Sejak bom atom meletus di akhir Perang Dunia (PD) II, kejayaan imperium inggris resmi berakhir, dan babak dominasi Amerika pun dimulai. Sejak PD II, Amerika telah mendominasi dunia dengan kekuatan militer dan ekonominya. Namun, 50 tahun setelah itu Amerika tidak lagi menikmati kejayaannya sejak invasinya ke Irak dan Afganistan yang telah menghabiskan banyak sumberdaya. Krisis ekonomi global semakin membuat Amerika semakin terpuruk dan mulai bergantung pada intervensi Sosialisme untuk menggulirkan roda ekonominya kembali. Upaya ini pun ternyata gagal ketika Amerika mulai memasuki resesi kedua di bulan Juli 2010. Dengan demikian, keberadaan Amerika di dunia pun menjadi sulit untuk dipertahankan.
Perang Irak dan Afganistan telah membunuh banyak serdadu Amerika, dan 1 dari 9 serdadu mengalami gangguan mental. Paul Martin dari lembaga Peace Action mengatakan, “Saat ini ada 100,000 tentara. Sepertiga dari mereka menderita penyakit jiwa, separuhnya lagi menderita banyak penyakit.”
Militer Amerika melihat ada kenaikan jumlah serdadu yang dikeluarkan dari tugas sebesar 64% antara 2005 dan 2009. Angka ini sama dengan 1 dari 9 yang dibebastugaskan karena masalah kesehatan. Serdadu yang dipensiunkan karena mengalami masalah mental dan cacat fisik melonjak sekitar 174% dalam 5 tahun terakhir hingga 2009 menurut angka statistik resmi militer Amerika. Ini merupakan bukti jatuhnya moral pasukan Amerika dalam “Perang Melawan Islam”.
Amerika bukan merupakan adidaya yang dihormati, namun ia adalah adidaya yang mendominasi. Meski dibangun dengan teknologi yang terbaik dan rumit, Amerika secara etika, ekonomi, strategi dan politik adalah bangsa yang bisa dikatakan bangkrut. Penduduk Amerika sendiri tidak lagi yakin dengan pemerintahnya dan sistemnya sendiri. Bahkan fondasi ideologinya pun mulai dipertanyakan oleh rakyatnya sendiri. Dua puluh tahun setelah jatuhnya Tembok Berlin, survei oleh BBC menemukan ketidakpuasan mereka dengan sistem Kapitalisme Pasar Bebas (James Robbins, BBC, 9/11/2009).
Dalam survei global oleh BBC, hanya 11% responden dari 27 negara yang mengatakan bahwa Kapitalisme berjalan dengan baik. Demikian pula slogan ‘Perubahan’ yang digemakan Barack Obama di Amerika kini dengan cepat berubah menjadi mimpi buruk. Dalam Pemilu 2009, Barack Obama menyambar rekor 76% dalam tingkat kepuasan warga Amerika dalam sejarah Amerika. Namun, ini tidak bertahan lama, karena kini hanya mendapatkan 42% saja. Kantor berita Fox justru memberitakan persentase yang lebih kecil, yaitu sekitar 30% saja, dan kaum kulit hitam muda bahkan mengutuknya sebagai ‘munafik’.
David S Mason (2009) dalam bukunya, Berakhirnya Abad Amerika, mengatakan, “Amerika kini berada di akhir periode kepemimpinan global dan dominasi yang kita nikmati selama 50 tahun. Negeri ini sudah bangkrut secara ekonomi. Kita kehilangan dominasi politik, ekonomi dan sosial. Kita tidak lagi bisa dibandingkan dengan negeri lain dan tidak lagi dikagumi sebagaimana dulu. Kita pun tidak lagi dianggap sebagai model ekonomi dan politik seperti dulu. Sungguh ini merupakan pergeseran global dalam sejarah dunia, baik bagi Amerika dan seluruh dunia.
Sebagai akibat dari kelemahan Amerika, tantangan pun datang dari negara pesaingnya sesama penganut Kapitalisme yang kini mulai bertambah besar dan kuat. Namun, negara-negara tersebut tidak akan mengancam supremasi Amerika karena mereka tidak memiliki visi ideologi yang berbeda dari Amerika. Meskipun Jerman dan Jepang memiliki kekuatan ekonomi, kedua negara tersebut tidak akan menguasai dunia karena ambisi mereka sudah hancur sejak PD II. Di lain pihak, negara seperti India lebih berkonsentrasi sebagai pemain regional untuk berperan sebagai pelayan kepentingan Amerika. Rusia, meskipun sering mengucapkan retorika anti Amerika, juga lebih berposisi defensif dalam menjaga wilayahnya.
Terakhir, Cina yang selama 5000 tahun merupakan penguasa regional dengan pertumbuhan ekonomi dan kemampuan militer yang luar biasa, juga tidak mampu mengubah dunia karena ia pun tidak memiliki ambisi global. Itulah sebabnya Amerika masih mampu menjadi satu-satunya negara global karena belum ada negara ideologis lain dengan jumlah populasi besar, ekonomi dan militer yang kuat, memiliki lokasi geografis strategis yang bangkit saat ini, yang berpotensi menjadi tandingan Amerika. Karena itu, tidaklah mungkin Amerika akan pecah seperti Uni Soviet atau berhenti begitu saja sebagai kekuatan global, sebagaimana terjadi pada Inggris selama tidak ada negara tandingan yang sebenarnya.
Cina, meskipun kekuatan ekonomi dan politiknya lebih maju ketimbang Rusia, pertumbuhan ekonominya sangat bergantung pada sumberdaya alam yang dimiliki Timur Tengah dan Afrika, serta pasar Amerika. Namun, asimilasi wilayah Cina akan sangat mudah dieksploitasi oleh Amerika ataupun negara lain yang memiliki ambisi global. Kegagalan Cina dalam menghadapi proyek Amerika, yaitu Taiwan, menunjukkan bahwa Cina memang tidak berambisi global. Lebih jauh lagi, Hongkong juga menikmati otonomi penuh. Hal ini mendukung absennya keinginan Cina untuk berambisi global. Propinsi Tibet seperti halnya Taiwan sedang dalam proses aneksasi. Lebih jauh lagi, pembantaian Muslim secara sistematik di Xinjiang mempersulit pembahasan integritas teritorial.
Faktanya, Cina selama 5000 tahun tidak lebih sekadar penguasa regional dan hingga saat ini pun tidak memiliki ambisi untuk menjadi negara yang paling berpengaruh di dunia. Cina pun dalam perjalanannya akan mengikuti pola Jepang dalam mencapai status kekuatan ekonomi. Namun perlu diingat, bahwa ekonomi tanpa tujuan politik dan ambisi global akan menjadikan negara itu menjadi pemimpin perdagangan global, namun bukan sebagai kekuatan global yang sebenarnya (Adnan Khan, 2009).
Adapun Rusia, Steven Rosefielde dari University of North Carolina, Chapel Hill, dalam bukunya, Rusia Abad 21: Adidaya Jenius, mengatakan bahwa “Rusia ingin kembali muncul sebagai kekuatan adidaya total sebelum 2010 dengan menantang Cina dan Amerika dan berpotensi untuk memulai kembali perlombaan senjata”, dengan menunjukkan perang di Ossetia dan perdebatan tentang sistem pertahanan misil Eropa Timur milik NATO. Rosefielde pun berargumentasi kalau Russia “masih memiliki industri militer yang utuh .. dan juga sumber mineral yang mampu membangkitkan potensi militerisme yang selama ini masih terlelap.”
Kenyataan yang membatasi bangkitnya Rusia untuk kembali menjadi adidaya adalah tidak adanya sekutu, kuatnya Uni Eropa dan Cina di perbatasannya, ekonomi yang relatif kecil dan lemah, serta mengecilnya populasi penduduknya. Rusia memang bisa memanfaatkan kelemahan Amerika dan mengambil kesempatan untuk memperkuat pengaruhnya di negeri-negeri bekas Uni Soviet, tetapi sekali lagi tidak melebihi batas regionalnya.
Rusia masih jauh dari memiliki kemampuan ekonomi dan kontrol geopolitik yang diperlukan dalam menghadapi Amerika secara langsung. Lebih jauh lagi, kenyataan yang membatasi bangkitnya Rusia untuk kembali menjadi adidaya adalah tidak adanya sekutu, kuatnya Uni Eropa dan Cina di perbatasannya, ekonomi yang relatif kecil dan lemah, serta mengecilnya populasi penduduknya, dimana itu semua adalah faktor penting ekopolitik di masa sekarang.
Kekuatan lain seperti Jerman dan India tidak perlu dibahas secara rinci, karena mereka sudah tidak memiliki ambisi global dan tidak memiliki sumberdaya apapun untuk menggantikan posisi Amerika dari posisi sekarang. Faktanya, semua negara tersebut justru memperkuat dominasi Amerika di wilayah mereka masing-masing. Lebih jauh lagi, perlu dicamkan bahwa negara global yang mampu memimpin dunia hanya bisa bangkit ketika negara global tersebut mengemban ‘ideologi alternatif’ yang sama sekali berbeda dari ideologi yang saat ini berkuasa.
Semua negara yang saling bersaing saat ini tidak ada yang memiliki ideologi yang unik dan berbeda yang bisa ditawarkan ke dunia. Kompetisi yang terlihat saat ini tidak lebih dari manifestasi unjuk kekuatan regional masing-masing untuk mendapatkan ‘bagian dari sumber alam global’ guna mendukung ekonomi masing-masing sehingga mampu menjadi pemain global yang disegani ketimbang menjadi negara global sejati.
Meski demikian, sudah banyak sekali jurnal akademis, artikel ilmiah, pernyataan kebijakan pemerintah Barat, opini publik global, lembaga ilmiah dan laporan intelijen dalam 10 tahun terakhir yang berakhir pada kesimpulan, bahwa di dunia saat ini terjadi perubahan diam-diam, serius dan mendalam. Tidak lain dan tidak bukan adalah terjadinya kebangkitan intelektual dan politik di Dunia Islam. Alec Rasizade (2003), MR Woodward (2004), Thomas R. McCabe (2007), J. O’Loughlin (2009), Mustafa Aydin, Çýnar Özen (2010), Rachel Rinaldo (2010) dan Sanjida O’Connell (2010) dalam penelitiannya berkesimpulan bahwa bangkitnya Islam dan Khilafah adalah kenyataan yang tidak bisa dipungkiri lagi.
Menurut J.O’Loughlin (2009), dalam 50 tahun terakhir terjadi siklus naik-turunnya kekuatan adidaya, yang pada puncaknya adalah timbulnya kekuatan armada laut sebagai mekanisme kendali global. Sejak kejatuhan Khilafah Uthmani dan menurunnya pamor Inggris pada awal abad 20 serta kegagalan usaha Jepang dan Jerman pada PD II untuk menjadi adidaya, kompetisi Amerika melawan Uni Soviet tampak sebagai konfrontasi sesama adidaya. Setelah kejatuhan Soviet, Amerika mencapai puncak kepemimpinan dengan mengendalikan negara besar lainnya dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya. Namun, setelah 15 tahun mendominasi, kepemimpinan Amerika pun mulai dipertanyakan, dan persaingan adidaya bisa menjadi kenyataan kembali.
Munculnya Khilafah: Ancaman Negara Imperialis
Dengan menunjukkan realita yang ada sekarang, intelijen Amerika menganggap bahwa tuntutan umat Islam untuk menginginkan Islam kembali adalah bentuk ancaman terhadap keamanan dan kepentingan Amerika. Perjuangan politik dan ideologi (bukan kekerasan) yang dilakukan oleh aktifis umat Muslim telah mencapai titik bahwa tuntutan terhadap Khilafah dan syariah adalah ancaman ideologis terserius yang Amerika pernah hadapi. Bekas Wakil Presiden Amerika Dick Cheney pada tanggal 23 Februari 2007 secara jelas menyatakan, “Mereka memiliki tujuan untuk menegakkan Khilafah yang berkuasa dari Spanyol, Afrika Utara, melewati Timur Tengah, Asia Selatan hingga mencapai Indonesia—dan tidak berhenti di sana.”
Lebih jauh lagi, bekas Menteri Dalam Negeri Inggris Charles Clarke, dalam pidatonya di hadapan lembaga pemikiran Amerika Heritage Foundation berkata, “Tidak ada lagi kompromi dalam menegakkan kembali Khilafah; tidak ada lagi kompromi untuk menerapkan hukum syariah.”
Ancaman tentang adanya Khilafah sering diulang-ulang oleh pemerintahan Bush dan merupakan alasan di balik invasi Irak dan Afghanistan. Pensiunan Jenderal Richard Dannatt, penasihat Perdana Menteri David Cameron, mengatakan dalam wawancaranya dengan BBC Radio 4 mengakui tujuan perang di Afganistan, “Di sini ada agenda kaum Islamis. Apabila tidak segera kita tumpas di Afganistan, atau Asia Selatan, maka konsep ini akan menyebar dan pengaruhnya pun akan sulit dikendalikan.”
Pada akhirnya, dengan kenyataan yang ada dan berbagai pernyataan dari Barat, maka situasinya adalah menjajaki kondisi Dunia Islam seperti populasi, umat beragama, kekuatan dan keragaman budaya, besaran dan kendali terhadap benua, ekonomi dan militer, kemauan politik, dan kekuatan ideologi guna mengevaluasi apakah penyatuan umat Islam di bawah satu Khilafah merupakan kemungkinan realistik. Dengan demikian, Khilafah State bisa bangkit sebagai negara utama, unik dan global pada abad 21.
Wallahu a’lam bi ash-shawab. []