Ada opini yang terus di-blow up oleh LSM liberal tentang suramnya kehidupan beragama atau intoleransi. Bagaimana menurut Ustadz?
Pertama: harus diklarifikasi lebih dulu apa yang dimaksud dengan istilah intoleransi di sini. Bila yang dimaksud dengan intoleransi di sini adalah penilaian terhadap sikap-sikap beragama yang dianggap “keras” seperti penolakan terhadap pernikahan beda agama, khususnya bila itu melibatkan seorang Muslimah, atau penolakan terhadap fenomena pindah agama alias murtad, atau penolakan untuk hadir dalam acara Natal bersama, misalnya, maka penyematan istilah intoleransi di sini sangatlah tidak tepat. Mengapa?
Seorang Muslim memang semestinya tidak boleh menerima hal-hal yang bersifat mungkar atau bertentangan dengan akidah Islam. Syariah Islam telah dengan sangat jelas melarang seorang Muslimah menikah dengan pria non-Muslim, melarang seorang Muslim murtad; sama seperti Islam melarang korupsi, suap menyuap, berzina, membunuh manusia tanpa hak dan sebagainya. Oleh karena itu, seorang Muslim memang seharusnya menolak hal-hal tadi. Sikap seperti ini tidak bisa dikatakan intoleran karena ini menyangkut keyakinan dan ketaatan pada aturan agama.
Adapun bila intoleran dikaitkan dengan sikap penolakan terhadap pendirian gereja, maka harus dilihat. Adanya sejumlah kasus penolakan pendirian gereja tidak bisa diartikan sebagai menolak kebolehan atau kebebasan beribadah bagi agama lain. Ini dua hal yang berbeda. Kita tidak menolak kebebasan beragama (dalam arti orang bebas memilih agama masing-masing). Buktinya di Indonesia orang Kristen dan pemeluk agama non-Islam lain bisa beribadah dengan leluasa. Yang dipersoalkan adalah pendirian gereja ilegal, tidak sesuai aturan, dan yang digunakan untuk melakukan pemurtadan. Nah, penolakan semacam ini tidak bisa dikatakan sebagai intoleran.
Jadi apa yang mereka maksud dengan intoleransi itu?
Sangat jelas bahwa yang dijadikan dasar penilaian apakah sesuatu itu toleran atau tidak adalah pemikiran liberal (HAM). Apa saja sikap umat Islam yang berpegang teguh pada agamanya, bila itu bertentangan dengan HAM, disebut tidak toleran. Jadi, jika Anda tidak membiarkan saudara Anda murtad, atau saudara perempuan Anda menikah dengan non-Muslim, atau menolak hadir pada acara perayaan Natal bersama, atau menolak pendirian gereja yang dibangun tanpa ijin, atau turut mengecam Ahmadiyah karena telah menghina Nabi dan memalsukan al-Quran, berarti Anda intoleran. Jelas sekali, sasaran tudingan adalah Muslim, dan yang dimakud intoleran tidak lain adalah jika seorang Muslim dianggap bertindak yang tidak menyenangkan terhadap non-Muslim.
Mereka tidak pernah menyebut intoleran ketika terjadi ketidakadilan dan pemaksaan suatu kewajiban agama non-Islam terhadap Muslim seperti yang terjadi di Bali. Lihatlah apa yang terjadi pada Hari Raya Nyepi. Semua orang, apapun agamanya, termasuk Muslim, dilarang beraktivitas dan menyalakan api. Padahal perayaan Nyepi itu kan untuk mereka yang beragama Hindu? Mengapa dipaksakan juga kepada semua orang?
Mereka juga tidak pernah menyebut sebagai tindakan intoleran ketika ada larangan Muslimah memakai kerudung?
Oleh karena itu, apa yang dimaksud dengan toleran dan intoleran dalam pernyataan mereka sangat patut dipertanyakan.
Bagaimana tentang kesimpulan mereka bahwa kebebasan kehidupan beragama di Indonesia suram?
Pernyataan bahwa kehidupan beragama di Indonesia suram itu jelas tidak benar. Mungkin ada satu dua kasus konflik yang berlatarbelakang agama, tetapi itu terlalu dibesar-besarkan. Seolah-olah umat Kristiani dan warga non-Muslim lain di negeri ini mengalami penindasan hebat; dihalang-halangi beribadah dan tidak boleh mendirikan gereja. Kenyataan yang ada justru sebaliknya. Agama Kristen berkembang sangat pesat. Gereja bertumbuh di mana-mana, bahkan mengalahkan pertumbuhan masjid. Menurut mantan Kepala Badan Litbang Departemen Agama, Prof. Atho Mudzhar, pertumbuhan gereja sejak 1977 hingga 2004 lebih besar disbanding masjid. Masjid pada periode itu hanya meningkat 64,22%, sementara gereja Kristen Protestan meningkat 131,38% dan Kristen Katolik meningkat hingga 152% (Republika, 18 Februari 2006).
Laporan Majalah Time juga berbicara lain. Dalam tulisan yang berjudul Christianity’s Surge in Indonesia (http://www.time.com/ time/magazine/article/ 0,9171,1982223,00. html) majalah itu menunjukkan bagaimana gelora peribadatan pemeluk Kristen di Indonesia. “Banyak yang mengira Indonesia adalah sebuah negeri Muslim, tetapi lihatlah orang-orang ini .” kata pendeta David Nugroho. Dia membanggakan jemaat gerejanya yang berkembang. Dari sebelumnya 30 ribu saat didirikan pada tahun 1967 sekarang berjumlah 400 ribu orang. “Kami tidak takut untuk menunjukkan iman kami,” ujar Pendeta David.
Di ibukota Jakarta sekarang telah berdiri ‘megachurches’ – sebuah gereja sangat besar dan sangat megah, seperti layaknya di Texas (yang dikenal banyak terdapat gereja), dengan menara yang menjulang tinggi ke langit. Penganut Kristen lain ramai-ramai beribadah di gereja-gereja tidak resmi di hotel-hotel dan mal, bersaing dengan para pengunjung yang meningkat di akhir pekan. Bukan hanya itu, di negeri mayoritas Muslim ini berdiri Patung Yesus Kristus tertinggi di dunia yang dibangun pada tahun 2007 di kota Manado di Indonesia Timur. Ada TV kabel Indonesia menyiarkan channel yang mendakwahkan Kristen 24-jam terus menerus. Channel khusus dakwah Islam malah belum ada.
Seberapa banyak terjadi kasus yang menunjukkan intoleransi dalam pandangan mereka?
Tidak banyak. Tidak dominan. Hanya satu-dua kasus. Dan biasanya yang selalu ditunjuk ya kasus itu itu saja. Misalnya kasus Ahmadiyah. Sekarang ditambah kasus Ciketing, juga gereja Yasmin Bogor dan Rancaekek di Bandung. Itu dibesar-besarkan tanpa dijelaskan latar belakang mengapa kasus itu muncul.
Ambil contoh kasus Ciketing. Kita semua tahu, kasus itu timbul karena pihak HKBP tidak mengindahkan ketentuan tentang prosedur pendirian tempat ibadah. Mereka juga tidak mengindahkan ketertiban umum. Meski dilarang dan warga keberatan, tetap saja mereka buat kebaktian di jalanan. Mereka memarkir kendaraan sembarangan, ditambah lagi secara demonstratif bernyanyi-nyanyi sepanjang jalan menuju lokasi sehingga sangat mengganggu warga setempat.
Kalau benar umat Islam di Indonesia anti terhadap pendirian gereja, mestinya di negeri mayoritas Muslim ini tak akan ada banyak gereja. Jadi, timbulnya kasus-kasus penolakan terhadap pendirian gereja itu betul-betul karena dipicu arogansi serta tindakan manipulatif pihak gereja seperti yang dilakukan di Kompleks Yasmin Bogor. Mereka memanipulasi tanda tangan penduduk yang dibubuhkan pada daftar hadir acara pembagian sembako sebagai bukti persetujuan pendirian gereja. Itu digunakan untuk mendapatkan IMB. Ya, karuan saja warga marah. Wajar bila hingga sekarang warga tak henti terus menolak gereja itu.
Dalam masalah Ahmadiyah, yang dipersoalkan umat Islam adalah ketika Ahmadiyah mengklaim sebagai bagian dari agama Islam, tetapi menyimpang dari prinsip-prinsip pokok (aqidah Islam) seperti pengakuan Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi berikutnya setelah Rasulullah Muhammad saw. Mereka juga menganggap Tadzkirah sebagai kitab suci. Isinya berupa ayat-ayat yang mengacak-acak ayat asli dalam al-Quran. Hal ini jelas merupakan pencemaran dan perusakan terhadap akidah Islam. Bila saja Ahmadiyah tidak mengklaim Islam, tentu akan berbeda masalahnya.
Apa kepentingan di balik blow-up opini seperti itu?
Jelas sekali. Yang paling ringan adalah kepentingan duit. Ada LSM yang memang cari duit dengan bekerja pada isu-isu seperti ini. Bila mereka tidak mem-blow up kasus-kasus seperti itu, maka mereka bakal dianggap tidak bekerja oleh penyandang dana. Yang lebih besar lagi, ya tentu kepentingan ideologi, yaitu sekularisme.
Bagaimana peran negara terkait masalah itu?
Semua itu bisa terjadi karena lemahnya peran negara. Negara tidak tegas. Dalam kasus Ahmadiyah, misalnya, andai Pemerintah tegas melarang Ahmadiyah atau menyatakan Ahmadiyah sebagai minoritas non-Muslim seperti yang dilakukan oleh pemerintah Pakistan, saya yakin persoalan ini tidak akan berlarut-larut dan terus memancing keributan seperti sekarang ini.
Yang paling utama tentu karena negara ini tidak difungsikan untuk melindungi akidah umat Islam. Para pemimpinnya, meski mayoritas Muslim juga tidak menggunakan kekuasaanya untuk melindungi umat. Pendirian gereja tanpa ijin, gerakan Kristenisasi atau pemurtadan dan sebagainya terjadi begitu saja nyaris tanpa hambatan. Padahal itu jelas-jelas merusak akidah umat. Ini ironi besar. Bagaimana mungkin, umat Islam tak berdaya di negerinya sendiri yang penduduk dan pemimpinnya mayoritas Muslim. Menyedihkan sekali.
Apakah isu ini juga dimanfaatkan untuk memunculkan stigma negatif terhadap kelompok tertentu atau ide-ide tertentu khususnya tentang syariah?
Jelas sekali. Sekarang saja mereka selalu menuding bahwa ada kelompok radikal (begitu mereka selalu menyebut kelompok apa saja yang gigih membela akidah umat) di balik kasus-kasus itu. Mereka juga memprovokasi negara dengan menyatakan bahwa negara tidak boleh kalah melawan kelompok radikal.
Bagaimana sikap seharusnya terhadap masalah itu?
Pertama: kita tidak boleh terjebak pada istilah. Istilah boleh sama, tetapi sangat mungkin menggambarkan sesuatu yang berbeda. Oleh karena itu, kita harus cermat. Kecermatan itu sangat ditentukan oleh sejauh mana kita mengerti betul duduk masalah dari sebuah peristiwa atau persoalan. Dengan cara itu, kita tidak mudah dipermainkan oleh pihak lawan, seperti dalam penggunaan istilah intoleran itu untuk menyebut berbagai peristiwa konflik keagamaan di negeri ini.
Kedua: dalam era yang penuh dengan berbagai macam perang opini seperti saat ini memang tidak mudah meng-konter opini sesat seperti yang dikembangkan oleh LSM-LSM sekular. Harus diakui, media massa baik cetak maupun elektronik adalah saluran paling ampuh untuk membentuk opini publik. Sayangnya, penguasaan kita atas media itu amat lemah. Akibatnya, mudah sekali opini publik terbentuk secara salah. Oleh karena itu, kita harus bisa mengembangkan media sendiri guna meng-konter sesat opini itu dan balik membentuk opini yang benar.
Ketiga: kita juga harus menyadari bahwa perang opini sesungguhnya hanya bagian dari perang ideologi. Tak bisa dipungkiri bahwa ideologi Kapitalisme dengan segala cabangnya, seperti humanisme sekular, saat ini tengah mendominasi dunia. Mereka dengan segala cara berusaha keras terus memperluas dan memperkuat pengaruhnya di seluruh dunia, termasuk di negeri ini. Salah satunya dengan mendiskreditkan segala tindakan dan pilihan sikap kita sebagai Muslim—yang meski benar dalam kaca mata Islam—dengan berbagai sebutan atau istilah buruk, seperti intoleran dan sebagainya. Tujuannya tidak lain memperburuk citra Islam dan menjauhkan umat dari Islam. Hasilnya, lihat saja sekarang, orang tak lagi sungkan hadir dalam acara Natal bersama, karena kalau tidak hadir khawatir dikatakan tidak toleran.
Oleh karena itu, tindakan LSM liberal ini harus dilawan dengan kontra opini atau didatangi untuk memprotes tindakan mereka. Lebih dari itu, perjuangan penegakan syariah dan Khilafah harus makin digencarkan karena hanya Khilafah sajalah yang bisa mengatasi dominasi ideologi Kapitalisme yang amat merusak itu saat ini. Lain tidak. []