Akhir November lalu, Setara Institute me-launching hasil survey opini publik seputar toleransi sosial masyarakat perkotaan. Survey dilakukan pada bulan Oktober – November tahun 2010 lalu di 5 kota: Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. Sampel survey diambil dari 1200 responden yang dipilih secara acak sistematik (systematic sampling) dengan kerangka sampel Kartu Keluarga. Margin of error penelitian ini +/ 2,2% dan berada pada tingkat kepercayaan 95%. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara tatap muka (face to face interview) dengan bantuan panduan wawancara terstrukutur (questionnair).
Responden sebagian besar dari kelompok usia 40 tahun ke bawah (70,8%), sedangkan yang berusia di atas 41 tahun berjumlah 29,2%. Sebanyak 49,2% adalah perempuan dan 50,8% laki laki.
Mayoritas responden lulusan SLTA/sederajat (50,6%). Berikutnya 16,8% lulusan SLTP, 11,9% lulusan SD, 10,3% lulusan S 1 atau di atasnya, 8,4% Diploma/Akademi dan 2% tidak pernah sekolah. Dari 1200 responden, 89,2% beragama Islam, Protestan 5,2%, Katolik 3,7%, Hindu 0,2%, Budha 1,6% dan Konghucu 0,1%.
++++
Mengapa survey ini menarik untuk diangkat? Pertama: Survey dilakukan oleh Setara Institute, sebuah LSM sekular yang sangat getol mempromosikan pluralisme dan HAM; juga getol menolak apa yang mereka katakan sebagai diskriminasi dan intoleransi atas dasar agama, etnis, suku, warna kulit, jender dan strata sosial lainnya. Lembaga ini dikenal gigih membela Ahmadiyah dan tentu tidak setuju syariah, apalagi Khilafah. Tokoh utama di balik lembaga ini di antaranya adalah Hendardi dan Romo Benny. LSM ini dikenal memiliki jaringan internasional. Tak aneh bila survey ini dibiayai oleh USAID (United States Agency for International Development). Dilihat latar belakangnya, tentu ada maksud atau harapan tertentu dari penyelenggaraan survai ini, yakni menemukan fakta atau data yang bisa digunakan untuk memunculkan opini yang selaras dengan visi dan misi lembaga. Ini jelas sekali terlihat pada analisis terhadap data-data hasil survey.
Kedua: Survey ini diadakan di Jakarta dan kota-kota penyangga (Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi). Ini wilayah yang dikenal sebagai barometer nasional. Artinya, apa yang terjadi di wilayah ini bisa menjadi cermin apa yang bakal terjadi di Indonesia. Dengan kata lain, memprediksi masa depan Indonesia bisa dilakukan dengan melihat perkembangan di wilayah ini.
Ketiga: meski sebenarnya dilakukan untuk mengukur tingkat toleransi masyarakat, survey ini juga mencari pendapat publik tentang hal yang selama ini memang mereka persoalkan, yakni tentang hukum sekular versus syariah dan demokrasi versus Khilafah.
Bagaimana hasilnya? Sangat menarik. Dari hasil survey ternyata dukungan terhadap syariah dan Khilafah cukup besar. Berkaitan dengan syariah, misalnya, memang terdapat (50,2%) responden menolak gagasan pemberlakuan syariah Islam sebagai dasar hukum di Indonesia. Namun, kelompok yang mendukung pemberlakuan syariah Islam tidak bisa dianggap remeh. Sebanyak 35,3% responden menyatakan setuju syariah Islam dijadikan dasar penyelenggaraan negara dan 14,4% sisanya menjawab tidak tahu.
Dukungan lebih besar terhadap syariah terjadi di wilayah Depok (58%) dan Tangerang (51%); masing-masing berbanding dengan 35% dan 44% yang menolak. Di kota Bogor juga cukup besar, yakni 46%. Yang menolak 50%. Di wilayah Bekasi dan Jakarta dukungan terhadap syariah diberikan oleh rata-rata oleh 35% responden.
Yang paling menarik, ternyata 34,6% warga Jabodetabek menyatakan setuju terhadap sistem Khilafah, 16,2% menyatakan tidak tahu, dan sisanya sebanyak 49,2% menolak. Sekalipun jumlah yang setuju dan tidak setuju dengan sistem Khilafah terpaut cukup signifikan, temuan survey ini, menurut penyelenggaranya, membuktikan bahwa gagasan khilafah telah diterima oleh sebagian masyarakat.
Berdasarkan domisili responden, dukungan terhadap Khilafah terlihat merata di semua wilayah. Namun di Bogor, pendukung Khilafah lebih besar daripada yang menolak: 46% berbanding 44%. Sisanya (10%) menyatakan tidak tahu/tidak menjawab. Bila yang tidak tahu dan tidak menjawab ini terus didakwahi, besar kemungkinan pendukung Khilafah di wilayah itu akan lebih besar daripada yang menolak.
Setara Institute dalam laporannya menyatakan, jika survey ini dapat diposisikan sebagai upaya uji publik atas kedua gagasan itu, maka hasilnya telah dapat menggambarkan sejauh mana tingkat penerimaan masyarakat terhadap syariah dan sistem Khilafah saat ini. Di halaman 40 dari laporan itu mereka menyatakan, “Sejalan dengan itu, kampanye gagasan tentang Khilafah sebagai sebuah alternatif pemerintahan juga mulai menuai dukungan. Sekalipun belum signifikan tapi dukungan itu telah nyata.” Dengan demikian, katanya, “Klaim tentang adanya arus dukungan yang cukup kuat terhadap kedua sistem itu, sebagaimana yang kerap disuarakan oleh para pengusungnya, bukan isapan jempol. Dukungan itu nyata.”
++++
Angka-angka yang cukup tinggi dari hasil survey ini sesungguhnya bukan hal yang mengejutkan. Survey-survey sebelumnya yang dilakukan oleh berbagai lembaga juga menunjukkan hal serupa, yakni adanya keinginan besar dari masyarakat untuk perubahan mendasar ke arah Islam. Seperti ditulis pada al-Waie edisi lalu, survey yang dilakukan oleh SEM Institute tahun lalu, misalnya, menunjukkan bahwa mayoritas responden (74%) setuju penerapan syariah, dan 80% dari mereka berpendapat bahwa syariahlah satu-satunya solusi bagi persoalan bangsa. Bahkan mayoritas responden (83%) setuju penegakan Khilafah dan 65% dari mereka yakin bahwa Khilafah mampu mempersatukan umat Islam seluruh dunia dan menghilangkan kezaliman.
Pelajaran apa yang bisa dipetik dari hasil survey ini? Tak lain adalah bahwa dakwah fikriyah, yakni dakwah yang dilakukan untuk mengubah pemikiran umat, bila dilakukan dengan sungguh-sungguh, ikhlas, sabar dan istiqamah, cepat atau lambat pasti akan membawa perubahan, meski upaya itu selalu dihalang-halangi dengan berbagai cara, dan meski orang-orang kafir dan munafik tidak menyukainya.
Perubahan ke arah Islam melalui dakwah fikriyah dan dakwah siyasiyah seperti yang dilakukan selama ini adalah sesuatu yang pasti akan terjadi. Cepat atau lambat. Itu hanya soal waktu. Buktinya, dukungan terhadap Khilafah terus meningkat. Itu terjadi justru di kawasan Ibukota Jakarta. Subhanallah walhamdulillah…[]