(Hadis ke-14)
لاَ يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنِّى رَسُولُ اللَّهِ إِلاَّ بِإِحْدَى ثَلاَثٍ الثَّيِّبُ الزَّانِ وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ وَالتَّارِكُ لِدِينِهِ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ
Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa aku adalah Rasulullah, kecuali karena salah satu dari tiga perkara: orang yang sudah menikah berzina, jiwa dengan jiwa dan orang yang meninggalkan agamanya memecah belah jamaah (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasai dan Ibn Majah)
Hadis ini bersumber dari penuturan Ibn Mas’ud. Hadis semakna juga diriwayatkan dari Utsman bin Affan ra, Aisyah ra., Thalhah ra. (lihat, misalnya, as-Suyuthi, Jam’u al-Jawâmi’, hadis no. 1624-1627); juga dari Ibn Abbas, Abu Hurairah dan Anas (Ibn Rajab, Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam).
Siapa saja yang mengucapkan dua kalimat syahadat maka darah dan hartanya terjaga, kecuali dengan haq al-Islâm (Matn al-Arba’în an-Nawawiyah, Hadis ke-8. Lihat, al-Wa’ie, no-119, Juli 2010). Hadis di atas menjelaskan di antara haq al-Islâm itu. Pembunuhan karena salah satu dari ketiga hal itu telah disepakati di antara kaum Muslim (Ibn Rajab, Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, syarh hadis ke-14).
Kata illâ hadis di atas mengecualikan tiga perkara yang dinyatakan setelahnya dari keharaman darah seorang Muslim. Pertama: ats-tsayyibu az-zâni. Ats-tsayyib adalah setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan, yang pernah menikah secara syar’i. Dalam istilah lain disebut muhshan. Adapun zina yang dimaksud adalah zina dalam pengertian syariah, yaitu persetubuhan di luar ikatan pernikahan. Hadis ini menetapkan kehalalan darah Muslim, laki-laki atau perempuan, yang pernah menikah lalu berzina. Hanya saja zina itu harus dibuktikan dengan pembuktian syar’i. Pembuktian syar’i itu bisa dengan pengakuan si pelaku seperti dalam kasus al-Ghamidiyah (HR al-Bukhari) dan Maiz al-Aslami (HR Muslim), atau dengan kesaksian empat orang saksi laki-laki yang menyaksikan sendiri persetubuhan itu dengan jelas (QS an-Nur [24]: 4). Pelakunya harus berakal dan melakukannya secara sukarela. Disamping itu, tidak boleh ada syubhat tentang zina itu. Sanksinya adalah dirajam dengan batu hingga mati. Menurut Imam an-Nawawi ini adalah ijmak kaum Muslim (Imam an-Nawawi, Syarh Muslim).
Kedua: an-nafsu bi an-nafsi. Yang dimaksudkan adalah qishash dalam pembunuhan yang disengaja. Adapun untuk selain pembunuhan yang disengaja maka sanksinya bukan dibunuh (qishash) melainkan diyat, yaitu untuk pembunuhan yang mirip disengaja diyat-nya, diyat mughallazhah (100 ekor unta di antaranya 40 ekor sedang bunting). Untuk pembunuhan yang tidak disengaja, dan pembunuhan karena ketidaksengajaan, sanksinya adalah diyat 100 ekor unta dan kaffarah membebaskan seorang budak Mukmin—QS an-Nisa’ [4]: 92 (Lebih detil, lihat, Abdurrahman al-Maliki, Nizhâm al-‘Uqûbât, bab “Jinayat”, Dar al-Ummah. 1990).
Frasa an-nafsu bi an-nafsi itu bersifat umum mencakup pembunuhan siapa saja, artinya darah seorang Muslim menjadi halal, yaitu ia dibunuh karena membunuh sesiapapun dengan sengaja. Hanya saja, terdapat dua kasus yang dikhususkan dari keumuman itu.
1. Seorang Muslim tidak dibunuh karena membunuh kafir harbi. Rasul bersabda:
لاَ يُقْتَلُ مُسْلِمٌ بِكَافِرٍ وَلاَ ذُو عَهْدٍ فِى عَهْدِهِ
Seorang Muslim tidak dibunuh karena (membunuh) orang kafir (yaitu kafir harbi) dan tidak (dibunuh) pula orang yang memiliki perjanjian (karena membunuh kafir harbi) (HR Ahmad dan Abu Dawud).
2. Orangtua tidak dibunuh karena membunuh anaknya. Dari Umar bin al-Khaththab ra., bahwa Rasul saw. bersabda:
لاَ يُقْتَلُ الْوَالِدُ بِالْوَلَدِ
Orangtua tidak dibunuh karena (membunuh) anaknya (HR Ibn Majah, al-Baihaqi, ad-Daraquthni dan Ahmad).
Ketiga: at-târiku lidînihi al-mufâriqu li al-jamâ’ah (orang yang meninggalkan agamanya dan memecah-belah jamaah). Yang dimaksudkan adalah orang yang murtad dari Islam dengan cara apapun baik dengan keyakinan, ucapan atau perbuatan. Ibn Qudamah di Al-Mughni mengatakan, “Para ulama telah sepakat atas kewajiban membunuh orang murtad. Hal itu diriwayatkan dari Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Muadz, Abu Musa, Ibn Abbas, Khalid dan lainnya sehingga merupakan ijmak.” (Lihat, rubrik “Hadis Pilihan”, al-Waie, no. 91). Namun sebelumnya, terlebih dulu ia diminta bertobat dan kembali ke pangkuan Islam. Jika ia tidak mau bertobat, baru ia dibunuh.
Pada ketiga perkara tersebut dibenarkan dengan sengaja membunuh pelakunya. Selain ketiganya itu, nas syariah juga menyatakan perkara lain yang dibenarkan dengan sengaja membunuh seorang Muslim, yaitu jika orang itu melakukan homoseksual atau menyetubuhi binatang sebagaimana yang dinyatakan oleh hadis Nabi saw. Adapun dalam kasus qutha’ ath-turuq (pembegal dan pengacau keamanan) maka pelakunya akan dibunuh jika dalam aksinya melakukan pembunuhan.
Dibenarkan juga membunuh seorang Muslim sebagai konsekuensi tindakan syar’i terhadapnya. Misalnya, terhadap pelaku bughat atau orang yang dibaiat lebih akhir sebagai khalifah. Secara syar’i mereka boleh diperangi dalam rangka ta’dib, dan itu bisa membunuh mereka.
Namun, dalam semua perkara itu, harus dengan keputusan Imam/Khalifah atau orang yang mewakilinya termasuk keputusan qadhi di pengadilan. Di luar itu, baik perorangan ataupun kelompok tidak boleh melakukannya, baik saat Khalifah ada atau tidak.
Di luar semua itu, terhadap orang yang menyerang, maka dibenarkan membunuhnya dalam rangka mempertahankan diri, harta atau kehormatan. Hal itu benar dilakukan oleh perorangan baik ada Khalifah ataupun tidak; semata-mata karena jiwa, harta atau kehormatannya terancam. WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]