Kebrutalan Politik Luar Negeri Amerika sebenarnya sudah banyak terungkap. Dokumen rahasia berupa kawat atau memo diplomatik sekadar meneguhkan kedudukan Amerika sebagai negara paling biadab di dunia. Dokumen rahasia ini—yang tentu saja tidak semua isinya akurat atau penting—paling tidak membungkam para pembela setia negara biadab ini.
Para pembela dan penjilat setia Amerika sering membela sang Tuan dari kecaman pengkritik Amerika dengan mengatakan itu sekadar ‘teori konspirasi’ atau sekadar perilaku oknum dan pengecualian. Dokumen ini membantah semua itu. Semua ini merupakan kebijakan sistematis, buah dari keserakahan ideologi Kapitalisme yang diadopsi negara itu. Penjajahan, perampokan, pendudukan dan pembunuhan merupakan metode baku dari politik imperialisme Amerika Serikat.
Siapapun yang mempelajari sejarah dunia dengan mudah mengingat kembali bagaimana brutalnya AS menimbulkan kerusakan dalam peradaban manusia di Hiroshima dan Nagasaki dengan menjatuhkan ‘Little Boy’ dan ‘Fat Man’ pada saat Perang Dunia II yang pada akhirnya mengakibatkan lebih dari 72 juta kematian. Tangan Amerika juga berdarah-darah saat membantai rakyat Vietnam dengan senjata kimia.
USA (United Snakes of America) dalam kira-kira 240 tahun sejarahnya telah mengalami lebih dari 235 perang hingga Perang Irak dan Afganistan saat ini. Perang-perang ini membunuh berjuta-juta manusia. Seluruh perang ini merupakan dampak langsung penerapan konsep kapitalis, seperti nasionalisme.
Dokumen Wikileaks kembali menegaskan kebrutalan negara ini, terutama dalam perang paling mengerikan abad ini: penjajahan Irak dan Afganistan. Pada website-nya yang dirilis beberapa waktu yang lalu, Wikileaks memuat pesan 391.832 dengan mendokumentasikan tindakan militer Amerika dan laporan di Irak selama periode 2004-2009. Amerika melakukan ratusan tindakan kekerasan dan penyiksaan terhadap para tahanan keamanan Irak, termasuk pemerkosaan dan pembunuhan.
Bocoran Wikileaks menunjukkan secara jelas bagaimana negara itu campur tangan dalam berbagai urusan negara lain dengan berbagai cara, termasuk mendorong terjadinya perpecahan (disintegrasi). Pemerintahan Bill Clinton menekan RI agar menerima kehadiran pasukan perdamaian internasional di Timor Timur usai jajak pendapat 1999. Kebijakan AS ini tentu semakin memperkuat disintegrasi Timor Timur.
Negara Paman Sam ini menggunakan kekuatan ‘bantuan’ hutang luar negeri sebagai senjata. Dalam dokumen Wikileas disebutkan, AS juga mengancam akan menghentikan kerjasama militer AS dan Indonesia, mengancam sanksi lebih keras bila tak mau bekerjasama, mengendalikan milisi dan memulangkan 200 ribu pengungsi Timor Timur. Negara itu juga mendukung keputusan IMF dan Bank Dunia menghentikan bantuan mereka untuk Indonesia.
Hal yang sama sedang dirancang Amerika Serikat sekarang untuk memecahbelah Sudan saat ini. Lewat berbagai tekanan seperti memaksa mengirim pasukan multinasional dan penangkapan Omar Basyir pemimpin Sudan atas tuduhan pelanggaran HAM, negeri Muslim itu dipaksa untuk melakukan referendum di Sudan Selatan pada akhir Januari ini. Hasilnya, sudah hampir dipastikan Sudan akan terpecah. Pengkondisian yang sama sedang dirancang negara itu di Papua, Aceh, dengan senjata utama HAM.
Sikap hipokrit negara itu juga ditegaskan dalam dokumen Wikileaks. Di satu sisi AS menyerukan demokratisasi dan penegakan HAM, namun ia justru menjadi pelanggar HAM nomor wahid di dunia. Tidak hanya itu, AS bekerjasama dengan rezim-rezim oportunis dan represif di berbagai kawasan dunia, terutama Dunia Islam. Amerika bersama penguasa represif diktator itu melakukan pembunuhan terhadap rakyatnya sendiri, seperti yang dilakuan rezim Musharaf dan Zardari di Pakistan, Islam Karimov di Uzbekistan, dll.
Dalam dokumen rahasia itu juga terungkap percakapan Presiden Yaman kepada Panglima Militer AS saat itu, Jenderal David Petraeus, mengenai serangan atas basis-basis al-Qaida di negaranya. Salah satu kawat diplomatik yang bocor menunjukkan telah terjadi serangan terhadap 41 penduduk lokal di Yaman. Dalam serangan itu 14 perempuan, 21 anak-anak dan 14 Muslim lainnya tewas.
Dalam sebuah diskusi dengan Amerika Serikat, Saudi Raja Abdullah mengatakan, “Kami (AS dan Arab Saudi) telah menumpahkan darah bersama di Kuwait dan Irak.”
Wikileaks juga membeberkan tentang Uzbekistan. Meskipun pemimpin negara itu sudah diketahui korup, banyak melakukan pelanggaran HAM dan terkait dengan organisasi kejahatan, dia tetap didukung Amerika. Alasannya, lagi-lagi kepentingan ekonomi. Uzbekistan merupakan salah satu jaringan yang AS sebut sebagai jaringan distribusi utara, yang menyuplai pasokan ke Afganistan melalui negara-negara seperti Azerbaijan, Rusia, Latvia, Georgia, Kazakhstan dan Tajikistan.
Setelah berbagai dokumen Wikileaks terbongkar, pertanyaan penting justru diarahkan kepada kita sendiri, umat Islam. Apakah kita masih percaya dan mengadopsi ide-ide Kapitalisme yang rusak seperti Demokrasi dan HAM? Apakah kita masih percaya, bergantung, menjilat dan meminta-minta kepada negara biadab dan hipokrit seperti Amerika yang sedang dalam keadaan sekarat menuju kehancurannya? Apakah kita masih percaya dan menghormati para penguasa Muslim yang jelas-jelas berkhianat kepada rakyat, dengan berkerjasama dengan negara biadab itu, menjalankan kepentingan negara biadab itu, meskipun harus dengan membunuh rakyatnya sendiri?
Akal sehat dan fitrah kita akan mengatakan dengan jelas: Tidak! Apalagi keimanan kita kepada Allah SWT tidak membolehkan kita berhukum pada hukum kufur dan tunduk pada rezim yang menjalankan sistem kufur! Tidak ada cara lain untuk menghentikan semua ini, kecuali kita mencampakkan sistem Kapitalisme dan kembali pada syariah Islam; menyatukan umat dengan mengangkat khalifah yang akan mengurus umat dengan benar. Para penguasa pengkhianat itu harus diberikan pilihan: apakah mereka menuruti kehendak rakyat yang menginginkan perubahan berdasarkan Islam dan tunduk pada hukum Islam, atau mereka akan dicampakkan rakyat yang membenci mereka. [Farid Wadjdi]