HTI

Dunia Islam (Al Waie)

Disintegrasi Sudan: Proyek Penjajahan Barat

Seperti sudah diduga sebelumnya, Sudan Selatan akhirnya terpisah dari Sudan lewat referendum Ahad (09/01/2011). Penjajah kafir Barat kafir berhasil merealisasi rencananya untuk memecah-belah Sudan. Referendum ini sebenarnya hanya sekadar formalitas, sebab hasilnya sudah dipersiapkan sebelumnya, yaitu disintegrasi. Sekretaris jenderal Gerakan Rakyat (Popular Movement), Baqam Amom sebelum referendam mengatakan, “Besok kita akan memberi suara untuk pemisahan hingga seandainya hujan api sekalipun.”

Bahkan Amerika telah mencalonkan tiga nama untuk manjabat duta besar di negara selatan yang akan berdiri. Presiden Omar al-Bashier ketika berkunjung ke Juba, meyakinkan mereka atas pemisahan. Ia berkata, “Kita tidak akan mendirikan tenda berkabung. Kita hanya akan berpesta bersama Anda.”

Disintegrasi Selatan Sudan merupakan bagian dari rencana lama yang diperbarui untuk memecah-belah negeri-negeri kaum Muslim menjadi entitas-entitas kecil yang tidak memiliki daya dan kekuatan hingga mudah dikontrol dan dirampok kekayaannya. Pemisahan Sudan Selatan bukanlah yang terakhir. Masyarakat mengikuti rencana ini dan diam saja terhadap konspirasi ini. Diperkirakan nasib yang sama terjadi pada wilayah Darfur dan Abyey. Pra kondisi disintegrasi wilayah tersebut sudah lama dirancang, tinggal menunggu waktu.

Referendum: Tipudaya Barat

Sebelum mendapat kemerdekaan pemerintahan Inggris pada tahun 1965, Sudan dikuasai oleh pasukan yang merupakan kaki tangan Anglo-Mesir pada 1899. Mesir sendiri adalah bagian dari Kerajaan Inggris pada waktu itu. Darfur ditaklukan oleh Inggris pada 1916. Namun, perselisihan antarsuku di wilayah itu menyebabkan perang saudara pada tahun 1970. Lalu Amerika menengahi Perjanjian Damai Naivasha pada tahun 2005, yang berpuncak pada berakhirnya perang saudara antara kelompok pemberontak utama, Gerakan/Tentara Pembebasan Rakyat Sudan/(SPLM/A) dan Pemerintah Sudan. Persyaratan perjanjian tersebut meliputi berbagai tindakan yang memberikan otonomi bagi wilayah Selatan dan prospek memisahkan diri pada tahun 2011. Amerika secara aktif membantu dan mendukung pemberontak minoritas Kristen di Sudan Selatan dengan menyediakan senjata. Tanpa bantuan itu pemberontak akan sulit untuk menang.

The Sunday Times (17/11/1996) pernah mengungkap, Pemerintah Clinton meluncurkan kampanye untuk membuat ketidakstabilan Pemerintah Sudan. Lebih dari 20 miliar dolar peralatan militer dikirim ke Eritrea, Etiopia, Uganda, termasuk ke tentara pemberontak Sudan Selatan (SPLA).

Lalu Inggris dan Prancis memberikan senjata ke Chad; mendukung dan mempersenjatai para pemberontak di Darfur. Akibatnya, Darfur menjadi masalah internasional. Kedua negara itu berhasil menginternasionalisasikan masalah Darfur serta memperumit rencana Amerika untuk memisahkan Sudan Selatan dan mengubahnya menjadi sebuah negara merdeka. Hilary Clinton mengatakan kepada Dewan Hubungan Luar Negeri, “tidak terelakkan” bahwa Sudan Selatan akan memilih untuk memisahkan diri dan membentuk sebuah negara merdeka.

Barat berhasil menginternasionalisasi masalah Sudan. Penyelesainnya diambil alih oleh kekuatan kolonial atas nama referendum, kemerdekaan dan peningkatan kesejahteraan. Hal ini mirip dengan Timor Leste; Amerika Serikat memaksa Indonesia menyerahkan Timor Timur atas nama hak menentukan nasib sendiri.

Inggris pun memenuhi permintaan Yahudi atas sebuah tanah air dengan menciptakan suatu kondisi bagi mereka di Timur Tengah. Saat ini Amerika terus  menjanjikan kaum Zionis status permanen dan memaksa kaum Muslim di wilayah itu untuk menyerahkan wilayahnya kepada negara Yahudi. Sengketa dalam negeri  berbagai faksi secara historis merupakan celah bagi Barat untuk ikut campur.

Bukan Masalah Kemerdekaan dan Menentukan Nasib Sendiri

Apa yang disebut hak menentukan nasib sendiri (pemisahan) adalah tipudaya Barat untuk memecah-belah negeri kaum Muslim. Jika tidak demikian, mengapa mereka tidak melakukan pemisahan di negeri-negeri mereka sendiri, padahal banyak di antara negeri mereka (Barat) yang terdiri dari berbagai bangsa yang berbeda, suku yang beragam dan bahasa bermacam-macam!?

Kemunafikan masyarakat internasional dalam hal pemisahan diri dan persatuan sangat luar biasa. Barack Obama, seorang pengagum Abraham Lincoln, pasti telah gagal melihat ironi, bahwa Presiden yang begitu ia kagumi telah membawa bangsanya ke dalam peperangan untuk mencegah Amerika pecah menjadi dua. Namun, pada hari ini, dia dan yang lainnya mendukung pemisahan negara lain dan menyebutnya sebagai ‘langkah bersejarah’.

Jika memisahkan diri begitu bersejarah bagi Sudan, lalu mengapa Lincoln menentang perang saudara dengan mengorbankan begitu banyak nyawa dan harta untuk mempertahankan Amerika Serikat? Jika memisahkan diri di Sudan sangat bersejarah, mengapa Inggris tidak mengizinkan Skotlandia, Wales atau Irlandia Utara untuk berpisah? Mengapa Spanyol  memberikan jalan bagi wilayah Basque, atau Kanada bagi Quebec untuk memisahkan diri. Mengapa pula India tetap ngotot mempertahankan Kashmir? Mengapa di Dunia Muslim, rakyatnya dianjurkan untuk memisahkan diri seperti di Bangladesh, Timor Timur atau sekarang Sudan Selatan; namun untuk Jerman Barat dan Timur kesatuan politik adalah hal yang baik dan persatuan Korea pada akhirnya masih dianggap sebagai tujuan politik yang patut dipuji?

Mereka menjadikan pemeliharaan yang buruk sebagai dalih untuk memecah-belah Sudan. Solusi sejatinya jelas bukan disintegrasi, tetapi mencari sistem yang mampu menjamin kesejahteraan. Tidak lain dengan menerapan syariah Islam secara kaffah. Hukum asalnya, pemeliharaan urusan-urusan masyarakat itu haruslah sesuai dengan hukum-hukum Islam. Sebab, keadilan tidak mungkin terealisasi kecuali dengan hukum-hukum Islam. Perlu diketahui bahwa pemeliharaan yang buruk di utara sama seperti yang terjadi di selatan. Pemeliharaan yang buruk itu tidak boleh dijadikan dalih untuk membelah Sudan.

Pemisahan Sudan sama sekali tidak ada kaitannya dengan masalah dalam negeri Sudan. Dengan mengikuti kekuatan kolonial itu, para pemimpin Sudan dari utara hingga selatan telah mengabaikan rakyat Sudan. Semua mengikuti arahan Barat untuk merampok kekayaan alam Sudan.

Pemisahan Sudan Selatan bukan berarti menghentikan konflik di kawasan itu. Banyak isu yang perlu ditangani yang belum terselesaikan, seperti bagaimana membagi pendapatan minyak, atau apa yang terjadi dengan $35 juta hutang Sudan atau masa depan Abyei. Di luar Ibukota Juba, tidak ada pembangunan. Jika orang percaya bahwa kemerdekaan akan memberikan daerah pedesaan selatan banyak manfaat, maka mereka akan sangat kecewa; 80% pelayanan di selatan (kesehatan, pendidikan, air dan sanitasi) disediakan oleh LSM-LSM.

Sebuah negara yang tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya, yang bergantung pada bantuan asing dan organisasi-organisasi untuk berfungsi, yang memiliki minyak di wilayah hukumnya tetapi bergantung secara eksklusif pada pipa-pipa, kilang-kilang dan pelabuhan-pelabuhan  wilayah utara bukanlah negara yang layak dan berdaulat.

Siapa Bertanggung Jawab?

Pihak yang menanggung dosa pemisahan selatan Sudan dan yang memikul tanggung jawab berjalannya agenda Barat kafir ini adalah pemerintah yang menandatangani Perjanjian Nivasha beracun dan mengimplementasikan-nya, kekuatan-kekuatan politik yang menyambut perjanjian itu, juga kekuatan militer dan polisi keamanan yang dengan kemampuannya bisa menghapus rencana tersebut tetapi mereka tidak melakukannya.

Apapun alasannya, semua orang yang menyerukan pemisahan adalah penjahat yang wajib diperangi. Rasul saw. bersabda di dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh imam Muslim:

مَنْ أَتَاكُمْ وَأَمْرُكُمْ جَمِيْعٌ عَلَى رَجُلٍ وَاحِدٍ يُرِيْدُ أَنْ يَشُقَّ عَصَاكُمْ أَوْيُفَرِّقَ جَمَاعَتَكُمْ فَاقْتُلُوْهُ

Siapa saja yang mendatangi kalian, sementara urusan kalian berhimpun di atas satu orang, lalu dia ingin mencerai-beraikan persatuan kalian dan memecah-belah jamaah kalian, maka bunuhlah dia.

Dunia Islam Butuh Persatuan

Terpecah ke dalam lebih dari lima puluh negara membuat Dunia Islam menjadi lemah tak berdaya. Meskipun teks-teks Islam secara jelas menjelaskan kewajiban persatuan politik, pemisahan Sudan menjadi dua negara yang lebih lemah merupakan  tindakan geopolitik yang tidak masuk akal. Sudan pernah menjadi bagian dari Mesir, dan tidak ada jaminan bahwa pemisahan saat ini menjadi yang terakhir. Negara itu adalah negara terbesar di Afrika dan salah satu negara terbesar di dunia; memiliki aliran Sungai Nil yang luas, cadangan minyak dan mineral yang besar, tanah yang subur dan hewan liar yang sangat banyak.

Berbeda dengan hari ini, Sudan pernah makmur di bawah kekuasaan Islam. Islam masuk ke Afrika Utara ratusan tahun lalu, dan Islam memasuki banyak wilayah Darfur serta bagian lain dari Sudan pada abad ke-14. Sebagian besar penguasa Muslim di sana mencontoh pemerintahannya, Khilafah. Meskipun Kesultanan Funj dari Sinnar tidak langsung di bawah kontrol Khilafah Usmani pada saat itu hingga tahun 1821, Islam saat itu bisa menyatukan rakyat tanpa memandang etnisnya. Kemakmuran pun tercapai tanpa diskriminasi. Ini karena rakyat mengeyamping-kan perselisihan kecil mereka dan memilih bersatu atas dasar Islam. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*