HTI

Ibrah (Al Waie)

Motivasi

Terus terang, saya merasa terlahir kembali sebagai seorang Muslim,” kata mahasiswi sebuah perguruan tinggi di Jakarta itu. “Training motivasi ini luar biasa! Sungguh, tak sia-sia meski saya harus membayar mahal untuk kegiatan ini,” imbuhnya lagi sambil mengusap air mukanya dengan selembar tisu. Tampak ia baru saja menangis, tetapi juga setelah itu wajahnya tampak lebih cerah, lebih semangat dan lebih optimis dari sebelumnya. Ia baru saja menyelesaikan hari terakhir dari tiga hari masa training motivasi keislaman itu, yang diisi oleh seorang trainer Muslim terkemuka di Tanah Air. Sang trainer, dengan dukungan multimedia dan retorikanya yang memikat, benar-benar mampu membang-kitkan kembali kesadaran spiritual dan ghirah keberislaman hampir seluruh peserta dari sekian ratus peserta yang hadir selama tiga hari itu.

Namun sayang, tak semua alumni training itu benar-benar istiqamah dengan kesadaran spiritual baru yang mereka dapatkan. Banyak dari alumni itu yang kemudian—tak sampai beberapa minggu berlalu—kembali ’futur’. Kesadarannya kembali tergerus oleh rutinitas kehidupannya, juga lingkungannya, yang memang tak pernah benar-benar mendukung bagi terus tumbuh dan berkembangnya kesadaran spiritual itu. Shalatnya kembali ’bolong-bolong’. Tilawah al-Qurannya kembali ia tinggalkan. Gairahnya untuk menuntut ilmu kembali menyusut. Semangatnya untuk beramal shalih kembali pudar. Keterikatannya dengan syariah kembali terlepas. Ghirah dakwahnya kembali meredup. Pada sebagian alumni, seolah-olah training motivasi yang ’luar biasa’ itu tak berbekas sama sekali. Bahkan sebagian dari mereka kembali pada kebiasaan-kebiasaan buruk semula.

Jika demikian, sia-siakah menjamurnya training-training keislaman semacam ini? Tentu tidak. Lalu adakah yang salah dengan training-training itu? Tidak juga. Sebagai sebuah upaya, kegiatan keislaman bertajuk training motivasi atau semacamnya banyak manfaatnya. Namun demikian, tulisan ini tak hendak mengurai lebih jauh manfaat dari kegiatan tersebut. Tulisan ini hanya ingin mengajak diri kita merenung: Mengapa banyak umat, termasuk pengemban dakwah, butuh dengan training-training motivasi keislaman dengan ragam bentuknya itu? Mengapa banyak Muslim begitu antusias—meski harus mengeluarkan ratusan ribu hingga jutaan—mengikuti kegiatan-kegiatan semacam itu, bahkan tak cukup hanya satu-dua kali? Tak cukupkah al-Quran dan as-Sunnah—yang kata Baginda Nabi saw. masing-masing merupakan wacana terbaik (khayr al-kalam) dan petunjuk terbaik (khayr al-hady)—menjadi sumber motivasi?

Mengapa hari ini kita tak seperti generasi Sahabat Nabi saw. yang rata-rata memiliki kualitas keimanan dan ketakwaan yang selalu prima, motivasi dakwah yang tinggi, semangat jihad yang senantiasa menyala-nyala, ghirah keislaman yang paripurna, serta keistiqamahan dalam ketaatan yang luar biasa?

*****

Renungkahlah sejenak fragmen berikut. Sahabat Amr bin Jamuh ra. adalah seorang yang pincang. Ia memiliki empat anak laki-laki. Semuanya selalu menyertai Rasulullah saw. dalam peperangan. Saat Perang Uhud tiba, Ibn Jamuh benar-benar ingin menyertai anak-anaknya berperang. Sudah lama ia ingin mati syahid. Sudah lama surga terbayang-bayang di matanya. Namun, saudara-saudaranya selalu mencegahnya. “Engkau telah dikecualikan karena kakimu (pincang). Engkau tak perlu ikut serta.” Ia menjawab, “Sungguh menyedihkan. Anak-anakku akan masuk surga, sementara aku tertinggal di belakang.”

Ia pun segera melengkapi dirinya dengan senjata, seraya berdoa, “Ya Allah, janganlah Engkau mengembalikan aku kepada keluargaku.”

Ia lalu bergegas menemui Baginda Rasulullah saw. dan berkata, “Sungguh, aku ingin gugur sebagai syuhada, tetapi saudara-saudaraku selalu melarangku ikut berjihad. Wahai Rasulullah, saat ini aku tak bisa lagi menahan keinginanku. Aku berharap dapat berjalan-jalan di surga dengan kakiku yang pincang ini.”

Rasul menjawab, “Amr, engkau memiliki udzur. Jadi, tak mengapa jika engkau tak ikut serta berperang.”

Namun, karena kuatnya keinginan untuk mati syahid dan masuk surga, Amr terus mendesak Rasulullah saw. Akhirnya, beliau pun mengizinkannya. Seketika, tanpa membuang waktu, dengan tertatih-tatih Amr segera menuju medan perang. Allah SWT mengabulkan keinginannya. Ia pun gugur sebagai syuhada, tak pernah kembali lagi kepada keluarganya (Al-Kandahlawi, Fadha’il A’mal, hlm. 624).

Kisah-kisah semacam ini amatlah banyak. Ada Hanzhalah ra. yang begitu ringannya meninggalkan indahnya ’malam pengantin’ bersama istrinya—yang baru beberapa jam lalu ia nikahi—saat ada panggilan jihad dalam Perang Uhud. Ada Umair bin Hammam ra. yang melesat secepat kilat untuk berjihad saat Rasul menjanjikan surga bagi siapa saja yang ikut Perang Badar. Ia pun seketika membuang kurma-kurma yang sedang ia santap karena ia anggap akan terlalu banyak memakan waktu. Ada Umair ra.—saat itu ia baru berusia 9 tahun—saudara Saad bin Abi Waqqas ra., yang terpaksa harus sembunyi-sembunyi ikut serta dalam Perang Badar. Ia khawatir dilarang ikut berjihad oleh Rasulullah saw. karena masih kecil. Demikianlah, masih banyak kisah-kisah lain yang serupa, yang menunjukkan semangat yang tinggi dan selalu berkobar-kobar dari para Sahabat ra. dalam menyambut seruan jihad fi sabillillah.

Pertanyaannya: mengapa para Sahabat ra. begitu mudah termotivasi hanya saat mendengar kata surga? Mengapa mereka selalu antusias saat ada panggilan jihad? Bukankah jihad (perang) berarti mempertaruhkan nyawa dan sering berujung pada kematian?

Bagaimana dengan kita, khususnya para pengemban dakwah di negeri ini, saat ada panggilan dakwah yang sering hanya mempertaruhkan waktu, tak sampai mengorbankan nyawa? Selalu semangatkah kita berdakwah? Selalu berharapkah kita akan panggilan dakwah? Selalu rindukah kita akan taklif-taklif dakwah? Ataukah kita masih membutuhkan banyak training motivasi untuk melecut semangat dakwah kita karena kata surga pun tak lagi cukup memotivasi kita?

Wa mâ tawfîqî illâ billâh wa ’alayhi tawakkaltu wa ilayhi unîb. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*