Soal:
Mencuatnya kembali kasus Ahmadiyah disertai dengan pembelaan kaum Liberal soal kenabian Ghulam Ahmad, bahwa Ghulam Ahmad adalah ‘nabi bayangan’, sebagaimana yang dikatakan Zuhairi Misrawi (Kompas, 16/2/2011). Pertanyaannya, adakah dalam pandangan Islam ‘nabi bayangan’?
Jawab:
Istilah nabi dan rasul adalah istilah syar’i yang maknanya telah didefinisikan dalam nas-nas syariah.1 Menurut Ahlus Sunnah, seperti al-Baidhawi dan al-Baghdadi, nabi dan rasul adalah orang yang sama-sama diberi wahyu oleh Allah. Semua rasul adalah nabi, tetapi tidak semua nabi adalah rasul. Menurut mereka, rasul adalah orang yang membawa syariah baru atau menghapus hukum-hukum syariah sebelumnya.2
Karena itu, istilah nabi dan rasul adalah istilah khas dengan makna yang juga khas. Istilah ini tidak boleh digunakan, kecuali dengan makna dan konteks sebagaimana yang ditetapkan oleh syariah. Mengenai istilah yang digunakan oleh Zuhairi, bahwa ada nabi independen (mustaqil), dan nabi bayangan, maka harus ditegaskan bahwa istilah nabi independen ini sebenarnya adalah rasul, karena mereka mempunyai syariah sendiri. Istilah ini digunakan oleh Ismail al-Barwaswi dalam Tafsir Haqqi, Tafsir Tanwir al-Adzhan dan Ruh al-Bayan.3 Adapun istilah nabi bayangan hanyalah rekaan kaum Ahmadi untuk menyebut Ghulam Ahmad. Menurut mereka, nabi bayangan ini taat dan patuh kepada nabi independen, yaitu Nabi Muhammad saw.
Klaim bahwa Ghulam Ahmad taat dan patuh kepada Nabi Muhammad saw. adalah dusta. Kalau dia taat dan patuh kepada Nabi saw., pasti dia tidak akan mengklaim dirinya sebagai nabi, baik nabi bayangan atau nabi apapun. Sebab, Nabi saw. sendiri sudah menyatakan:
كَانَ بَنُوْ إِسْرَائِيْلَ تَسُوْسُهُمُ الأَنْبِيَاءُ، كُلَّمَا مَاتَ نَبِيٌّ قَامَ بَعْدَهُ نَبِيٌّ، وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِيْ، وَسَتَكُوْنُ خُلَفَاءَ فَيَكْثُرُوْنَ
Bani Israil telah dipimpin oleh para nabi. Ketika seorang nabi wafat, setelahnya akan ada nabi baru yang menggantikannya. Sungguh tidak ada seorang nabi pun setelahku, dan akan ada banyak khalifah (HR al-Bukhari dan Muslim).
Pernyataan Nabi saw. dengan tegas menafikan, bahwa tidak ada seorang nabi pun setelah Baginda. Konstruksi kalimat La an-nafiyah li al-jins (huruf La yang menafikan semua jenis), yaitu Innahu la nabiyya ba’di (sungguh tidak ada seorang nabi pun setelahku), disertai dengan ta’kid (penegasan) dengan inna, menunjukkan bahwa semua jenis kenabian—apakah nabi independen, nabi bayangan atau nabi apapun setelah Baginda tidak akan pernah ada. Itulah maksud konstruksi kalimat La an-nafiyah li al-jins.
Hadis ini sekaligus menjelaskan tafsir ayat al-Quran:
مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ
Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kalian, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi (QS al-Ahzab [33]: 40).
Ayat ini menyebut Nabi Muhammad sebagai Khatama an-Nabiyyin, yang berarti Penutup Para Nabi, bukan konotasi yang lain. Dengan demikian, klaim bahwa Ghulam Ahmad taat dan patuh kepada Nabi Muhammad saw. jelas bohong.
Selain itu, jika ada orang yang mengklaim sebagai nabi, berarti dia juga telah mengklaim dirinya mendapatkan wahyu dari Allah SWT. Padahal secara syar’i wahyu hanya diturunkan oleh Allah SWT kepada nabi dan rasul-Nya. Ibn Hajar al-Asqalani menyatakan:
وَشَرْعًا الإعْلاَمُ بِالشَّرْعِ وَقَدْ يُطْلَقُ الْوَحْيُ وَيُرَادُ بِهِ اِسْمُ المفْعُوْلِ مِنْهُ أَيْ الْمُوْحَي وَهُوَ كَلاَمُ اللهِ المُنَزَّلُ عَلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم
Secara syar’i, wahyu adalah pemberitahuan mengenai syariah. Kadang disebut dengan istilah wahyu, namun dengan konotasi isim maf’ul-nya, yaitu sesuatu yang diwahyukan, berupa kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. (HR al-Bukhari dan Muslim, dengan lafal al-Bukhari). 4
As-Suyuthi menyatakan:
اَلْوَحْيُ مَا يُوْحِيَ اللهُ إِلَى نَبِيٍّ مِنَ الأَنْبِيَاءِ فَيُثْبِتَهُ فِي قَلْبِهِ، فَيَتَكَلَّمَ بِهِ وَيَكْتُبَهُ وَهُوَ كَلاَمُ الله
Wahyu adalah apa yang diwahyukan oleh Allah kepada salah seorang nabi untuk diteguhkan dalam hatinya sehingga dia menyampaikannya dan menulisnya. Itulah kalam Allah. 5
Dengan demikian, klaim bahwa Ghulam Ahmad adalah nabi jelas dusta, karena dia tidak mendapatkan wahyu, sebagaimana pengertian wahyu secara syar’i. Tentang klaimnya, bahwa dia menerima wahyu sebagaimana yang dituangkan dalam kitabnya, Tadzkirah, juga merupakan kebohongan. Abu Bakar ash-Shiddiq menyatakan dengan tegas, wahyu tidak lagi turun pasca wafatnya Baginda Nabi saw.:
مَضَىٰ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم وَانْقَطَعَ الْوَحْيُ
Nabi saw. telah pergi (wafat) dan wahyu pun terputus (berhenti). 6
Dalam riwayat lain, Umar ra. menyatakan:
أَلاَ وَإِنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَدِ انْطَلَقَ وَانْقَطَعَ الْوَحْيُ
Ingat, bahwa Nabi saw. telah berlalu (wafat), dan wahyu pun telah terputus (berhenti). 7
Ini dinyatakan di hadapan para Sahabat, di depan mata dan telinga mereka dan tidak seorang pun di antara mereka ada yang mengingkarinya. Dengan kata lain, telah menjadi Ijmak Sahabat, bahwa wahyu tidak akan turun lagi setelah Baginda Nabi saw. wafat. Karena itu, jika ada klaim bahwa ada orang yang menerima wahyu, setelah Nabi saw. wafat, berarti klaim tersebut bertentangan dengan Ijmak Sahabat di atas.
Klaim Ghulam Ahmad sebagai nabi juga meniscayakan dirinya harus ma’shum (tidak berdosa), karena, nubuwwah (kenabian) memang meniscayakan ma’shum. Fakta membuktikan, bahwa Ghulam Ahmad tidak ma’shum, bahkan bukan saja berdosa besar, tetapi telah murtad. Pandangannya yang menyatakan dirinya nabi, haji ke Baitullah (Makkah) dan zakat tidak wajib adalah bukti yang tak terbantahkan.
Karena itu, semua klaim yang menyatakan bahwa Ghulam Ahmad adalah nabi bayangan adalah batil, sesat dan menyesatkan. Demikian juga klaim yang menyatakan bahwa Ghulam Ahmad sebagai nabi bayangan yang taat dan tunduk kepada Nabi Muhammad saw. dan tidak membawa syariah baru. Begitu juga klaim yang menyatakan bahwa Ghulam Ahmad menerima wahyu. WalLahu Rabb al-Musta’an wa ilayhi at-takilan.
Catatan kaki:
1 Al-Qur’an telah menggunakan kata an-nabi sebanyak 31 kali, dengan makna orang yang diutus oleh Allah SWT. Adapun kata ar-rasul digunakan sebanyak 56 kali dan RasululLah sebanyak 17 kali.
2 Al-Imam Abi Manshur ‘Abd al-Qahir bin Thahir at-Tamimi al-Baghdadi, Kitab Ushul ad-Din, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, cet. III, 1981, h. 154; al-Imam Nashiruddin al-Baidhawi, Anwar at-Tanzil wa Asrar at-Ta’wil, Dar al-Fikr, Beirut, Lebanon, IV/ 57.
3 Ismail al-Barwaswi, Tafsir Haqqi, Dar as-Salafiyyah, India, cet., t.t., IX/311; Ismail al-Barwaswi, Tafsir Tamwir al-Adzhan; Ismail al-Barwaswi, Tafsir Haqqi, Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabi, Beirut, cet., 1985, VI/266.
4 Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, ed. Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi Muhibbuddin al-Khathib, Dar al-Ma’rifat, Beirut, 1379 H, I/9.
5 Jalaluddin as-Suyuthi, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, Dar al-Fikr, Beirut, t.t., I/45.
6 Jalaluddin as-Suyuthi, Jami’ al-Masanid wa al-Marasil, Dar al-Fikr, Beirut, 1994, XIII/187.
7 Jalaluddin as-Suyuthi, Jami’ al-Masanid wa al-Marasil, Dar al-Fikr, Beirut, 1994, XV/76.