HTI

Hiwar (Al Waie)

Ustadz Haris Abu Ulya: Deradikalisasi: Sarat Kepentingan

Pengantar:

Dalam konteks kotra-terorisme, sekarang tengah gencar dilakukan upaya deradikalisasi. Langkah ini melibatkan banyak pihak, khususnya para ulama. Program deradikalisasi memiliki spektrum yang diperlebar, bukan hanya terkait dengan aksi kekerasan/terorisme. Dalam pembahasan, ternyata juga membahas masalah jihad, syariah bahkan Khilafah.

Apa kaitannya semua itu dengan aksi terorisme yang dikatakan melatarbelakangani adanya program ini? Mengapa pula kontraterorisme melebar membahas masalah-masalah itu? Motif apa sesungguhnya di balik program deradikalisasi ini? Mengapa pula program ini banyak menyasar para ulama? Adakah campur tangan asing?

Untuk menelisik masalah itu Redaksi berbincang dengan Ustadz Haris Abu Ulya, Ketua Lajnah Siyasiyah DPP HTI yang selama ini concern mengamati masalah terorisme. Berikut petikan wawancaranya.

Menurut Ustadz, apa latar belakang kemunculan program deradikalisasi?

Deradikalisasi adalah bagian dari strategi kontra-terorisme. Pendekatan secara keras dianggap belum bisa mereduksi dan menghabisi seluruh potensi yang mengarah ke tindakan “terorisme”, bahkan dianggap belum efektif menyentuh akar persoalan terorisme secara komprehensif. Strategi penegakan hukum juga dirasa kurang memberikan efek jera dan belum bisa menjangkau ke akar radikalisme. Sekalipun diakui cukup efektif untuk “disruption”, ia tidak efektif untuk pencegahan dan rehabilitasi sehingga masalah terorisme terus berlanjut dan berkembang. Deradikalisasi dan kontra-radikalisasi yang integratif pada konteks ini adalah sebagai langkah strategis sekaligus taktis untuk memotong seluruh variabel yang dipandang sebagai stimulan lahirnya tindakan “terorisme”. Jadi, program ini lebih banyak berbentuk “pendekatan lunak” (soft approach), baik kepada masyarakat secara luas, kelompok tertentu maupun kepada individu-individu tertentu yang masuk dalam jejaring kelompok yang dicap “radikal”, “teroris” dan semacamnya. Langkah ini diupayakan mendapat pijakan hukum dengan mempropagandakan ini bagian dari WOT.

Ada apa sesungguhnya di balik proyek deradikalisasi itu?

Penting dicatat, bahwa sebagian orang tidak sadar telah bersikap apologis terhadap istilah dan terminologi “terorisme” yang dijajakan Barat di Dunia Islam dan diekspos secara masif oleh media. Istilah tersebut menjadikan Islam ideologi dan pemeluknya sebagai “tersangka” atas tindakan beberapa individu atau sebagian orang yang menggunakan jalan kekerasan untuk meraih kepentinganya. Mereka tidak lagi mengkritisi kemungkinan drama “terorisme” adalah hasil rekayasa (fabricated) dengan melibatkan intelijen asing. Di sini terlihat ada usaha pengalihan perhatian umat dari AS sebagai biang kerok lahirnya instabilitas sosial, politik, ekonomi di Dunia Islam termasuk Indonesia. Kemudian secara manipulatif, AS memaksa para penguasa Dunia Islam untuk memberangus setiap potensi yang dapat mengancam dan membongkar kedok imperialismenya.

Karena itu, deradikalisasi di Indonesia, jika melihat obyek sasarannya, jelas membidik gerakan-gerakan Islam yang menginginkan tegaknya syariah Islam secara kaffah dalam bingkai negara.

Oleh karena itu, dalam deradikalisasi ada upaya menggeser ke obyek sasaran yang lebih luas, yaitu kepada pihak yang dianggap pengusung ideologi radikal-fundamentalis. Tampak, motif dari proyek deradikalisasi adalah menyumbat pertumbuhan Islam ideologi yang dipandang membahayakan status quo yang sekular.

Adakah campur tangan asing?

Jangan lupa, drama war on terror dan semua derivat strateginya di Indonesia tidak terjadi secara masif kecuali pasca peristiwa WTC 9/11/2001. Dari beberapa dokumen, terungkap dukungan dana jutaan dolar dan jutaan euro mengucur deras dari negara Eropa (Australia, Denmark, Belanda, dll) untuk proyek jangka panjang kepada kepolisian RI (Densus 88). Nyatanya langkah peningkatan kapasitas (capacity building) aparat kepolisian dan Intelijen Indonesia juga berjalan secara simultan. AS sendiri melalui Obama menyiapkan lebih dari 5 miliar dolar. Dana itu untuk membuat program kerjasama keamanan untuk menempa badan intelijen internasional dan infrastruktur penyelenggaraan hukum demi melumpuhkan jaringan teroris dari pulau-pulau terpencil di Indonesia hingga ke kota-kota yang membujur di Afrika. Bocoran Wikileaks mengkonfirmasi bagaimana hubungan AS dan sekutunya dengan Pemerintah Indonesia dalam isu terorisme. Bocoran Wikileaks yang dimuat di harian Australia The Age (17/12/2010) mengungkap bahwa para diplomat Amerika di Jakarta meminta agar keinginan Pemerintahan SBY dikabulkan oleh Washington. Mereka yakin bila hubungan dengan Kopassus telah baik dan pelatihan dimulai kembali maka Pemerintahan SBY dan militer akan melindungi kepentingan Amerika Serikat di kawasan, termasuk kerjasama memerangi terorisme.

Bahkan Australia memberikan dukungan kepada SBY di Pilpres 2009. SBY didukung karena dinilai sukses dalam kerjasama antiterorisme. Di salah satu bocoran WikiLeaks yang dimuat oleh harian Sydney Morning Herald, 15/12/2010, pejabat Kementerian Luar Negeri Australia untuk Urusan Asia Tenggara, Peter Woolcott, mengatakan, “…Yudhoyono telah memberikan kerjasama kelas satu dalam anti terorisme.”

AS sendiri tidak menginginkan tumbuh suburnya kelompok yang dianggap radikal. Dalam laporan terbaru yang berjudul Sharia a Danger to US, Security Pros Say, sebuah panel ahli keamanan nasional Amerika Serikat memberikan rekomendasi radikal kepada Pemerintahan Obama bahwa syariah Islam adalah ancaman bagi negara tersebut. Demi keamanan AS dan peradaban Barat sangat penting untuk mendukung tokoh dan kelompok Islam moderat. Esensinya, AS harus mendukung dan menumbuhkan moderatisasi dalam kehidupan Muslim Indonesia.

Ini indikasi dan benang merah yang cukup untuk menjelaskan bahwa proyek deradikalisasi dan kontra radikalisasi adalah bagian dari strategi WOT; arahan dan paradigma Barat (AS) menjadi basis implementasinya. Ini klop dengan sistem sekular yang keberlangsungannya dijaga siang dan malam oleh para penguasa yang mengekor pada kepentingan Barat, dengan mendapat imbalan pujian dan kemaslahatan sesaat.

Lalu mengapa proyek deradikalisasi juga melibatkan sekaligus menyasar para ulama?

Sebenarnya kalangan akademisi, aktifis mahasiswa dan komponen lain juga dilibatkan. Masalah ini kata kuncinya adalah: ideologi radikal dianggap sumber terorisme dan kekerasan. Cara untuk melenyapkan ideologi radikal, status quo menggunakan pola Orde Baru. Penguasa mengkooptasi para ulama melalui banyak pendekatan. Setelah satu arus dengan paradigma penguasa maka berikutnya para ulama bisa menjadi khuthabâ’ (penyeru/corong) kepentingan penguasa. Karakteristik mayoritas masyarakat Indonesia itu paternalistik. Karena itu, pendekatan dengan melibatkan para ulama dirasa paling efektif untuk menanamkan pemahaman ala status quo kepada masyarakat luas. Yang diharapkan adalah munculnya imunitas pada diri masyarakat terhadap pemahaman-pemahaman yang dianggap radikal-fundamentalis. Pada akhirnya masyarakat bisa sedemikian kuat bersikap resisten dan mengucilkan pemahaman dan kelompok “radikal “. Bisa jadi akhirnya umat dalam posisi terbelah dan berhadap-hadapan secara diametrikal, antara bersama arus sekularisme yang dibungkus dengan bahasa-bahasa eufimisme kekufuran oleh para khuthabâ’ dengan pemahaman yang lurus terhadap Islam yang diusung oleh umat yang ideologis.

Kalau begitu proyek ini berbahaya?

Jika pelibatan ulama berhasil meraih targetnya, bisa jadi akan di-menej oleh status quo untuk masuk ke rencana berikutnya. Diraihnya “stempel” atau “dukungan” dari masyarakat yang dimediasi oleh para khuthabâ’ akan melegitimasi tindakan yang berpotensi lebih represif, baik dengan atau tanpa payung regulasi (UU). Keberhasilan dalam pengarusutamaan Islam moderat akan menempatkan Islam ideologi pada kutub yang berlawanan, lebih tepatnya sebagai musuh. Tentu dalam kontek dakwah, perjuangan penegakkan syariah akan sedikit menempuh jalan terjal, penuh onak dan duri. Namun, sikon seperti itu pula yang akan mengkristalkan perjuangan menuju titik kulminasi kemenangan dan dukungan dari orang-orang mukhlis yang memiliki power. Jangan lupa, laju dakwah dan perjuangan tidak pernah berhenti karena konspirasi dari orang-orang munafik yang menjadi kaki tangan kafir Barat. Mereka itu ibarat batu yang salah tempat, seharusnya dia menjadi bagian dari bahan-bahan benteng yang melindungi dan membela Islam dan kaum Muslim, bukan menjadi batu sandungan bagi penegakkan Islam.

Bagaimana bentuk deradikalisasi itu di lapangan?

Dalam deradikalisasi, ada potensi penyimpangan dan tafsiran-tafsiran yang menyesatkan terhadap nash-nash syariah. Ada upaya membangun pemahaman yang tidak kokoh konstruksi dalil dan hujahnya. Ada usaha menyelaraskan nash-nash syariah ke realitas sekular dan memaksakan dalil mengikuti konteks aktualnya. Contoh: upaya menyimpangkan makna Jihad, toleransi, syura dan demokrasi, hijrah, thaghut, Muslim dan kafir, ummatan wasathan, klaim kebenaran, doktrin konspirasi (QS al-Baqarah [2]: 217) dan upaya mengkriminalisasi istilah daulah Islam atau khilafah.

Sikap kongkret kita adalah berusaha berbicara baik-baik kepada pihak pemangku kebijakan dalam persoalan ini; untuk amar makruf nahi mungkar. Jika mereka membuka diri, tentu kita dengan senang hati mendialogkan duduk persoalan dari drama “WOT” ini. Agar para penguasa negeri Islam termasuk Indonesia tidak menjadi pembebek kebijakan radikal dan ektremis negara Amerika dengan bendera GWOT menebar kezaliman. Langkah penting lainya adalah membongkar persekongkolan jahat dalam isu ini di hadapan umat secara masif, agar mereka sadar dan tidak terseret pola pikir Barat itu.

Akankah proyek deradikalisasi ini berhasil?

Ini tergantung daya dorong mereka, para pengusung proyek tersebut, dan juga kondisi aktual umat Islam yang menjadi obyek dari proyek ini. Sekalipun ada anggaran unlimited serta banyak person, institusi dan kelompok opurtunis bisa dibeli untuk proyek ini, saya rasa akan tetap menghadapi kendala serius. Sebab, drama kontra-terorisme terlanjur menjatuhkan kepercayaan umat kepada pihak penguasa dan aparat penegak hukumnya ke titik nadir. Teori konspirasi banyak menemukan relevansinya dan umat mulai cerdas mengeja semua itu. Ketidakadilan dan ketimpangan hukum juga terjadi bagi orang-orang yang disangka teroris. Berbeda perlakuannya jika berhadapan dengan para bajingan dan perampok uang rakyat (koruptor). Tanpa sadar, penguasa telah menggali kuburnya sendiri melalui aparatnya dan menjadi pemicu serta sumber siklus “kekerasan” yang tak berujung. Mereka seharusnya sadar diri, tidak ambigu berkedok demokrasi, tetapi solusi-solusi yang ditempuh sama sekali tidak demokratis; main bunuh, main tangkap, main grebek, dan main opini seenaknya.

Lalu bagaimana sebaiknya respon kita?

Ini harus menjadi bagian dari agenda dakwah sekarang. Ini adalah kesempatan bagus untuk menjelaskan peta hubungan Barat-Dunia Islam, AS-Indonesia, dan membuka kedok kejahatan AS atas Dunia Islam yang difasilitasi oleh para penguasa komprador. Perkara ini juga harus menjadi pendorong agar para pengusung Islam ideologi lebih semangat, pantang menyerah serta menjadikan konspirasi-konspirasi jahat tidak lebih sebagai batu sandungan yang akan mengkristalkan iman dan kemenangan.

Deradikalisasi ternyata juga menyinggung syariah dan Khilafah; seakan dianggap bahaya. Benarkah syariah dan Khilafah berbahaya?

Berbahaya itu bagi negara imperialis karena seluruh kejahatan dan penjajahannya akan dibungkam dengan tegaknya Khilafah yang menegakkan syariah secara kaffah. Berbahaya itu bagi para penguasa negeri Islam yang menghamba kepada thaghut sekularisme dan penguasa Barat. Saat syariah tegak, seluruh kepentingan dan kemaslahatan pribadinya akan musnah. Intinya, yang merasa syariah dan Khilafah berbahaya adalah para penjahat dengan segala jenis dan bentuknya. WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. []

One comment

  1. UBAEDILLAH, ST.

    Intinya, yang merasa syariah dan Khilafah berbahaya adalah para penjahat dengan segala jenis dan bentuknya. WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*