HTI

Analisis (Al Waie)

Deradikalisasi Harus Diwaspadai

Sejak tahun 1991, isu perang melawan terorisme tidak pernah surut, bahkan tetap aktual hingga sekarang. Isu ini sengaja di-update terus-menerus oleh negara imperialis dan antek-anteknya untuk beberapa tujuan. Di antara tujuan penting isu perang melawan terorisme adalah agar menjadi alasan umum untuk memerangi pemikiran, organisasi, atau perjuangan yang berusaha melawan ideologi, kepentingan ekonomi-politik, dan imperialisme Barat atas negeri-negeri kaum Muslim. Dengan kata lain, isu perang melawan terorisme sejatinya dimaksudkan untuk mengokohkan penjajahan dan dominasi Barat atas negeri-negeri kaum Muslim.

Perang melawan terorisme terus digelar hingga memasuki ranah paling penting dari keseluruhan perang melawan terorisme, yakni perang melawan “ideologi kekerasan” yang dianggap menginspirasi dan melatarbelakangi aksi kekerasan di Dunia Islam. Barat dan antek-anteknya menyakini sepenuhnya bahwa perlawanan kaum Muslim terhadap penjajahan dan dominisasi Barat tidak akan pernah berakhir hingga mereka berhasil merevisi ajaran penting dalam Islam, yakni akidah, Khilafah dan jihad. Sebab, selama umat Islam masih memiliki akidah yang lurus, terikat dengan hukum syariah dan memaknai jihad sesuai dengan makna yang ditetapkan oleh Asy-Syari’, niscaya perlawanan terhadap penjajahan Barat atas Dunia Islam, dan keinginan mengganti sistem demokrasi-sekular kufur dengan syariah dan Khilafah tidak akan pernah mati. Dari sinilah dapat dimengerti, mengapa Barat dan antek-anteknya berusaha mati-matian menderadikalisasi—tepatnya merevisi—pemikiran-pemikiran Islam seputar taghut, jihad dan Khilafah.

Merespon Deradikalisasi

Deradikalisasi ajaran Islam tentang jihad, taghut dan Khilafah adalah agenda jahat yang tidak hanya akan mengubah pemahaman lurus tentang ketiga istilah tersebut dan melanggengkan penjajahan di Dunia Islam. Bahkan proyek ini akan berakibat pada lenyapnya ruhul jihad dari dada kaum Muslim. Jika ruhul jihad telah lenyap, niscaya kaum Muslim tidak akan mampu lagi menjaga eksistensi Islam dan kaum Muslim. Ini bisa dimengerti karena eksistensi Islam dan kaum Muslim disangga di atas ajaran akidah, jihad dan Khilafah.

Untuk itu, proyek deradikalisasi harus direspon dengan cara: Pertama, meningkatkan kesadaran politik (wa’yu siyasi) kaum Muslim melalui edukasi yang bersifat terus-menerus. Yang dimaksud dengan kesadaran politik (wa’yu siyasi) di sini bukanlah kesadaran berpolitik seperti yang dimiliki politisi sekular, tetapi kesadaran yang mendorong umat untuk memandang setiap persoalan dari sudut pandang akidah dan syariah Islam. Kesadaran inilah yang akan memandu kaum Muslim selalu waspada terhadap setiap upaya yang ditujukan untuk menghancurkan eksistensi Islam dan kaum Muslim, termasuk melalui proyek deradikalisasi. Kesadaran ini pula yang akan mendorong mereka untuk membela ajaran Islam dari para perongrongnya.

Wa’yu siyasi hanya akan tumbuh jika di tengah-tengah umat ada tatsqif (pembinaan) yang bersifat terus-menerus hingga umat menjadikan akidah Islam sebagai satu-satunya sudut pandang hidupnya dan syariah Islam sebagai satu-satunya aturan yang mengatur seluruh perbuatannya.

Kedua, memberi penjelasan yang benar kepada umat tentang makna jihad, taghut dan Khilafah, sekaligus menunjukkan letak kesalahan pemaknaan yang dilakukan oleh musuh-musuh Islam terhadap istilah-istilah tersebut. Tentang jihad, seluruh ulama sepakat bahwa makna jihad menurut pengertian syariah adalah berperang di jalan Allah melawan orang-orang kafir, baik secara langsung maupun tidak langsung. Menurut mazhab Hanafi, sebagaimana yang dinyatakan dalam kitab Bada’i’ ash-Shana’i’, “Secara literal, jihad adalah ungkapan tentang pengerahan seluruh kemampuan…Adapun menurut pengertian syariah, jihad bermakna pengerahan seluruh kemampuan dan tenaga dalam berperang di jalan Allah, baik dengan jiwa, harta, lisan ataupun yang lain.” (Al-Kasani, Bada’i’ ash-Shana’i’, VII/97).

Menurut mazhab Maliki, seperti yang termaktub di dalam kitab Munah al-Jalil, jihad adalah perang seorang Muslim melawan orang kafir yang tidak mempunyai perjanjian, dalam rangka menjunjung tinggi kalimat Allah SWT, atau kehadirannya di sana (yaitu berperang), atau dia memasuki wilayahnya (yaitu, tanah kaum kafir) adalah untuk berperang. Demikian yang dikatakan oleh Ibn ‘Arafah (Syaikh Muhammad ‘Ilyasy, Munah al-Jalil–Mukhtashar Sayyid al-Khalil, III/135).

Mazhab asy-Syaafii, sebagaimana dinyatakan dalam kitab Al-Iqna’, mendefinisikan jihad dengan “berperang di jalan Allah.” (Al-Khathib, Hasyiyah al-Bujayrimi ‘ala Syarh al-Khathib, IV/225).

As-Sirazi juga menegaskan dalam kitab Al-Muhadzdzab, “Sesungguhnya jihad itu adalah perang.”

Mazhab Hanbali, seperti yang dituturkan di dalam kitab Al-Mughni karya Ibn Qudamah, juga menyatakan bahwa jihad yang dibahas dalam kitab al-Jihad tidak memiliki makna lain selain yang berhubungan dengan peperangan, atau berperang melawan kaum kafir, baik fardlu kifayah maupun fardlu ain; ataupun dalam bentuk sikap berjaga-jaga kaum Mukmin terhadap musuh, menjaga perbatasan dan celah-celah wilayah Islam. Dalam masalah ini, Ibnu Qudamah berkata: Ribath (menjaga perbatasan) merupakan pangkal dan cabang jihad (Ibn Qudamah, Al-Mughni, X/375). Beliau juga mengatakan: Jika musuh datang, maka jihad menjadi fardlu ‘ain bagi mereka…Jika hal ini memang benar-benar telah ditetapkan maka mereka tidak boleh meninggalkan (wilayah mereka) kecuali atas seizin pemimpin (mereka). Sebab, urusan peperangan telah diserahkan kepadanya (Ibn Qudamah, Al-Mughni, X/30-38).

Adapun taghut, seluruh ulama juga sepakat bahwa definisi taghut adalah sesembahan selain Allah atau hukum-hukum kufur. Imam As-Sa’di menyatakan bahwa taghut adalah semua hukum selain hukum Allah SWT (Imam Abdurrahman Nashir as-Sa’di, Taysir al-Karim ar-Rahman fi Tafsir Kalaam al-Manan, hlm. 90).

Imam Malik, sebagaimana dikutip oleh Ibnu al-‘Arabi menyatakan, thaghut adalah semua hal selain Allah yang disembah manusia seperti berhala, pendeta, ahli sihir atau semua hal yang menyebabkan syirik (Ibnu al-’Arabi, Ahkam al-Qur’an, I/578).

Berdasarkan penjelasan ini dapat dipahami bahwa sekularisme, liberalisme, demokrasi, nasionalisme, sosialisme dan kapitalisme adalah taghut yang harus diingkari dan ditolak oleh kaum Muslim.

Sedangkan Khilafah, seluruh ulama sepakat bahwa Khilafah adalah kepemimpinan umum kaum Muslim di seluruh dunia pada wilayah tertentu untuk menjalankan syariah Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia.

Syaikh Musthafa Shabari, Syaikhul Islam dalam Daulah Utsmaniyyah mendefinisikan khilafah dengan, “Pengganti Rasulullah saw. dalam melaksanakan syariah Islam”. (Musthafa Shabari, Mawqif al-‘Aql wa al-‘Ilm wa al-‘Alim, IV/363).

Imam al-Baidhawi mendefinisikan Khilafah dengan, “Sosok yang menggantikan Rasulullah saw. dalam menegakkan syariah Islam, menjaga agama, yang wajib ditaati oleh seluruh kaum Muslim.” (Imam al-Baidhawi, Hasyiyyah Syarh ath-Thawali’, hlm. 228).

Imam al-Qalqasyandi mendefinisikan khilafah dengan, “Kekuasaan umum atas seluruh umat” (Imam al-Qalqasyandi, Maatsir al-Inafah fi Ma’alim al-Khilafah, I/8).

Imam Adldi ad-Din al-Aiji mendefinisikan khilafah sebagai: “Kepemimpinan umum untuk urusan dunia dan akhirat yang dimiliki oleh seseorang.” (Imam ‘Adldi ad-Din al-Aiji, Mawaqif wa Syarhihi, V/66). Beliau juga menyatakan dalam kitab yang sama, bahwa khalifah lebih utama disebut sebagai: Khilafah ar-Rasul dalam menegakkan dan menjaga agama, yang mana ia wajib ditaati oleh seluruh kaum Muslim.”

Sebagian ulama Syafi’iyah mendefinisikan khilafah dengan, “Imam A’dzam (Pemimpin Agung) yang mengganti posisi Rasul dalam menjaga agama dan mengatur kehidupan dunia.” (Nihayah al-Muhtaaj ila Syarh al-Minhaj, VII/289).

Imam al-Mawardi mendefinisikan khilafah dengan, “Imamah yang diposisikan untuk Khilafah Nubuwwah (pengganti kenabian) dalam hal menjaga agama dan urusan dunia.” (Imam Al-Mawardi, Al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hlm. 3).

Ibnu Khaldun mendefinisikan khilafah dengan, “Wakil Allah dalam menjaga agama dan urusan dunia.” (Ibnu Khaldun, Muqaddimah, hlm. 159).

Ketiga, membangun sebuah kesadaran bahwa menerapkan syariah, menegakkan Khilafah dan berjihad di jalan Allah adalah kewajiban agama. Seorang Mukmin wajib menjalankan syariah Islam secara menyeluruh dalam koridor sistem pemerintahan Islam, yakni Khilafah Islamiyah. Seorang Muslim juga diwajibkan berperang di jalan Allah SWT jika sebab-sebabnya telah terpenuhi. Atas dasar itu, ketika kaum Muslim berjuang untuk menegakkan syariah dan Khilafah, semua itu semata-mata karena refleksi keimanan dan ketaatannya kepada Allah SWT. Selain itu, perjuangan menegakkan syariah dan Khilafah justru ditujukan untuk mengentaskan manusia dari keterpurukan akibat penerapan sistem demokrasi-sekular dan mengembalikan supremasi Islam dan kaum Muslim; bukan untuk menciptakan teror dan kekerasan.

Keempat, mengungkap rencana-rencana jahat musuh Islam serta makar dan persekongkolan para penguasa sekular dengan negara-negara imperialis Barat (kasyf al-khuththat). Upaya ini ditujukan agar umat Islam mampu melihat dan menghindarkan diri dari kejahatan tersembunyi yang ada di balik makar dan persekongkolan tersebut. Dengan cara seperti itu pula, hubungan rakyat dengan para penguasa sekular bisa diguncang dan diruntuhkan hingga rakyat tidak lagi mempercayai para penguasa sekular dan pada akhirnya rakyat akan menyerahkan kekuasaannya kepada gerakan Islam yang mukhlish.

Meneladani Rasulullah saw.

Sejak Nabi saw. diperintahkan untuk mendakwahkan Islam secara terbuka, beliau harus menghadapi makar dari musuh-musuhnya. Permusuhan terhadap Nabi saw. dan pengikutnya dapat diklasifikasikan dalam beberapa bentuk:

(1) Peraguan terhadap ajaran Islam yang dibawa Nabi saw. Di antara bentuk peraguan itu adalah opini bahwa al-Quran berasal dari seorang laki-laki Nasrani, bernama Jabar. Opini ini langsung dipadamkan oleh Allah SWT dengan menyatakan bahwa al-Quran adalah bahasa Arab, sedangkan bahasa Jabar adalah bahasa asing. Bagaimana al-Quran berasal dari Jabar yang berbahasa a’jam, sedangkan al-Quran diturunkan dengan bahasa Arab? (QS an-Nahl [16]: 103). Al-Quran juga disepadankan dengan dongeng-dongeng masa lalu (QS al-An’am [6]: 25). Isu ini ditepis dengan menjelaskan kebenaran al-Quran serta kesudahan buruk bagi orang-orang yang menolak dan mengingkari al-Quran.

(2) Peraguan terhadap personalitas Muhammad saw. sebagai nabi dan pemimpin gerakan perubahan. Nabi saw. difitnah dengan tuduhan-tuduhan miring mulai dari orang gila, penyihir, tukang pecah-belah, orang yang membenarkan semua perkataan yang didengarnya, dan tuduhan-tuduhan lainnya. Tuduhan-tuduhan ini direspon dengan cara bersabar, tetap konsisten, dan fokus dalam menyerukan kebenaran Islam, tanpa pernah letih terus menyerang keyakinan dan sistem hukum jahiliah, serta buruknya personalitas pemuka-pemuka Quraisy.

(3) Bujukan, rayuan dan tipu daya untuk menghentikan dakwah Islam. Nabi saw. pernah ditawari kekuasaan, harta, dan wanita oleh para pembesar Quraisy, dengan syarat beliau tidak melanjutkan aktivitas dakwahnya. Hanya saja, makar seperti ini tidak mampu menggoyahkan beliau dalam mengemban dakwah Islam, karena keimanan dan keyakinan beliau terhadap nashrullah.

(4) Kekerasan fisik mulai dari pemboikotan, penyiksaan, hingga pembunuhan pengikut-pengikut Nabi saw. Makar seperti ini dihadapi dengan cara mempertebal keimanan Sahabat terhadap janji dan pertolongan Allah SWT; hijrah ke negeri yang bisa melindungi agama dan jiwa kaum Muslim; dan meminta pertolongan pihak-pihak yang memiliki kekuatan (ahlul quwwah). Inilah cara yang dilakukan Nabi saw. untuk meredam makar yang dilancarkan oleh musuh-musuhnya. Cara seperti inilah yang harus dijadikan teladan dan contoh.

Akhirnya, proyek deradikalisasi akan menuai kegagalan atas izin Allah SWT. Mengapa demikian? Sebab, proyek ini justru akan mempertebal keyakinan umat Islam atas kebenaran agamanya, dan semakin memperbesar ketidakpercayaan umat terhadap para penguasa sekular. Jika ini yang terjadi, insya Allah, pertolongan Allah SWT akan diturunkan kepada kaum Muslim dalam waktu tidak akan lama lagi.

Wallahu al-Hadi al-Muwaffiq ila Aqwam ath-Thariq. [Syamsuddin Ramadhan An-Nawiy]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*