukumnya jaiz (boleh) secara syar’i selama dilaksanakan sesuai syarat dan rukunnya.
Bank Syariah dalam Negara Khilafah?
Jika Khilafah berdiri suatu saat nanti, apakah bank syariah yang ada sekarang masih diperlukan? Menurut kami, bank-bank syariah seperti saat ini tidak diperlukan lagi dalam negara Khilafah nanti. Mengapa demikian? Ada dua alasan. Pertama: terkait dengan aktivitas pertama bank syariah, yaitu aktivitas perdagangan (a’mal tijariyah) seperti akad mudharabah, murabahah dan musyarakah. Sebagaimana kami jelaskan sebelumnya, selama ini banyak terjadi penyimpangan syariah (mukhalafat syar’iyah) pada aktivitas perdagangan ini sehingga menimbulkan keraguan (syubhat) pada bank syariah.
Padahal sudah menjadi tuntutan syariah, umat Islam hendaknya menjauhkan diri dari segala sesuatu yang meragukan dan yang syubhat. Nabi saw. bersabda:
دَعْ مَا يُرِيْبُكَ إِلَى مَا لاَ يُرِيْبُكَ
Tinggalkan apa saja yang meragukan kamu untuk menuju apa yang tidak meragukan kamu (HR at-Tirmdzi dan an-Nasa’i).
Karena itu, dalam negara Khilafah, bank syariah yang penuh dengan kesyubhatan ini tidaklah diperlukan lagi. Namun, umat Islam tetap boleh melakukan berbagai akad mudharabah, murabahah, musyarakah, dan yang sejenisnya meski tidak dilakukan oleh institusi bank syariah. Akad-akad tersebut selanjutnya boleh saja dilaksanakan oleh syirkah-syirkah islami yang didirikan secara khusus untuk tujuan-tujuan perdagangan. Jadi, meski dalam Khilafah tak ada bank syariah, berbagai akad perdagangan seperti mudharabah, murabahah dan musyarakah, dapat tetap dilaksanakan dalam bentuk syirkah yang sesuai dengan hukum-hukum syariah yang mengatur syirkah (Asy-Sya’rawi, Al-Masharif al-Islamiyah, hlm. 554).
Kedua: terkait dengan aktivitas jasa perbankan (khidmat mashrifiyah) dalam berbagai bentuknya, seperti transfer, pinjam meminjam uang (qardh) dan penukaran mata uang. Aktivitas bank syariah kedua ini nanti akan diambil-alih oleh Khilafah. Sebab, saat Khilafah berdiri nanti, Khilafah akan menyelenggarakan berbagai pelayanan umum (al-khidmat), di antaranya: (1) jasa pos dan telekomunikasi; (2) jasa perbankan (tanpa riba); (3) jasa transportasi umum (Zallum, Al-Amwal fi Dawlah al-Khilafah, hlm. 105).
Jasa perbankan tersebut meliputi jasa-jasa seperti transfer, penukaran mata uang, pencetakan dinar dan dirham, dan sebagainya. Jasa-jasa perbankan ini akan dilaksanakan oleh bank-bank negara yang menjadi cabang dari Baitul Mal. (Taqiyuddin an-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustur, II/157).
Jadi, dalam negara Khilafah nanti tidak diperlukan bank-bank syariah seperti yang ada sekarang. Sebab, berbagai akad perdagangan yang dilakukan bank-bank syariah akan dilakukan dalam bentuk pelbagai syirkah yang legal. Adapun jasa-jasa perbankan yang dilakukan akan diambil-alih oleh bank negara yang menjadi bagian dari institusi Baitul Mal (Kas Negara). Wallahu a’lam. [KH. M. Shiddiq Al-Jawi]
Daftar Bacaan
An-Nabhani, Taqiyuddin, Muqaddimah Al-Dustur, Juz II (Beirut: Darul Ummah), 2010.
Anshori, Abdul Ghofur, Penerapan Prinsip Syariah dalam Lembaga Keuangan, Lembaga Pembiayaan, dan Perusahaan Pembiayaan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), 2008.
Asy-Sya’rawi, Ayid Fadhl, Al-Masharif al-Islamiyah Dirasah Ilmiyah Fiqhiyah li al-Mumarasat Al-Amaliyah (Beirut: Ad-Dar al-Jami’iyah), 2007.
Hafizh, Ramadhan, Mawqif Asy-Syariah al-Islamiyah min al-Bunuk wa al-Mu’amalat al-Mashrifiyah (Kairo: Darus Salam), 2005.
Saidi, Zaim, Tidak Syar’inya Bank Syariah di Indonesia (Yogyakarta: Delokomotif), 2010.
Soemitra, Andri, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah (Jakarta: Kencana), 2009.
Warde, Ibrahim, Islamic Finance Keuangan Islam dalam Perekonomian Global (Islamic Finance in the Global Economy), Penerjemah Andriyadi Ramli (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), 2009.
Zallum, Abdul Qadim, Al-Amwal fi Dawlah al-Khilafah (Beirut: Darul Ummah), 2004.
izin share