Pengantar
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia hampir tidak pernah bisa lepas dari berbagai wasilah (sarana) kehidupan dengan berbagai bentuknya, mulai dari yang paling sederhana hingga yang paling canggih dan modern sesuai dengan kemajuan teknologi. Apalagi kemajuan teknologi merupakan realitas yang tidak bisa kita hindari dalam kehidupan ini. Sebab, kemajuan teknologi itu berjalan seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan. Kemajuan teknologi ini telah menciptakan banyak sarana yang memberikan manfaat positif bagi kehidupan manusia, memberikan banyak kemudahan dalam melakukan aktivitasnya dan bahkan menjadikan dunia yang luas ini seolah-olah sesuatu yang kecil hingga semua hal dapat dijangkau oleh manusia seketika.
Hanya saja, meski pada awalnya berbagai wasilah itu diciptakan untuk menghasilkan manfaat positif, semua itu mungkin digunakan pada hal-hal negatif yang menghantarkan manusia pada perbuatan yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Lalu bagaimana Khilafah mengarahkan dan menjaga agar wasilah-wasilah itu tidak menjadi pintu kemaksiatan bagi warganya?
Telaah kitab Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam kali ini akan membahas pasal 15 tentang keharaman berbagai wasilah (sarana) yang menghantarkan pada perkara yang haram, yang berbunyi: “Segala sesuatu yang menghantarkan pada yang haram hukumnya adalah haram, apabila diduga kuat dapat menghantarkan pada yang haram. Jika hanya dikhawatirkan, maka tidak diharamkan.” (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 88).
Pengertian Wasilah
Kata al-wasîlah (wasilah) adalah bentuk tunggal (mufrad). Bentuk jama’ (plural)-nya adalah al-wasâ’il. Wasilah secara etimologi maknanya adalah ar-rughbah (keinginan) dan at-thalab (permohonan). Dikatakan wasala jika ia memiliki keinginan. Al-Wâsilu maknanya adalah ar-râghibu ila Allah: orang yang memiliki keinginan (berdoa) kepada Allah (Ibnul Faris, Maqâyîs al-Lughah, VI/83).
Kata wasilah juga memiliki makna al-wushlah, sesuatu yang menghubungkan dua barang, dan al-qurba, sesuatu yang paling dekat (Anis, al-Mu’jam al-Wasîth, II/1.032).
Adapun secara terminologi, para ulama bahasa Arab hampir sepakat, bahwa al-wasîlah adalah mâ yutaqarrabu bihi ila al-ghayr, alat (media) yang digunakan untuk mendekatkan sesuatu pada sesuatu yang lain (al-Jurjani, At-Ta’rîfât, hlm. 252; al-Fayumi, Al-Mishbâh al-Munîr, II/660; dan al-Manawi, At-Ta’ârîf, hlm. 726). Dengan kata lain wasilah adalah apa saja yang dapat memudahkan sampainya sesuatu pada sesuatu yang lain.
Wasilah bukanlah perantara. Perantara dalam bahasa Arab disebut dengan al-wasîthah, bukan al-wasîlah. Hubungan melalui telepon, misalnya, adalah hubungan langsung, bukan hubungan melalui perantara. Telepon bukan perantara, melainkan alat atau media yang memungkinkan terjadinya hubungan langsung antara dua orang yang saling berjauhan.
Al-Quran juga menggunakan kata al-wasîlah bukan dengan arti al-wasîthah (perantara), baik yang terdapat dalam surat al-Maidah ayat 35, maupun surat al-Isra’ ayat 57. Kata al-wasîlah dalam kedua ayat ini maknanya adalah sesuatu yang menjadikannya dekat kepada Allah, yaitu bertakwa dan hanya beribadah kepada-Nya. Allah SWT berfirman:
وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ
Carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya (QS al-Maidah [5]: 35),
Terkait ayat ini, Qatadah menyatakan, “Dekatkan diri Anda kepada-Nya dengan menaati perintah-Nya dan melakukan perbuatan yang menyebabkan ridha-Nya.” (Ath-Thabari, Tafsîr ath-Thabari, VI/146).
Wasilah yang Haram
Wasilah adalah apa saja yang digunakan untuk mendekatkan sesuatu pada sesuatu yang lain, atau apa saja yang dapat memudahkan sampainya sesuatu kepada sesuatu yang lain. Wasilah dapat berupa benda yang hukum asalnya mubah, atau perbuatan yang dibolehkan syariah. Namun, jika wasilah itu menimbulkan perkara yang Allah haramkan, maka wasilah itu menjadi haram dipakai atau dilakukan. Kaidah syariah menyatakan:
الْوَسِيْلَةُ إِلَى الْحَرَامِ حَرِامٌ
Wasilah (sarana) yang menghantarkan pada yang haram hukumnya adalah haram.
Dalil kaidah ini adalah firman Allah SWT:
وَلا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ
Janganlah kalian memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, sebab mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan (QS al-An’am [6]: 108).
Dengan ayat ini, Allah SWT melarang Rasulullah saw. dan kaum Mukmin dari memaki sembahan-sembahan kaum musyrik, sekalipun di dalamnya ada kebaikan. Sebab, hal itu akan mengakibatkan kerusakan yang lebih besar, yakni balasan kaum musyrik dengan memaki Tuhan kaum Mukmin, yaitu Allah yang tiada Tuhan selain Dia (Ibnu Katsir, Tafsîr Ibnu Katsir, III/282).
Memaki kaum kafir termasuk perkara mubah. Allah pun telah memaki mereka di dalam al-Quran. Hanya saja, jika makian ini diduga kuat (ghalaba ‘ala azh-zhân) akan menyebabkan kaum kafir memaki Allah, maka memaki mereka dan sembahan-sembahannya adalah haram. Sebab, memaki Allah itu haram, bahkan merupakan dosa besar.
Dengan demikian, wasilah itu menjadi haram dipakai atau dilakukan jika diduga kuat (ghalaba ‘ala azh-zhân) akan menghantarkan pada sesuatu yang haram. Dalam firman Allah ini, misalnya, Allah menggunakan al-fa’ as-sababiyah, yaitu huruf athaf (fa’) yang me-nashab-kan fiil mudhari’ dengan (an) yang wajib disembunyikan, syaratnya adalah bahwa kalimat sesudahnya itu merupakan akibat dari kalimat sebelumnya (al-Khathib, Al-Mu’jam al-Mufashshal fi al-I’râb, hlm. 305). Dengan demikian, arti firman Allah fayasubbû adalah: “sebab kalian memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, maka akibatnya mereka akan memaki Allah”.
Namum, jika wasilah itu hanya dikhawatir-kan saja akan menghantarkan pada yang haram, seperti keluarnya seorang perempuan tanpa memakai cadar (niqab) yang dikhawatirkan akan menghantarkan pada fitnah, maka wasilah yang seperti ini tidaklah haram, karena khawatir saja belum cukup untuk mengharamkan sesuatu (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 88). Dengan demikian, wasilah yang haram adalah wasilah yang diduga kuat (ghalaba ‘ala azh-zhân) akan menghantarkan pada sesuatu yang haram; jika tidak, maka ia tetap mubah.
Tak Semuanya Haram
Allah SWT telah memubahkan segala sesuatu dengan dalil-dalil umum, sebagaimana firman-Nya:
أَلَمْ تَرَوْا أَنَّ اللَّهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ
Tidakkah kamu memperhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan) kamu apa saja yang ada di langit dan di bumi (QS Luqman [31]: 20).
Allah SWT telah mengecualikan sebagian dari sesuatu itu, lalu mengharamkannya dengan dalil khusus, seperti firman-Nya:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ
Diharamkan atas kalian (memakan) bangkai, darah, daging babi; hewan yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kalian sembelih; serta (hewan) yang disembelih untuk berhala (QS al-Maidah [5]: 3).
Dengan demikian, jika ada sebagian sesuatu yang berbahaya atau menimbulkan bahaya, maka sebagian itu saja yang haram, sedangkan sesuatu itu secara umum tetap mubah. Dalam hal ini kaidan syariah mengatakan:
الشَّيْءُ الْمُبَاحُ إِذَا أَوْصَلَ فَرْدٌ مِنْ أَفْرَادِهِ إِلىَ ضَرَرٍ حَرُمَ ذَلِكَ الْفَرْدُ وَحْدَهُ وَ بَقِيَ الشَّيْءُ مُبَاحًا
Sesuatu yang mubah, jika bagian dari bagian-bagiannya menyebabkan bahaya, maka bagian itu saja yang haram, sementara sesuatu itu tetap mubah.
Dalil atas kaidah ini adalah hadis riwayat Ibnu Hisyam bahwa Rasulullah saw., saat melewati al-Hijr (perkampungan Tsamud kaum Shalih), berhenti dan para Sahabat mengambil air dari sumurnya. Saat semua beristirahat di sore hari, Rasulullah saw. bersabda:
لاَ تَشْرَبُوْا مِنْ مَائِهَا شَيْئًا، وَلاَ تَتَوَضَّئُوْا مِنْهُ لِلصَّلاَةِ، وَمَا كَانَ مِنْ عَجِيْنٍ عَجَنْتُمُوْهُ فَاعْلِفُوْهُ الإِبِلَ، وَلاَ تَأْكُلُوْا مِنْهُ شَيْئًا، وَلاَ يَخْرُجَنَّ أَحَدٌ مِنْكُمْ اللَّيْلَةَ إِلاَّ وَمَعَهُ صَاحِبٌ لَهُ
Janganlah kalian minun sedikit pun dari airnya dan jangan berwudhu darinya untuk shalat. Adapun adonan roti yang telah kalian buat, berikanlah kepada unta, dan sedikit pun kalian jangan memakannya. Jangan pula seseorang dari kalian ada yang pergi malam ini, kecuali ada yang menemaninya (Ibnu Hisyam, Sîrah Ibnu Hisyâm, IV/296).
Sesungguhnya Allah SWT telah memubahkan air dan meminumnya, namun meminum air sumur Tsamud ketika itu adalah haram, karena berbahaya. Allah SWT telah memubahkah perbuatan-perbuatan jibiliyah (pembawaan manusia) seperti makan, minum, berjalan dan sebagainya sehingga pergi di malam hari sendirian adalah mubah. Namun, pergi sendirian pada malam itu bagi tentara adalah haram, karena berbahaya. Artinya, jika ada bagian dari sesuatu yang mubah yang menyebabkan bahaya, maka bagian itu saja yang haram, sedangkan sesuatu yang sama hukumnya tetap mubah (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 89).
Dengan kata lain, jika sesuatu yang mubah itu bagi sebagian orang membahayakan dirinya, atau menyebabkan ia tidak dapat melakukan kewajiban-kewajiban syariah, maka sesuatu itu haram bagi dirinya saja, sementara bagi yang lain tetap mubah. Jika sesuatu itu tidak sampai membahayakan dirinya maka sesuatu itu mubah bagi dirinya dan juga bagi yang lainnya (Abdullah, Mafâhîm Islâmiyah, II/155).
Dalam realitas kehidupan manusia sekarang yang diatur dengan undang-undang yang tidak bersumber dari akidah umat, bahkan memaksa-kannya dengan kehidupan sekular, yang menjadikan manusia semakin jauh dari aturan agama, maka kemajuan teknologi dan wasilah-wasilah yang diciptakan itu justru dijadikan wasilah (alat dan media) untuk mempermudah dalam melakukan perbuatan-perbuatan yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya.
Karena itu, dengan ketetapan undang-undang ini, khususnya pasal 15, negara Khilafah akan mengarahkan dan menjaga agar wasilah-wasilah itu tetap pada tujuan awal penciptaannya, yaitu memberikan manfaat positif, dan tidak lagi menjadi pintu kemaksiatan bagi warganya. Negara akan mencegah adanya sesuatu yang membahayakan manusia serta yang menyebabkan dia tidak mampu (lalai) untuk melakukan kewajiban-kewajiban syariah. WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. []
Daftar Bacaan
Abdullah, Muhammad Husain, Mafâhîm Islâmiyah Juz II, (Beirut: Dar al-Bayariq), cetakan I, 1996.
Anis, Dr. Ibrahim, dkk, Al-Mu’jam al-Wasîth, (tanpa penerbit), Cetakan II, tanpa tahun.
Al-Fayumi, Ahmad bin Muhammad bin Ali al-Muqri, Al-Mishbâh al-Munîr fi Gharîbisy Syarh al-Kabîr li ar-Râfi’i, (Jakarta: Dinamika Berkah Utama), tanpa tahun.
Ibnul Faris, Abul Husain Ahmad bin Faris bin Zakaria ar-Razi, Maqâyîs al-Lughah, (Ittihad al-Kitab al-Arab), 2002. Program al-Maktabah al-Syamilah.
Ibnu Hisyam, Abdul Malik, Sîrah Ibnu Hisyâm, (Dar al-Ma’rifah), tanpa tahun.
Ibnu Katsir, Ismail bin Umar Abul Fida’ Imaduddin ad-Dimasyqi, Al-Bidâyah wa an-Nihâyah, (Beirut: Maktabah al-Ma’arif), 1995.
Al-Jurjani, Asy-Syarif Ali bin Muhammad, Kitâb at-Ta’rîfât, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah), Cetakan III, 1988.
Al-Khathib, Thahir Yusuf, Al-Mu’jam al-Mufashshal fi al-I’râb, (Al-Haramain), tanpa tahun.
Al-Manawi, Muhammad Abdur Rauf, At-Tawqîf ‘ala Muhimmât at-Ta’ârîf, (Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’ashir), Cetakan I, 1989. Program al-Maktabah al-Syamilah.
An-Nabhani, Asy-Syaikh Taqiyuddih, Muqaddimah ad-Dustûr aw al-Asbâb al-Mujîbah Lahu, Jilid I, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan II, 2009.
Ath-Thabari, Muhammad bin Jarir bin Yazid, Tafsîr ath-Thabari, (Dar al-Ma’rifah), 1990.