Soal:
Bagaimana status hadiah yang diterima oleh pajabat publik, keluarga atau pihak-pihak yang terkait dengan pejabat tersebut? Apakah statusnya sama dengan suap? Dengan demikian, apakah gratifikasi termasuk dalam kategori suap?
Jawab:
Hadiah adalah pemberian yang diberikan secara cuma-cuma tanpa imbalan.1 Hukum asal memberikan hadiah adalah sunah, berdasarkan hadis Nabi saw.:
نِعْمَ الشَّيْءِ الْهَدِيَّةَ إِذَا دَخَلَتْ الْبَابَ ضَحِكَتْ اْلأُسْكُفَّةُ
Sebaik-baik sesuatu adalah hadiah. Jika ia masuk pintu (rumah seseorang), maka yang dia masuki pun pasti tertawa.2
Namun, kesunnahan tersebut, menurut al-‘Allamah as-Sarakhsi, berlaku jika terkait dengan hak yang tidak ada kaitannya dengan salah satu pekerjaan untuk mengurus kaum Muslim. Namun, jika ada orang yang diangkat untuk menjalankan urusan kaum Muslim, seperti para hakim dan kepala daerah, maka dia harus menolak menerima hadiah, khususnya dari orang yang sebelumnya tidak pernah memberikan hadiah kepadanya. Sebab, itu bisa mempengaruhi keputusan, dan karenanya, hadiah seperti ini merupakan bentuk suap (risywah) dan harta haram (suht).3
Dalam hal ini, hadiah yang diberikan kepada pejabat publik merupakan harta yang diberikan oleh pihak yang berkepentingan (shahib al-mashlahah) bukan sebagai imbalan karena urusannya terselesaikan, tetapi karena pejabat publik itulah orang yang secara langsung menyelesaikan urusannya, atau dengan bantuannya urusan tersebut terselesaikan. Apakah hadiah tersebut diberikan karena keinginan untuk menyelesaikan urusan tertentu, atau setelah urusan tersebut selesai, atau pada saatnya ketika dibutuhkan. Karena itu, pada konteks inilah, hadiah kepada pejabat publik tersebut statusnya sama dengan suap (risywah).4
Keharaman tersebut didasarkan pada hadis:
أنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم اِسْتَعْمَلَ اِبْنَ اللُّثَيْنَةْ عَلىَ الصَّدَقَاتِ فَجَاءَ بِمَالٍ فَقَالَ: هَذَا لَكُمْ وَهَذَا مِمَّا أُهْدَى إِليَّ فَقاَلَ: صلى الله عليه وسلم فِي خُطْبَتِهِ: مَا بَالُ قَوْمٍ نَسْتَعْمِلُـهُمْ فَيُقَدِّمُوْا بِمَالٍ وَيَقُوْلُوْنَ هَذَا لَكُمْ وَهَذَا مِمَّا أُهْدَي إِليَّ فَهَلاَ جَلَسَ أَحَدُكُمْ عِنْدَ حِمْشِ أُمِّهِ فَيَنْظُرُ أَيُهْدَى إِلَيْهِ أَمْ لاَ
Sesungguhnya Nabi saw. telah mengangkat Ibn al-Lutsainah untuk mengambil sedekah/zakat. Dia kemudian datang membawa harta dan berkata, “Ini untuk Anda dan ini merupakan harta yang dihadiahkan kepada saya.” Nabi saw. pun bersabda dalam khutbahnya, “Bagaimana gerangan, ada suatu kaum yang kami angkat (untuk mengambil sedekah/zakat), lalu datang membawa harta, dan berkata, ‘Ini untuk Anda dan ini merupakan harta yang dihadiahkan kepada saya.’ Apa tidak sebaiknya salah seorang di antara kalian duduk di tempat ibunya, lalu melihat apakah dia akan diberi hadiah atau tidak.” 5
Dengan kata lain, ketika hadiah tersebut datang karena jabatan, maka hukumnya haram. Namun, jika hadiah tersebut datang bukan karena jabatan, maka hukumnya halal. Inilah yang dinyatakan, baik oleh al-‘Allamah as-Sarakhsi maupun al-‘Allamah an-Nabhani.
Lalu bagaimana dengan gratifikasi yang diperoleh oleh pejabat publik? Apakah faktanya sama dengan hadiah dan suap? Ataukah berbeda?
Gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, komisi pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.6
Contoh-contoh kasus yang bisa digolongkan dalam gratifikasi, antara lain:
1. Pembiayaan kunjungan kerja lembaga legislatif oleh eksekutif, karena hal ini dapat mempengaruhi legislasi dan implementasinya.
2. Cideramata bagi guru (PNS) setelah pembagian rapor/kelulusan.
3. Pungutan liar di jalan raya dan tidak disertai tanda bukti dengan tujuan sumbangan tidak jelas. Oknum yang terlibat bisa jadi dari petugas kepolisian (polantas), retribusi (dinas pendapatan daerah) dan LLAJR.
4. Penyediaan biaya tambahan (fee) 10-20 persen dari nilai proyek.
5. Uang retribusi untuk masuk pelabuhan tanpa tiket yang dilakukan oleh Instansi Pelabuhan, Dinas Perhubungan dan Dinas Pendapatan Daerah.
6. Parsel ponsel canggih keluaran terbaru dari pengusaha kepada pejabat.
7. Hadiah pernikahan untuk keluarga pejabat dari pengusaha.
8. Pengurusan KTP/SIM/Paspor yang “dipercepat” dengan uang tambahan.7
Berdasarkan fakta di atas, maka status gratifikasi tersebut harus dibedakan:
1. Jika gratifikasi tersebut diberikan oleh pemberinya karena terkait dengan jabatan penerimanya, baik untuk menyelesaikan urusan pada saat itu maupun pada masa yang akan datang, maka status gratifikasi tersebut haram. Statusnya, sama dengan suap.
2. Jika gratifikasi tersebut diberikan oleh pemberinya, sama sekali tidak terkait dengan jabatan penerimanya, tetapi karena hubungan kekerabatan atau pertemanan, yang lazim saling memberi hadiah, maka gratifikasi seperti ini hukumnya halal.
Jika status gratifikasi tersebut haram, maka dilaporkan atau tidak kepada negara, statusnya tetap haram. Karena itu, apa yang dinyatakan dalam UU No 20/2001, bahwa setiap gratifikasi yang diperoleh pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap suap, namun ketentuan yang sama tidak berlaku apabila penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) yang wajib dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima, adalah ketentuan yang bertentangan dengan hukum Islam. Justru ketentuan ini melegalkan praktik suap dan hadiah yang diharamkan. Wallahu a’lam.
Catatan kaki:
1 Prof. Dr. Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughat al-Fuqaha’, Dar an-Nafais, Beirut, cet. I, 1416 H/1996 M, hlm. 465.
2 Al-‘Allamah Syamsuddin as-Sarakhsi, Al-Mabsuth, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, 1993 M, XVI/59.
3 Ibid.
4 Al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Dar al-Ummah, Beirut, cet. V, 1424 H/2003 M, II/337.
5 Ibid.
6 Lihat, http://id.wikipedia.org/wiki/Gratifikasi.
7 Lihat, http://id.wikipedia.org/wiki/Gratifikasi.