HTI

Soal Jawab (Al Waie)

Seputar Jihad, Khilafah dan Thaghut

Soal:

Upaya deradikalisasi yang dilakukan penguasa berusaha menjinakkan umat Islam dengan memberi pemaknaan baru terhadap jihad, Khilafah dan taghut. Bagaimana sebenarnya pandangan ulama Islam terhadap ketiga istilah ini? Lalu makna yang benar seperti apa?

Jawab:

Harus dipahami, bahwa ada upaya sistematis untuk mempertahankan Sekularisme dan penjajahan di negeri kaum Muslim. Karena itu, siapapun yang mengancam keduanya akan diberi stigma seperti radikal, fundamentalis, teroris dan kekerasan. Tujuannya agar umat menjauhinya dan tidak memberikan dukungan kepada perjuangannya. Cara yang paling berbahaya, yang digunakan oleh penjajah, adalah dengan menyesatkan opini umat Islam. Lalu lahirlah proyek deradikalisasi.

Deradikalisasi ini sebenarnya bertujuan untuk menjinakkan umat Islam agar menerima Sekularisme dan penjajahan. Sebab, kaum penjajah tahu bahwa Islam merupakan sumber perlawanan, yang bisa mengancam kelangsungan penjajahan mereka.

Di antara pemahaman penting yang hendak diubah adalah tentang jihad, Khilafah dan thagut. Karena itu, untuk mengetahui fakta masing-masing, satu-satunya cara adalah dengan merujuk pada pendapat ulama mu’tabar (kridibel dan diakui), bukan ulama salathin (penguasa) maupun ulama murtaziqin (sponsor).

Pertama: jihad. Menurut bahasa, ungkapan yang digunakan untuk maksud “mengerahkan kemampuan”1; termasuk bersabar menghadapi kesulitan, yang boleh jadi dalam peperangan maupun tekanan hawa nafsu. Ini termasuk konotasi bahasa bagi kata jihad.2 Namun, kata ini telah ditransformasikan oleh al-Quran dari konteks bahasa (haqiqah lughawiyyah) ke dalam konteks syariah (haqiqah syar’iyyah) sehingga mempunyai konotasi yang khas.3 Karena itu, para fukaha mazhab mendefinisikan jihad dengan:

“Mengerahkan seluruh kemampuan untuk berperang di jalan Allah, baik langsung, atau membantu dengan harta, pandangan, memperbanyak jumlah pasukan ataupun yang lain..” 4

“Perang orang Islam melawan kaum kafir, yang tidak mempunyai perjanjian, untuk menegakkan kalimat Allah, atau keikutsertaannya untuk berperang, atau masuk ke negerinya [kaum kafir] untuk berperang..” 5

Jihad adalah berperang..”

Demikian penegasan asy-Syirazi dalam kitab Al-Muhadzdzab.6

Hal yang sama juga ditegaskan oleh Ibn Qudamah dalam kitabnya, Al-Mughni. Beliau tidak membahas makna lain dalam bab Jihad, kecuali yang terkait dengan perang, memerangi kaum kafir, baik fardhu kifayah maupun fardhu ‘ain, atau kesiagaan kaum Mukmin dari serangan musuh dan menjaga perbatasan.7

Karena itu, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mu’tabar tentang makna jihad, yaitu berperang. Meski jihad identik dengan perang, tidak semua perang berarti jihad. Berperang melawan penyimpangan penguasa, selama tidak masuk dalam kategori murtad, berperang melawan orang yang merampas kekuasaan dan berperang untuk mendirikan Negara Islam, misalnya, adalah bentuk peperangan, tetapi tidak termasuk dalam kategori jihad.

Kedua: Khilafah. Menurut bahasa, kata khilafah merupakan bentuk kata kerja yang dibendakan (mashdar) dari khalafa-yakhlufu-khilafah, yang berarti mengganti dan pergantian.8 Istilah ini kemudian digunakan oleh nash syariah dengan konotasi syar’i, sebagaimana dalam riwayat Muslim, Ahmad dan lain-lain. Karena itu, para ulama pun mendefinisikan Khilafah dengan konotasi yang hampir sama:

“Khilafah pada dasarnya merupakan pengganti dari pemilik syariah untuk menjaga agama dan mengurus dunia dengan agama.”9

“Imamah [maksudnya Khilafah] ditetapkan untuk menggantikan kenabian dalam menjaga agama dan mengurus dunia.” 10

“Kepemimpinan umum untuk [mengurus] seluruh umat [manusia].” 11

“Kepemimpinan umum dalam urusan agama dan dunia bagi salah seorang [kaum Muslim].” 12

“Kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslim di seluruh dunia untuk menegakkan hukum-hukum syariah dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia.” 13

Inilah definisi yang dinyatakan oleh para ulama mu’tabar. Secara umum definisi tersebut menegaskan, bahwa Khilafah adalah negara kaum Muslim yang mengurus urusan dunia dan agama mereka dengan hukum-hukum Allah. Negara tersebut merupakan satu-satunya negara kaum Muslim; satu negara untuk seluruh kaum Muslim di seluruh dunia. Mengenai hukum mendirikannya, maka seluruh ulama kaum Muslim, baik Sunni, Syi’i, Khawarij, Muktazilah maupun yang lain, sepakat bahwa hukumnya wajib.14 Jika ada yang berbeda, mereka dianggap kelompok sempalan yang tidak mewakili mainstream; seperti Hisyam al-Fuwathi dan an-Nadzdzam dari Muktazilah, serta an-Najadat dari sekte Khawarij.15

Sejarah panjang umat Islam selama 14 abad tidak mengenal nation state. Selain karena bertentangan dengan Islam, juga karena negara ini dibentuk oleh kaum penjajah untuk menghalangi persatuan umat Islam di seluruh dunia. Bahkan mereka sendiri yang menggagas konsep nation state ini pun akhirnya meninggalkannya, dan menyatukan negara-negara mereka dalam Uni Eropa untuk melawan penjajahan Amerika.

Ketiga: taghut. Menurut bahasa, kata thaghut merupakan kata kerja yang dibendakan (mashdar), seperti kata rahabût dan jabarût, yang digunakan untuk bentuk tunggal maupun jamak.16 Ada yang mengatakan, bahwa kata ini merupakan bentuk isim jins, yang berlaku untuk orang sedikit maupun banyak.17 Ada yang menyatakan, bahwa kata thâghût diambil dari thughyân, bukan merupakan bentuk derivatif dari yang lain.18

Al-Jauhari berpendapat, bahwa thaghut itu adalah pendeta, setan dan setiap pemimpin kesesatan. Kata ini bisa berlaku untuk satu orang, sebagaimana dalam surat an-Nisa’ ayat 60, dan bisa untuk jamak, sebagaimana dalam surat al-Baqarah ayat 257. Jamak dari kata thâghût ini adalah thawâghît.19 Said bin Jubair mengatakan, bahwa thaghut adalah tukang sihir. Ibn ‘Abbas, adh-Dhahak dan Mujahid menyatakan, bahwa thaghut adalah Kaab bin Asyraf.20

Menurut Abu Ja’far, pendapat yang paling tepat tentang makna ayat, “Yu’minuna bi al-jibti wa at-thaghut (Mereka mengimani al-jibti dan thaghut),” adalah mereka meyakini dua sembahan itu selain Allah untuk mereka sembah, dan mereka menjadikankan sebagai tuhan. Sebab, al-jibt dan thaghut adalah dua sebutan untuk tiap perkara yang diagungkan untuk disembah selain Allah, ditaati atau dipatuhi, apapun bentuknya; bisa batu, manusia atau setan. Karena itu, pada masa jahiliah, berhala yang mereka sembah merupakan sesuatu yang diagungkan dan disembah selain Allah. Karena itu, berhala tersebut disebut jibt dan thaghut. Setan yang ditaati untuk melakukan maksiat kepada Allah juga disebut thaghut. Demikian pula dengan tukang sihir dan pendeta, yang kata-kata keduanya ditaati oleh kaum musyrik. Hal yang sama juga, Huyyai bin Akhthab dan Kaab bin Asyraf, karena keduanya adalah figur yang ditaati oleh para pemeluk agama Yahudi dalam maksiat kepada Allah, mengingkari-Nya dan mengingkari Rasul-Nya. Mereka juga disebut jibt dan thaghut.21

Dari penjelasan para ulama ahli tafsir di atas bisa disimpulkan, bahwa thaghut adalah siapa saja yang ditaati, dipatuhi dan diikuti perintahnya untuk melakukan kemaksiatan kepada Allah. Maksiat itu sendiri adalah setiap bentuk penyimpangan dari perintah dan larangan Allah. Karena itu, siapapun yang memproduk hukum kufur, menjalankan dan menegakkannya, untuk ditaati, dipatuhi dan diikuti, maka dialah thaghut yang dimaksud oleh al-Quran, meskipun dia adalah manusia, bukan jin (setan) apalagi batu. Demikian penjelasan ath-Thabari. Wallahu a’lam. []

Catatan kaki:

1 Al-Kasani, Bada’i as-Shana’i, VII/97.

2 Hasyiyatu al-Jamal ‘ala al-Jalalayn, III/441.

3 Al-‘Allamah Syaikh Dr. Muhammad Khair Haikal, Al-Jihad wa al-Qital fi as-Siyasah as-Syar’iyyah, I/40.

4 Ini merupakan pendapat mazhab Hanafi. Lihat: Ibn ‘Abidin, Hasyiyah Ibn ‘Abidin, III/336.

5 Ini merupakan pendapat mazhab Maliki. Lihat: Syaikh Muhammad ‘Ilyas, Manhu al-Jalil, Mukhtashar Sayyidi Khalil, III/135.

6 Ini merupakan pendapat mazhab Syafii. Lihat: asy-Syirazi, Al-Muhadzdzab, II/227.

7 Ini merupakan pendapat mazhab Hanbali. Lihat: Ibn Qudamah, Al-Mughni, X/375.

8 Al-Qalqasyandi, Ma’atsiru al-Inafah fi Ma’alim al-Khilafah, I/08.

9 Ibn Khaldun, Muqaddimah, hlm. 159.

10 Al-Mawardi, Al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hlm. 3.

11 Al-Qalqasyandi, Ma’atsiru al-Inafah fi Ma’alim al-Khilafah, I/08.

12 ‘Abdurrahman ‘Adzuddin al-‘Iji, Al-Mawaqif wa Syarhuhu li al-Jurjani, VIII/245.

13 Al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddn an-Nabhani, Nizham al-Hukmi fi al-Islam.

14 Lihat: al-Amidi, Ghayatu al-Maram, hlm. 354; al-Iji, Al-Mawaqif, hlm. 345; Ibn Khaldun, Muqaddimah, II/519; Ibn Hazm, Al-Fashlu fi al-Milal, IV/87; Ibn an-Najjar, Muntaha al-Iradah, II/494; al-Baghdadi, Al-Farqu bayna al-Firaq, hlm. 210; Ibn Taimiyyah, As-Siyasah asy-Syar’iyyah, hlm. 161-162; an-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, VII/205 dan 206.

15 Lihat: Dr. Mahmud al-Khalidi, Ma’alim al-Khilafah fi al-Fikri al-Islami, hlm. 45.

16 Ini adalah mazhab Abu ‘Ali. Lihat: al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkami al-Qur’an, III/279.

17 Ini adalah mazhab Sibawaih. Lihat: al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkami al-Qur’an, III/279.

18 Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkami al-Qur’an, III/279.

19 Ath-Thabari, Tafsir at-Thabari, V/83.

20 Ath-Thabari, Tafsir at-Thabari, V/83.

21 Ath-Thabari, Tafsir at-Thabari, V/83.

One comment

  1. Betul sekali….karena islam bukan hanya agama spritualis ………..akn tetapi islam adalah suati ediologi………yang ter pancar dalam Al – qur’an dan AS sunnah………..ALLAHUAKBAR…………………..ALLAHUAKBAR…………….ALLAHUAKBAR…….

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*